Selasa, 08 Mei 2001

SETAHUN OPERASI PEMULIHAN HARAPAN SOMALIA TETAP GUNCANG

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 9/12 (ANTARA) - Setahun lalu tentara AS datang ke Somalia dengan membawa harapan akan dapat membebaskan negeri itu dari cengkeraman kelaparan dan pertumpahan darah, kini mereka -- ditambah kontingen lain dalam pasukan PBB -- masih berada di negeri itu, tetapi penderitaan rakyat belum hilang.

Misi "Operasi Pemulihan Harapan" mulanya ditujukan untuk menyelamatkan anak-anak yang menderita di Somalia karena makanan buat mereka dirampas oleh gerombolan orang bersenjata.

Pada 9 Desember 1992 sebanyak 28.000 tentara AS mendarat di Somalia, dan menimbulkan harapan perbaikan nasib dalam diri rakyat di negeri yang dikoyak pertikaian antar-marga tersebut.

Beberapa hari setelah pasukan AS mendarat di ibukota Somalia, Mogadishu, kondisi rakyat dilaporkan oleh kantor-kantor berita Barat memang mulai membaik.

Amerika Serikat pada 4 Mei menyerahkan tugas pemulihan perdamaian di Somalia kepada pasukan PBB.

Namun misi itu tetap tak berhasil membobol kekuatan berbagai milisi, dan PBB kini tak dapat mengelak bahwa jika badan dunia tersebut terlibat pertikaian dengan Jenderal Mohamed Farah Aidid, pasukannya di Somalia berarti kehilangan tujuan. Aidid adalah gembong marga pembangkang paling tangguh di negeri itu.

Akibat tindakan yang diduga dilakukan oleh anakbuahnya dan menewaskan 23 prajurit Pakistan dalam pasukan pemelihara perdamaian PBB di Somalia, PBB mengumumkan akan memberi hadiah buat orang yang berhasil menangkap Aidid.

Tindakan PBB tersebut, terutama keinginan Amerika untuk membekuk Aidid, bukan meredakan keadaan, tetapi justru membuat suasana semakin panas.

Milisi anak buah Aidid meningkatkan serangan terhadap pasukan PBB dan pasukan Amerika juga membuat perubahan tujuan kehadiran pasukan pemelihara perdamaian PBB.

Pasukan Amerika tidak bersikap sebagai pemelihara perdamaian lagi, tapi sebaliknya ikut menggempur anak buah Aidid, sehingga mengguncangkan aliansi dalam pasukan PBB terutama antara Amerika dan Eropa.

Kekecewaan

Perubahan dari harapan menjadi kekecewaan terjadi antara tanggal 5 Juni dan 3 Oktober, saat pertempuran gerilya berkecamuk antara pasukan PBB dan milisi pimpinan Aidid, sehingga lebih dari 70 personil pemelihara perdamaian dan ratusan orang Somalia tewas.

Kerusuhan semakin meningkat dan hampir setiap hari tersiar kabar mengenai korban yang berjatuhan di pihak sipil.

Tak kurang dari 10.000 orang Somalia diberitakan telah tewas atau cedera dalam berbagai bentrokan antara faksi Aidid dan pasukan pemelihara perdamaian PBB serta pertempuran di kalangan milisi Somalia sendiri.

Sekarang waktu bagi rakyat Somalia untuk menghentikan pertumpahan darah semakin sempit, karena masyarakat dunia semakin keberatan untuk menyediakan dana tambahan dan membahayakan keselamatan prajurit pemelihara perdamaian jika kerusuhan politik di negeri itu tak dapat diakhiri.

Washington belakangan juga mencabut keinginannya untuk menangkap Aidid meskipun 18 prajurit AS tewas dalam suatu pertempuran tanggal 3 Oktober dan satu pilot AS ditangkap sesudah helikopternya ditembak jatuh.

Perubahan kebijakan PBB dan AS, ditambah kesediaan AS untuk menerima Aidid dalam pembicaraan perdamaian, membuat Aidid -- yang selama berbulan-bulan bersembunyi -- muncul lagi.

Aidid tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut dan menyampaikan kesediaan berunding, terutama tatkala saingan utamanya, Ali Mahdi Mohamed, yang secara sepihak menyatakan diri sebagai presiden, menghadiri pembicaraan perdamaian di ibukota Ethiopia, Addis Ababa, bulan ini.

Somalia sebenarnya tidak mempunyai pemerintah sejak penggulingan Presiden Mohamed Siad Barre tahun 1991.

Kemajuan

Dalam perkembangan paling akhir di Addis Ababa, para perunding kedua faksi yang bertikai di Somalia dilaporkan membuat kemajuan di ibukota Ethiopia itu, dan para pemimpin marga yang berperang akan mengadakan pertemuan langsung.

Pernyataan bernada positif tersebut dikeluarkan setelah kelompok Ali Mahdi menyatakan tak ada kemajuan dalam pembicaraan perdamaian dan bermaksud menarik diri dari pembicaraan.

Pembicaraan di Addis Ababa berkisar pada masalah perlucutan senjata, pembentukan Dewan Peralihan Nasional, piagam baru bagi pembentukan dewan regional, dan masalah penyelenggaraan konferensi perdamaian baru serta tanggal dan tempatnya.

Presiden Ethiopia Meles Zenawi, yang memimpin upaya untuk mempertemukan semua faksi yang berperang di Somalia, telah meminta mereka mempertimbangkan kembali persetujuan perdamaian Addis Ababa yang ditandatangani ke15 faksi Somalia bulan November. Ia juga menyokong seruan Aidid kepada PBB bagi pembebasan delapan pembantu senior gembong Somalia tersebut yang ditahan di Mogadishu.

Sejak awal Desember, pembicaraan di Addis Ababa telah dipusatkan pada upaya untuk merujukkan Aidid dan Ali Mahdi.

Tetap rapuh

Meskipun suasana pembicaraan perdamaian di ibukota Ethiopia memberi secercah harapan, keadaan di lapangan belum mengimbangi situasi di meja perundingan.

Pejabat tinggi Komite Palang Merah Internasional (ICRC), Geoff Loane, mengatakan di Nairobi bahwa untuk sementara ketenangan di negara yang dicabik perang di Afrika tersebut masih rapuh.

Ia juga berharap masyarakat internasional masih bersedia memberi dukungan keuangan dan moril kepada rakyat Somalia agar mereka dapat mewujudkan perdamaian di negeri mereka.

Loane, sebagaimana dilaporkan, menggambarkan bahwa memang terjadi peningkatan keadaan kemanusiaan "secara drastis" sejak kehadiran pasukan pemelihara perdamaian internasional Desember tahun lalu.

Tetapi itu bukan berarti keadaan telah meningkat sangat baik sehingga bantuan makanan mesti dihentikan.

Masih terdapat kantong-kantong masyarakat yang kekurangan makanan, kurang gizi dan lemah sehingga bantuan masih tetap dibutuhkan, kata Loane. ( 9/12/93 18:16)

SERANGAN ISRAEL KE LIBANON. MASALAH BARU PROSES PERDAMAIAN

Oleh Chaidar Abdullah


Jakarta, 5/8 (ANTARA) - Serbuan Israel untuk "memadamkan" aksi pejuang Hizbullah dan Palestina di Libanon, belum lama ini, ternyata menimbulkan masalah baru dalam proses perdamaian Timur Tengah yang dirintis oleh pemerintah terdahulu AS sekitar 21 bulan lalu.

Pertempuran antara serdadu Israel dan anggota Hizbullah (Partai Allah) dan pejuang Palestina berhenti melalui gencatan senjata hari Sabtu (31/7) yang membuat Menteri Luar Negeri AS Warren Christopher mempersingkat kunjungannya di Asia dan menunda lawatannya di Timur Tengah.

Menurut jurubicara Departemen Luar Negeri AS Michael McCurry, Departemen Luar Negeri AS berpendapat pertempuran di Libanon dan Israel Utara tersebut memperlihatkan kepentingan semua pihak dalam proses perdamaian Timur Tengah untuk berusaha berunding dan memperkecil silang pendapat.

Libanon Selatan tampaknya masih akan menjadi ajang pembantaian antara serdadu Israel dan pejuang Hizbullah, serta Palestina, sekalipun gencatan senjata telah dicapai di wilayah itu.

"Operasi pertanggung jawaban" Israel, yang oleh Perdana Menteri Libanon Rafiq Al-Hariri ditafsirkan tak lebih dari "operasi balas dendam", begitu juga tentara Libanon belum dapat diharapkan mampu meredam kelompok Syiah pro Iran, Hizbullah.

Ketenangan dan kedamaian bagi wilayah tersebut kelihatannya baru bisa dicapai jika Israel keluar dari Libanon Selatan dan pemerintah Libanon memerintahkan Hizbullah melucuti senjata anggotanya.

Stabilitas di wilayah tersebut juga harus ditunjang dengan keberhasilan pembicaraan perdamaian Timur Tengah, dan Beirut, serta Suriah -- yang masih menggelar 35.000 prajuritnya di Libanon -- untuk berdamai dengan Israel.

Namun, itu bukanlah pekerjaan ringan karena Israel telah berulang kali menyatakan kesediaannya keluar dari Libanon, jika keamanan wilayah utaranya dijamin, sedangkan tentara Libanon sendiri belum cukup tangguh untuk memaksa Hizbullah.

Proses perdamaian Timur Tengah meskipun telah berlangsung selama 21 bulan, ternyata belum memperlihatkan kemajuan yang menggembirkan karena selain penarikan Israel dari Libanon Selatan, masih ada dua masalah lagi yang menghadang proses perdamaian tersebut, yaitu sengketa di Jerusalem Timur dan dataran Tinggi Golan.

Masalah Golan

Pemerintah Israel beberapa waktu lalu memuji upaya Suriah karena berhasil menahan diri dan membantu diakhirinya pertempuran di Libanon akhir Juli 1993, dan berpendapat kebijakan itu merupakan isyarat baik untuk memajukan pembicaraan perdamaian dengan Damaskus mengenai Dataran Tinggi Golan.

Permasalahan di wilayah Golan, hingga kini masih menjadi ganjalan dalam pembicaraan Suriah-Israel karena Pemerintah Suriah menghendaki penarikan total pasukan Israel dari dataran tinggi strategis tersebut sebelum normalisasi hubungan Damakus-Tel Aviv.

Tetapi, Israel menuntut Suriah mencapai perdamaian total dulu dengan Israel baru penarikan total dari Golan dibahas.

Israel merebut Dataran Tinggi Golan dari Suriah dalam Perang Timur Tengah tahun 1967.

Presiden Suriah Hafez Al-Assad disebut-sebut sebagai orang yang berada di belakang pemerintah Al-Hariri dan Hizbullah, menyerukan agar mereka berpadu pada masa krisis dan aksi Israel hanya memperlihatkan kekuatan pengaruh Suriah di Libanon.

Dalam persetujuannya untuk menghentikan serangan tujuh harinya, Israel menyatakan telah mendapat jaminan bahwa Hizbullah akan menghetikan serangan roket Katyusha terhadap Israel Utara.

Pada Ahad (1/8), Al-Assad dilaporkan mengatakan, "Semua orang yang menghendaki perdamaian takkan menembakkan roket atau bom atas penduduk sipil dan menghancurkan rumah mereka melalui serangan pesawat tempur."

Libanon, yang tidak bereaksi jika pasukannya tidak diserang meskipun wilayahnya "diinjak-injak oleh kesombongan Israel", menurut beberapa pejabat Libanon, sadar bahwa 40.000 tentaranya "bisa dibabat habis" oleh serdadu Yahudi.

Jerusalem

Upaya Christopher untuk menyelamatkan proses perdamaian Timur Tengah, yang macet setelah babak kesepuluh pembicaraan tersebut, ternyata tidak menghasilkan kemajuan selama Juli 1993, sehingga posisinya menjadi semakin sulit setelah serbuan Israel ke Libanon.

Kegagalan upaya Christopher mulai muncul dalam pertemuannya dengan delegasi Palestina pada Selasa (2/8) di Jerusalem Timur.

Menurut jurubicara tim perundingan Palestina Dr. Hanan Ashrawi, belum ada persetujuan mengenai pilihan yang diajukan timnya guna menembus kebuntuan proses perdamaian Timur Tengah.

Palestina dan Israel telah merundingkan penyelesaian dua tahap masalah mereka dengan diawali oleh masa kekuasaan Palestina selama lima tahun di wilayah pendudukan, tidak termasuk Jerusalem Timur, walaupun kebuntuan penyelesaian tetap menghadang permasalahan luas lingkup otonomi Palestina.

Palestina telah menampik usul AS yang diajukan selama babak ke-10 perundingan di Washington, Juli 1993, yang isinya antara lain tentang bangsa Palestina menangani urusan pemerintahan di Tepi Barat Sungai Jordan dan Jalur Gaza, tapi membiarkan dulu masalah Jerusalem sampai pembicaraan mengenai status mereka dimulai tiga tahun kemudian.

Palestina menghendaki Jerusalem Timur dibahas dalam setiap perundingan, sementara Israel menganggap Jerusalem sebagai ibukota utuh negara Yahudi dan tak mau merundingkan kota kuno tersebut.

Setibanya di Kairo, pada tahap awal lawatannya di Timur Tengah, Christopher diberitakan mengatakan, "Saya kira takkan ada terobosan, tak ada perkembangan dramatis tapi saya berharap kami dapat mengupayakan kemajuan bagi perdamaian di wilayah ini." (05/08/93 09:15)

GEMPURAN ISRAEL PERKUAT POSISI HIZBULLAH

Jakarta, 2/8 (ANTARA) - Gempuran Israel selama tujuh hari terhadap kelompok perlawanan Syiah, Hizbullah, dan pejuang garis Palestina di Libanon Selatan, yang sebenarnya ditujukan untuk memperlemah kedua kelompok yang dianggap ancaman atas daerah Israel Utara, malah membuat kelompok perlawanan itu mendapat dukungan.

Serangan darat, udara dan laut Israel dinyatakan berakhir oleh penguasa di Jerusalem pada Sabtu (31/7) dalam gencatan senjata yang ditengahi oleh Amerika Serikat.

Sebelumnya, gempuran kaum Yahudi tersebut membuat ratusan orang Libanon meninggalkan kediaman mereka yang diharapkan Israel akan menekan Beirut dan Damaskus, yang sampai kini masih menggelar 35.000 prajurit di Lembah Bekaa, Libanon Selatan.

Arus pengungsi akibat "operasi pertanggung jawaban" Israel itu oleh Perdana Menteri Libanon Rafik Al-Hariri dikatakan, sebagai operasi balas dendam dan menjadi tujuan gempuran Israel.

Menurut laporan kantor berita Barat, arus pengungsi di Libanon mencapai lebih dari 350.000 orang yang semula diharapkan Israel dapat memaksa Libanon dan Suriah menekan semua kelompok perlawanan di Libanon Selatan, sehingga hilanglah ancaman terhadap wilayah Yahudi dari sebelah utara.

Aksi militer Israel itu menewaskan 130 orang yang sebagian besar adalah penduduk sipil, melukai lebih dari 500 orang dan memaksa 250.000 orang meninggalkan kediaman mereka, serta mengakibatkan kerusakan harta benda bernilai ratusan juta dolar AS.

Dampak serangan umum tersebut ternyata malah bertolak-belakang dengan harapan penguasa Zionis itu, karena sebagian besar penduduk sipil tak berdosa di Libanon justru menyalahkan Israel karena kini mereka kehilangan tempat tinggal akibat tujuh hari gempuran yang terjadi di Libanon.

Kini, masyarakat Libanon malah mendukung serangan kelompok Hizbullah dan pejuang Palestina terhadap pasukan Israel di garis perbatasan yang telah diumumkan secara sepihak oleh Israel sebagai zona keamanan serta milisi asuhannya, yaitu Tentara Libanon Selatan (SLA).

Pasukan Hizbullah itu terbentuk dari kelompok miskin dan penganut faham Syiah di Libanon selama berlangsungnya serbuan Israel pada 1982, serta menjadi kelompok yang belum dapat dilucuti senjatanya oleh pemerintah Libanon.

Posisi Hizbullah

Gempuran paling sengit Israel sejak tahun 1982 terhadap posisi pasukan Hizbullah di Libanon, ternyata tidak membuat satuan tempur tersebut takluk pada penguasa di Jerusalem.

Syeikh Hassan Nasrallah, pemimpin Hizbullah yang mendapat dukungan dari Iran dan Suriah, dilaporkan telah berikrar bahwa kelompoknya akan terus menentang pendudukan Israel atas wilayah Libanon.

Tekad Nasrallah tampaknya juga mendapat dukungan dari Presiden Suriah Hafez Al-Assad, yang secara mengejutkan mendapat pujian dari Israel karena berhasil menahan diri.

Menurut Nasrallah, cita-cita kelompoknya tetap tak tergoyahkan, yaitu perlawanan terhadap pendudukan Israel di Libanon Selatan.

Keadaan itu, kata Nasrallah, "Bila Israel berhasil melaksanakan keinginannya membungkam perlawanan, maka akan berarti berakhirnya negara Libanon."

Sementara itu Al-Assad berpendapat, perlawanan atas pendudukan Israel adalah hak sah rakyat Libanon bagi diakhirinya pendudukan Israel.

Israel meskipun menerima gencatan senjata di Libanon, ternyata belum memperlihatkan tanda akan membuat perdamaian di wilayah tersebut.

"Orang yang menghendaki perdamaian takkan melancarkan serangan roket dan bom terhadap penduduk sipil dan takkan mengirim pasukan udaranya untuk menghancurkan rumah penduduk sipil," kata Presiden Suriah.

Di Teheran, Menteri Luar Negeri Iran Ali Akbar Velayati berkomentar, bahwa semua serangan Israel semata-mata menempa persatuan rakyat Libanon dengan kelompok perlawanan.

Israel berusaha membungkam Hizbullah, kata Velayati, tetapi yang terjadi adalah sebaliknya.

"Serangan Israel semata-mata menjadi tempaan solidaritas di kalangan rakyat Libanon," demikian Velayati. (02/08/93 13:16)

KELUWESAN IRAK BUKAN JAMINAN BAGI PENCABUTAN EMBARGO

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 22/7 (ANTARA) - Meskipun Irak sudah meperlihatkan "keluwesan" dengan mengijinkan pemantauan jangka panjang program senjatanya, PBB tetap mempertahankan embargo keras terhadap negeri itu, sebagaimana diputuskan Dewan Keamanan PBB Rabu (21 Juli).

Sebelumnya, dalam pembicaraan dengan pemimpin tim penyelidik PBB Rolf Ekeus, Irak "memperlunak" sikapnya dan mengijinkan pemasangan kamera pemantau di instalasi rudalnya -- tindakan yang dikatakan banyak pengamat telah menghilangkan ancaman serangan baru terhadap Baghdad.

Tetapi sikap tersebut ternyata tidak menggoyahkan pendirian DK PBB, yang dalam peninjauan rutin setiap 60 hari mempertahankan sanksi yang telah berlangsung hampir tiga tahun sejak serdadu Irak menyerbu Kuwait Agustus 1990.

Sehari sebelumnya, Presiden AS Bill Clinton dilaporkan memperpanjang embargo dagang atas Irak dan pembekuan aset Baghdad.

Menurut DK PBB, Baghdad masih belum mematuhi sepenuhnya tuntutan DK PBB dalam resolusi gencatan senjata Perang Teluk tahun 1991, yang mencakup penutupan total semua program senjatanya -- prasyarat yang harus dipenuhi Irak sebelum negeri itu dapat mengekspor kembali minyaknya secara bebas.

Ketua DK PBB Sir David Hanay dari Inggris, sebagaimana dilaporkan kantor-kantor berita Barat, mengatakan "persyaratan yang diperlukan" bagi perubahan semua sanksi belum terpenuhi.

Meskipun begitu, menurut Hanay, keputusan DK PBB itu bukan merupakan hukuman sebelum memeriksa laporan dari Ekeus.

Ekeus dijadwalkan melaporkan kepada DK PBB hari Kamis (22/7) mengenai hasil pembicaraannya pekan ketiga bulan Juli dengan para pejabat Irak tentang pemasangan kamera pemantau di dua tempat percobaan rudal di Baghdad.

Prosedur rumit

Hanay menyatakan Irak menerima baik selama pembicaraan dengan Ekeus tentang pemantauan jangka panjang potensi senjatanya. Namun, tambahnya, dipenuhinya tuntutan itu hanyalah satu tindakan yang termasuk dalam prosedur rumit sebelum rencana pengawasan dilaksanakan.

Pembahasan Ekeus dengan para pejabat Irak, menurut beberapa sumber DK PBB yang dikutip Reuter, meliputi pemasangan kamera tapi bukan pengaktifan kamera tersebut. Sementara itu, PBB akan terus memantau tempat percobaan tersebut, kemungkinan melalui pesawat pengintai.

Irak telah menerima baik resolusi yang akan memungkinkan PBB memantau industri militernya di masa mendatang guna menjamin bahwa Baghdad tidak membuat senjata penghancur massal lagi.

Tim Irak dan PBB September mendatang akan membahas pemantauan itu dan apa yang harus dilakukan Baghdad atas persenjataannya untuk mematuhi sepenuhnya persyaratan gencatan senjata Perang Teluk.

Irak sebenarnya telah lama meminta penyelenggaraan pertemuan seperti itu, dengan harapan embargo perdagangan dapat diringankan atau bahkan dicabut.

Tetapi, baik Amerika Serikat maupun Inggris -- yang bersikap paling keras terhadap Baghdad di DK PBB -- tidak memperlihatkan isyarat akan memperlunak sikap.

Tiga masalah

Sementara itu dilaporkan, para pejabat Irak bersama PBB akan membahas tiga masalah pengiriman minyak, pemantauan pemasokan pangan dan resolusi tahun 1990 mengenai pembekuan aset.

Perundingan tersebut, yang akan mengijinkan Irak menjual minyaknya seharga 1,6 miliar dolar AS untuk membeli obat serta makanan yang sangat dibutuhkan rakyatnya di bawah pengawasan ketat PBB, ditunda bulan ini setelah berlangsung selama satu pekan.

Irak hanya akan memperoleh sebesar 900 juta dolar AS dari penjualan minyak tersebut untuk membeli makanan dan kebutuhan lain buat 18 juta rakyatnya.

Sampai kini belum terlihat titik terang persetujuan yang akan memungkinkan Irak untuk pertama kali menjual minyaknya sejak negeri itu dijatuhi embargo dagang di seluruh dunia tak lama setelah pasukannya menyerbu Kuwait bulan Agustus 1990.

Sanksi tersebut telah membuat Irak harus menanggung beban berat. Meskipun pemasokan makanan serta bantuan kemanusiaan lain tidak termasuk dalam embargo itu, Irak -- yang mengalami kesulitan ekonomi akibat embargo tersebut -- hanya bisa membeli kebutuhan pokok dalam jumlah kecil.

Yang mungkin menjadi topik dalam pembicaraan Irak-PBB kali ini adalah dua resolusi yang disahkan PBB tahun 1990, pertama mengenai penjualan minyak dalam jumlah terbatas dan akan disalurkan bagi pembelian makanan serta obat.

Resolusi kedua ialah biaya para penyelidik senjata PBB dan biaya rehabilitasi korban perang.

Tiga masalah masih mengganjal dalam pembicaraan Irak dengan PBB.

Pertama adalah penjualan hasil minyak. Irak ingin mengirimkan sebagian besar minyaknya melalui pelabuhannya di Teluk, Mina Al-Bakr, sedangkan Amerika Serikat dan Inggris dilaporkan menghendaki sedikit- dikitnya 80 persen minyak Irak dikirimkan melalui saluran ke Turki guna memudahkan pemantauan.

Beberapa pejabat PBB dilaporkan telah menyarankan penetapan bahwa minyak dapat disalurkan melalui dua terminal, tapi Washington menginginkan ketentuan yang lebih spesifik.

Irak ingin melewati saja saluran tersebut bagi pengiriman minyaknya karena jika tidak, Baghdad harus membayar ongkos pengangkutan kepada Turki.

Masalah kedua adalah pemantauan. Di antara banyak ketentuan mengenai pemantauan, pengawasan atas pembagian makanan dan obat menjadi pangkal permasalahan, terutama di daerah kaum Syiah Irak di bagian selatan negeri tersebut.

Amerika Serikat sudah membagikan makanan kepada suku pemberontak Kurdi di Irak Utara, tapi hampir tidak memiliki penjaga atau pemantau di Irak Selatan. Amerika Serikat dan Inggris menghendaki ketetapan ketat mengenai cara pemantauan pembagian makanan.

Masalah ketiga ialah aset Irak. Baghdad menginginkan pencabutan resolusi yang disulut Amerika tahun 1990, yang mengijinkan negara asing membekukan aset Irak di luar negeri.

Resolusi itu ditulis sedemikian rupa sehingga aset Irak di sebagian besar negara asing terpaku, kecuali di Amerika Serikat dan Arab Saudi. (22/07/93 10:57)

PENDERITAAN RAKYAT BOSNIA TAK KUNJUNG REDA

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 10/7 (ANTARA) - Nasib Bosnia semakin tak menentu karena pertempuran yang tak kunjung reda meskipun upaya perdamaian terus dilancarkan dan usul terbaru pun disampaikan untuk membagi republik Balkan itu, sementara silang pendapat antara Barat dan negara-negara Islam ikut mewarnai konflik tersebut.

Perang di Bosnia-Herzegovina saat ini sudah menjadi pertempuran tiga pihak -- etnik Serbia, Kroasia dan Muslim Bosnia. Sebelumnya, etnik Kroasia dan Muslim Bosnia saling dukung meskipun dalam aliansi yang rapuh.

Pertempuran sengit paling akhir dilaporkan kantor berita Barat berkecamuk di sekitar Maglaj dan Zavidovici, yang dikuasai kaum Muslim Bosnia.

Lebih dari 40 orang tewas dan 100 cedera dalam pertempuran antara pasukan Kroasia dan Muslim Bosnia tersebut. Tak kurang dari 2.000 prajurit Muslim Bosnia ditangkap pasukan etnik Kroasia di wilayah Maglaj.

Pemerintah di Maglaj minta bantuan pasukan pemelihara perdamaian PBB dan menyerukan Dewan Keamanan PBB agar menyatakan kota kecil itu sebagai "daerah aman" seperti enam daerah kantong Muslim Bosnia di Bosnia Timur.

Dampak pertempuran itu sendiri bukan hanya merongrong rakyat tak berdosa di republik bekas Yugoslavia tersebut, tapi juga mulai merembes ke luar.

Kegagalan Barat menghentikan gempuran etnik Serbia Bosnia, dan kini ditambah serangan etnik Kroasia, terhadap kaum Muslim Bosnia, mengundang risiko tak kecil.

Silang pendapat semakin jelas antara Barat dan negara-negara Islam. Banyak pihak berpendapat Barat telah mengabaikan rakyat Bosnia.

Negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OIC) juga mulai sengit terhadap kelambanan Barat dalam ikut mencari penyelesaian konflik di republik bekas Yugoslavia tersebut.

Nada keras disampaikan Menteri Luar Negeri Iran Ali Akbar Velayati pada konferensi di Swiss bulan Juni.

Bukan terbaik ?

Upaya negara-negara Islam untuk menggolkan resolusi pencabutan embargo senjata PBB agar pemerintah Bosnia bisa memiliki pertahanan lebih baik dalam menghadapi gempuran etnik Serbia Bosnia, yang memang unggul dalam persenjataan, gagal diwujudkan.

Dengan absteinnya Eropa dan beberapa negara lain, resolusi itu tak berhasil meraih sembilan suara yang dibutuhkan di Dewan Kemanan PBB, yang memiliki 15 anggota.

Menurut negara-negara Eropa, pencabutan embargo senjata hanya akan memperburuk pertumpahan di Bosnia. Negara-negara Barat menyatakan ketidak-sediaan mereka untuk turut campur secara militer "bukan karena rasa anti-Muslim tapi karena khawatir terjerumus secara berlarut-larut dalam konflik Balkan tersebut".

Pencabutan embargo juga diduga hanya akan memberi dampak kecil atas kaum Muslim Bosnia dalam mematahkan gempuran etnik Serbia.

Alasannya ? Bila senjata dapat sampai ke tangan tentara pemerintah Bosnia, yang mayoritas Muslim, semua itu bisa jadi akan digunakan untuk menggempur etnik Kroasia Bosnia dalam perebutan kekuasaan atas jalan dan kota industri di pusat negeri tersebut, kata beberapa ahli Barat kepada kantor berita Inggris, Reuter.

Sementara itu di front depan, kaum Muslim melancarkan strategis pertahanan yang memungkinkannya memusatkan upaya pada strategi ofensif melawan etnik Kroasia di Bosnia Tengah.

Jadi, kata mereka, kaum Muslim Bosnia akan bersikap bertahan dalam menghadapi etnik Serbia dan, dengang menggunakan senjata tersebut, akan melancarkan serangan terhadap etnik Kroasia Bosnia.

Selain itu, bila embargo yang dijatuhkan atas semua wilayah bekas Yugoslavia dicabut bagi kaum Muslim Bosnia, dapat dipastikan itu berarti akhir operasi bantuan kemanusiaan dan kehadiran militer PBB untuk melindungi kaum Muslim.

Mereka juga tak yakin semua senjata akan sampai ke pihak Muslim Bosnia dan kalaupun berhasil senjata tersebut tak mampu menghadapi persenjataan berat etnik Serbia.

Kiriman senjata yang melalui daerah etnik Kroasia juga sulit diharapkan akan dapat lewat, karena orang Kroasia tak mungkin akan membiarkan kiriman senjata lewat sedangkan mereka tahu semua senjata itu akan digunakan untuk menghantam mereka.

Aksi surut AS

Sementara itu pernyataan yang dikeluarkan Presiden AS Bill Clinton berbunyi ia mungkin akan menerima baik pembagian Bosnia menjadi tiga negara mini dalam konfederasi longgar.

Pernyataan tersebut dipandang sebagai perubahan besar yang merugikan kaum Muslim Bosnia dan menimbulkan tanda tanya mengenai komitmen AS atas perbatasan wilayah yang diakui internasional.

Bekas Presiden AS George Bush menentang pembagian Bosnia, yang memproklamasikan kemerdekaan bulan Februari 1992. Sebenarnya, Clinton juga telah menentang aksi seperti itu.

Tetapi sejak memangku jabatan bulan Januari tahun ini, kebijakan Clinton telah berubah-ubah. Pertama, ia menyokong rencana perdamaian dukungan PBB, yang diajukan oleh utusan Masyarakat Eropa Lord Owen dan bekas utusan PBB Cyrus Vance. Rencana tersebut mengusulkan pembagian Bosnia menjadi 10 provinsi berdasarkan etnik.

Belakangan ia mendesak serangan udara terhadap etnik Serbia Bosnia dan pencabutan embargo senjata.

Kini ia mempertimbangkan rencana yang diusulkan republik Serbia dan Kroasia untuk membagi Bosnia menjadi tiga negara merdeka.

Lucunya, usul paling akhir itu antara lain diajukan oleh republik Serbia, yang justru menentang pemisahan diri Bosnia-Herzegovina setelah didahului republik Kroasia dari Yugoslavia. Serbia malah menggempur kedua negara tersebut setelah keduanya memproklamasikan kemerdekaan.

Etnik Serbia di bekas Yugoslavia sesungguhnya belum melepaskan keinginan untuk mendirikan Republik Serbia Raya, yang meliputi Republik Serbia dan bagian republik Kroasia serta Bosnia yang diduduki orang Serbia.

Rencana tersebut telah disetujui etnik Serbia dan Kroasia Bosnia tapi ditolak Presiden Bosnia Alija Izetbegovic. Akibatnya, Izetbegovic harus menyaksikan keretakan Dewan Kepresidenan Bosnia karena tujuh dari 10 anggota menyokong rencana itu dan ditambah desakan internasional bagi penyelesaian konflik di negerinya.
(08/07/93 19:31)

RAFSANJANI TAMPIL LAGI DENGAN PROGRAM BARU

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 15/6 (ANTARA) - Ia dikenal sebagai tokoh fragmatis yang terus berusaha mempersatukan idealisme revolusioner Islam Iran dengan kebutuhan mendesak negeri itu saat ini, penyelesaian masalah ekonomi dan sikap bermusuhan negara lain.
Ali Akbar Hashemi Rafsanjani -- yang pernah menjadi orang dekat almarhum Pemimpin Revolusi Iran Ayatullah Ruhollah Khomeini -- memelopori perjalanan Iran dalam membangun ekonomi negeri tersebut. Ia juga berusaha menembus tabir pengucilan dunia internasional.
"Benar saya adalah seorang fragmatis. Saya berminat dengan fakta dan segala yang praktis". Itulah kata-katanya kepada wartawan tatkala berkunjung di Turki tahun 1991. "Iran akan berpegang teguh pada prinsip-prinsip revolusioner Islam dan secara bersamaan berusaha menampung sebanyak mungkin masukan dari Barat."
Mullah (orang alim) tingkat menengah dalam faham Syiah itu, menurut laporan kantor-kantor berita Barat, mendapat dukungan yang merosot bagi masa jabatan presiden keduanya dibandingkan dengan dukungan pada masa jabatan pertamanya.
Hasil penghitungan suara yang diumumkan hari Ahad (12/6) memperlihatkan Rafsanjani memperoleh 63,2 persen suara sedangkan pada Pemilu tahun 1989 tokoh moderat Iran itu memperoleh 94,5 persen suara.
Saingan terdekatnya -- ahli ekonomi Ahmad Tavakkoli -- menurut IRNA, meraih lebih dari 24 persen.
Dua saingan lain Rafsanjani, Abdolah Jasbi -- pemimpin suatu universitas swasta -- dan bekas anggota Majelis Iran -- Rajabali Taheri, memperoleh sebanyak 9,6 dan 2,3 persen suara.
Rafsanjani selama sembilan tahun menjadi Ketua Majelis (Parlemen) Iran sebelum terpilih menjadi presiden tahun 1989, setelah mendapat dukungan dari kawan dan pengganti Khomeini di bidang spiritual Iran, Ayatullah Ali Khamenei.
Ia terus berusaha menggolkan upaya pembaruan pasar bebas kendati banyak pihak di dalam negerinya tidak puas dengan tindakannya. Rafsanjani menyatakan pembaruan itu adalah satu-satunya cara membangun ekonomi yang makmur.

Suara kepercayaan
Setelah dapat dipastikan menang dalam pemilu untuk masa jabatan empat tahun keduanya, Rafsanjani dilaporkan menyebutnya sebagai suara kepercayaan yang akan membuat dia melancarkan pembaharuan ekonominya.
Menurut Rafsanjani, dua pertiga pemilih telah memberi dia tanda persetujuan.
Tetapi merosotnya dukungan bagi Rafsanjani menimbulkan spekulasi bahwa ia mungkin saja akan memperlambat laju pembaharuan yang telah mengguncang keuangan banyak orang di Iran.
Meskipun begitu, Rafsanjani -- ketika berbicara melalui radio pemerintah yang dipantau kantor berita UPI -- menyampaikan keyakinan bahwa kemenangannya cukup membesarkan hati di saat kesulitan ekonomi sedang dihadapi Iran.
Ia juga berpendapat hasil pemilu tersebut menunjukkan kematangan di kalangan pemberi suara di negerinya.
Program pembaharuan Rafsanjani mencakup penswastaan lembaga dan industri negara serta pengurangan bertahap subsidi besar di bidang bahan pokok seperti makanan dan bahan bakar.
Perekonomian Iran, yang belum pulih benar akibat perang delapan tahun melawan Irak, juga terkena dampak resesi dunia pada umumnya.

Bentrokan dengan AS
Selama krisis Teluk tahun 1990-91 akibat serbuan pasukan Irak ke Kuwait, Rafsanjani membawa Iran bersikap netral, meskipun kelompok garis keras di negeri tersebut mendesak agar Iran membantu Irak menghadapi pasukan multinasional pimpinan AS.
Tindakan Rafsanjanji itu ditambah desakan Teheran kepada semua kelompok milisi Syiah Libanon agar membebaskan semua sandera Barat tahun 1991 dan 1992 mendapat pujian Barat.
Meskipun begitu hubungan antara Iran dan Amerika Serikat tetap tidak membaik. AS tahun ini bahkan tetap memasukkan Iran dalam kelompok negara "pendukung terorisme".
Dalam wawancara dengan majalah AS, Times, bulan lalu -- sebagaimana dikutip Reuter, Rafsanjani juga menuduh Washington mengingkari janji tak langsungnya untuk mencairkan aset Iran yang dibekukan sebagai imbalan bagi pembebasan sandera-sandera Barat.
Washington tidak mengendurkan tekanan atas aliansinya agar tidak menanam modal di Iran, sedangkan Iran membutuhkannya untuk menghidupkan kembali perekonomian negeri tersebut.
Tindakan AS mempersamakan Iran dengan Irak menimbulkan keprihatinan di kalangan aliansinya bahwa sikap bermusuhan seperti itu bisa membuat Iran kembali ke jalur keras.
Banyak pengamat berpendapat Barat mestinya mempertahankan tekanan atas Rafsanjani guna membendung aksi kekerasan oleh kelompok-kelompok garis keras di luar negeri.
Rafsanjanji -- yang dilahirkan 25 Agustus 1934 di sebuah desa di Iran Selatan -- pergi ke kota suci kaum Syiah, Qom, untuk mempelajari teologi ketika berusia 14 tahun.
Ia juga ikut dalam Revolusi Islam Iran pada awal tahun 1960-an dan lima kali dijebloskan ke dalam penjara selama masa 15 tahun kemudian karena menjadi anggota aktif kelompok oposisi.
Setelah keberhasilan Revolusi Islam Iran tahun 1979, ia ditunjuk oleh Imam Khomeini sebagai anggota Dewan Revolusioner.
Ia lolos dari upaya pembunuhan tahun 1979 dengan menderita luka ringan.
(15/06/93 10:06)

COSIC DIDEPAK DEMI KELANJUTAN AMBISI SERBIA

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 6/6 (ANTARA) - Di saat pertempuran semakin luas di bekas Yugoslavia, kelompok bekas komunis dan kaum nasionalis radikal Serbia Senin malam (1/6) mendepak Presiden Federal Yugoslavia Dobrica Cosic.
Tindakan itu agaknya dapat memperuncing silang pendapat antara kelompok garis keras Serbia dan orang-orang yang lebih moderat dari Parlemen Montenegro.
Cosic didepak dengan suara 22 berbanding 10 dan empat kosong di Dewan Republik, sementara di Dewan Rakyat, 75 delegasi menyokong penggulingan Cosic dan 34 menentang.
Penggulingan Cosic, kata kantor-kantor berita Barat, merupakan upaya untuk mempertahankan kelangsungan hidup jalur garis keras kaum nasionalis Serbia.
Sebelum pemungutan suara, Dewan Rakyat menyetujui suatu mosi tak percaya yang menuduh Cosic, 71, telah melanggar undang-undang federal. Mosi yang sama juga disetujui di Dewan Republik.
Federasi Yugoslavia saat ini hanya terdiri atas republik Serbia dan Montenegro, karena empat republik lain, yaitu Kroasia, Macedonia, Slovenia dan Bosnia-Herzegovina telah memproklamasikan kemerdekaan.
Kelompok ultranasionalis Partai Radikal Serbia (SRP) pimpinan Vojislav Seselj yang menguasai dua-pertiga kursi di Parlemen Yugoslavia, membutuhkan dukungan dari partai utama di bekas Yugoslavia, Partai Sosialis Serbia (SPS), pimpinan Presiden Serbia Slobodan Milosevic untuk mensahkan tindakannya.
Reuter melaporkan, keputusan kelompok SPS guna mendukung kaum ultranasionalis memperlihatkan keinginan untuk mendinginkan para pengikut Seselj dan mencegah keruntuhan pemerintahan minoritas Milosevic yang sangat bergantung pada dukungan kelompok radikal.

Otak penggulingan
Karir Seselj yang menjadi otak penggulingan Presiden Federal Yugoslavia tersebut terlihat "meroket" sejak perang meletus di Bosnia-Herzegovina.
Perpaduan berbagai faktor, termasuk kemampuannya dalam berpidato, telah memungkinkannya menjadi "pentolan" di kancah politik Serbia, berupa perang Bosnia.
Ia, menurut AFP, juga membina hubungan baik dengan Milosevic, dan meniti karir politiknya di bawah bayang-bayang Presiden Serbia itu.
Seselj (38) juga memperoleh popularitas dengan menyerukan pembentukan republik Serbia yang lebih besar yang mencakup pantai Dalmatian dan membentang sampai hampir mencapai Zagreb, sementara politisi lain Serbia terpaku pada angan-angan mengenai Yugoslavia.
Ia menjadi pembangkang ajaran Titoisme tahun 1984, ketika ia menyelesaikan studinya di bidang sosiologi di Universitas Sarajevo.
Pada penghujung tahun 1990, ia hanya memiliki sedikit pendukung, tapi enam bulan kemudian terpilih sebagai utusan yang mewakili distrik klas atas Beograd. Satu tahun setelah itu, kata kantor berita Perancis, ia menjadi pemimpin partai paling tangguh kedua di republik Serbia, Partai Radikal Serbia.
Ia memperoleh dukungan pemerintah di Beograd, dan media yang saat itu dikuasai para pendukung Milosevic dengan memberi dia ruang (rubrik) untuk bertindak sebagai oposan Milosevic, yang mampu menyampaikan secara terbuka apa yang hanya dapat dibayangkan orang lain.
Maka akhirnya, ia pun menjadi lambang politikus yang dianggap kotor, cekcok dengan para pengunjuk rasa, menuduh partai oposisi sebagai pengkhianat, mengancam mahasiswa dengan moncong senjata, dan mengatur rombongan personil para militer untuk membumihanguskan Republik Kroasia dan Bosnia-Herzegovina.
Serangkaian kegiatan itu kelihatannya untuk mempertahankan hak orang Serbia agar hidup dalam satu negara.

Bencana
Setelah didepak oleh kaum konservatif sisa Yugoslavia, Cosic tidak diam begitu saja dan menuduh Milosevic sebagai penganut Stalin karena memperkuat cengkeramannya di Yugoslavia.
Kelompok ekstrim dan konservatif, menurut Cosic sebagaimana dilaporkan Reuter, mengambil-alih dunia politik Yugoslavia dan membawa negeri itu ke dalam bencana, serta menjerumuskan rakyatnya ke dalam kesulitan.
Penggulingan Cosic adalah aksi kelompok garis keras Serbia yang ditujukan untuk menentang Barat dalam konflik Bosnia-Herzegovina dan kelihatannya menjadi aksi kejam Milosevic.
Tindakan tersebut mengakibatkan kekuasaan berada di tangan Milosevic, yang dipandang oleh Washington dan banyak negara lain, sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas perang di wilayah Balkan selama dua tahun terakhir ini.
Pemecatan Cosic dilaporkan juga mengundang protes di Beograd yang berubah menjadi kerusuhan dan menewaskan satu anggota polisi, melukai tiga perwira polisi dan 32 orang lagi.
Sementara itu Washington, yang saat ini masih menghadapi penentangan Eropa mengenai pencabutan embargo senjata terhadap Bosnia, memperkirakan takkan ada perubahan nyata dalam kebijakan Serbia menyusul penggulingan Cosic.
Jurubicara Departemen Luar Negeri AS Richard Boucher berpendapat takkan ada perubahan nyata dalam kebijakan Serbia. (05/06/93 14:46)

RENCANA PERDAMAIAN BELUM MAMPU HENTIKAN PERTEMPURAN DI BALKAN

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 27/5 (ANTARA) - Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, dari gencatan senjata sampai ancaman aksi bersenjata, pertempuran di Bosnia-Herzegovina tak kunjung reda.
Sampai saat ini, kata-kata -- bahkan ultimatum mengenai "zona larangan terbang" -- tak mampu menghentikan etnik Serbia Bosnia, kaum Muslim Bosnia dan etnik Kroasia dari aksi menarik picu dan menumpahkan darah.
Terlepas dari siapa yang mencetuskan perang dan tak mau menerima perdamaian, perang di wilayah Balkan tersebut semakin brutal dan kian memprihatinkan.
Ribuan orang, termasuk penduduk sipil yang terdiri atas anak-anak dan kaum wanita, diberitakan telah tewas sejak pertempuran meletus sekitar 13 bulan lalu.
Utusan perdamaian Masyarakat Eropa (EC) Lord Owen pekan ketiga bulan Mei memperingatkan Bosnia-Herzegovina takkan bisa selamat sebagai satu negara utuh bila pertempuran berkecamuk terus. Pertempuran di Bosnia-Herzegovina bukan hanya terjadi antara etnik Serbia dan kaum Muslim bersama etnik Kroasia, tapi juga antara kaum Muslim dan etnik Kroasia.
Owen khawatir republik bekas Yugoslavia itu akan menjadi Libanon Eropa.
Ia juga khawatir pertempuran tersebut akan merembet ke luar garis perbatasan bila Bosnia-Herzegovina terjerumus ke dalam "onggokan" etnik yang terpecah-pecah.
Menurut seorang bekas sandera Barat di Libanon, Heinrich Struebig, (51), yang ikut dalam pengiriman bantuan darurat ke Kroasia, penderitaan manusia di bekas Yugoslavia justru lebih berat dibandingkan dengan yang terjadi di Libanon. Struebig adalah salah seorang petugas bantuan di Libanon ketika ia diculik oleh suatu kelompok Syiah bulan Mei 1989 dan disandera bersama rekannya dari Jerman Thomas Kemptner selama hampir tiga tahun.
Struebig, sebagaimana dilaporkan Reuter, mengatakan Libanon dan Yugoslavia memiliki kesamaan -- masing-masing pihak memperburuk konflik antaretnik di wilayahnya.
Memang sulit diharapkan Bosnia-Herzegovina akan tetap ada bila semua etnik di republik itu tak dapat hidup berdampingan.
"Saya sama sekali tak pernah membayangkan bahwa penduduk Muslim akan mengizinkan pemecahan negerinya. Mereka akan bertempur. (Pertempuran) itu akan seperti di Libanon," kata Owen sebagaimana dikutip Reuter.
Tetapi rencana perdamaian yang disusun Owen dan utusan PBB Cyrus Vance bagi penyelesaian konflik Bosnia justru berupa pembagian republik itu menjadi 10 provinsi semi-otonom berdasarkan garis etnik. Rencana tersebut akan mengurangi wilayah yang dikuasai Serbia Bosnia dari 70 menjadi 43 persen, sehingga etnik penentang pemisahan diri Bosnia dari Yugoslavia menjadi satu-satunya pihak yang menentang rencana itu.
Etnik Serbia Bosnia bermaksud mendirikan republik sendiri di Bosnia-Herzegovina.


Dipecah
Keprihatinan Owen tampaknya tak mempengaruhi tindakan rakyat di republik tersebut. Harian Independen -- menurut laporan AFP -- memberitakan di London pertengahan bulan Mei bahwa republik Kroasia dan Serbia Bosnia diam-diam membahas penyelesaian perang Bosnia dengan membiarkan kaum Muslim dalam kesulitannya sendiri dan menghapus unsur penting rencana perdamaian utusan perdamaian PBB Cyrus Vance-Owen.
Menurut salah satu versi persetujuan itu, Kroasia Bosnia akan akan menerima baik wilayah tertentu yang diduduki etnik Serbia Bosnia dalam perang Bosnia.
Tindakan tersebut merupakan imbalan bagi pengakuan Serbia Bosnia atas Kroasia Bosnia sebagai suatu negara berdaulat di dalam wilayah perbatasan yang ditetapkan secara internasional.
Josip Manolic, pemimpin Komite Kroasia bagi Pemulihan Hubungan dengan Serbia, dilaporkan mengatakan topik utama pembicaraan yang telah berlangsung ialah pengakuan etnik Serbia Bosnia atas Kroasia. Itu merupakan imbalan bagi pemberian otonomi kepada etnik minoritas Serbia di Kroasia.
Etnik Serbia Kroasia, dengan dukungan Beograd, memberontak bulan Juni 1991 dan mendirikan negara kecil yang dinamakan Republik Krajina Serbia. Pemerintah Kroasia menghendaki orang Serbia Krajina membatalkan klaimnya dan memperkenankan pemulihan integritas Kroasia.
Menurut beberapa sumber Serbia yang dikutip AFP, pembicaraan itu bukan hanya mencakup Kroasia tapi juga pengaturan politik dan wilayah Bosnia-Herzegovina.
Persetujuan Kroasia-Serbia tersebut berpusat pada status suatu daerah di bagian utara Bosnia, di sekitar kota kecil Brcko, tempat etnik Serbia Bosnia memerlukan kendali guna mempertahankan hubungan yang efektif dengan republik Serbia.
Rencana yang disusun oleh Owen dan Vance menjanjikan etnik Serbia Bosnia jalur untuk memasuki republik Serbia melalui Bosnia Utara, tapi daerah Brcko sendiri ditetapkan akan diserahkan kepada etnik Kroasia Bosnia.


Dukungan Barat
Sementara itu meskipun pihak Barat terus berusaha menghidupkan rencana perdamaian Vance-Owen, yang mendapat dukungan PBB, sebagai satu-satunya pilihan jangka panjang, Barat mulai menggeser pemusatan perhatian pada tindakan yang tak terlalu menggebu-gebu.
Tujuannya ialah untuk mewujudkan harapan bagi berakhirnya pertempuran di Bosnia.
Pada pertemuan para menteri pertahanan NATO di Brussel hari Selasa (25/5) terbukti bahwa kebijakan baru yang kontroversial, terutama masalah penggunaan militer untuk melindungi daerah-daerah kantong kaum Muslim Bosnia, menghadapi masalah rumit.
Aliansi Barat tersebut belum mencapai kesepakatan mengenai campurtangan militer dalam skala penuh dan penolakan etnik Serbia Bosnia bagi rencana perdamaian Vance-Owen menimbulkan masalah baru. Negara-negara Eropa menolak aksi militer sementara Amerika Serikat menyerukan tindakan lebih keras seperti serangan udara.
Berbeda dengan yang pernah terjadi dalam aksi serangan serdadu Irak ke Kuwait tahun 1991. Saat itu negara-negara Barat serentak menyetujui aksi militer guna mengusir militer Irak dari keemiran yang kaya akan minyak di Teluk itu.
Banyak pengamat berpendapat, dalam kasus Irak-Kuwait pihak memiliki kepentingan nyata, minyak. Itu sebabnya Irak harus menghadapi gempuran militer selama tak kurang dari 40 hari.
Tetapi Bosnia-Herzegovina tidak memiliki nama kondang sebagai negara penghasil minyak jempolan di dunia. Jadi, menurut pengulas, bisa dimengerti bila Eropa tak bersedia menyetujui aksi militer karena "tak ada imbalan yang akan diperoleh dari tindakan tersebut".
Meskipun begitu, pada persetujuan yang dikeluarkan pada akhir pekan dan disiarkan kantor berita Reuter, Amerika Serikat, Rusia, Perancis, Inggris dan Spanyol berusaha mencapai konsensus dengan janji akan memperkeras sanksi terhadap Serbia.
Kelima negara itu juga berjanji akan meningkatkan upaya untuk menhentikan perang dan mempertahankan semua wilayah yang dirancang PBB sebagai "daerah aman".

Kacaukan ekonomi
Akibat pertempuran yang tak kunjung reda di wilayah Balkan tersebut, harga bahan pokok dilaporkan melonjak sampai 50 persen dalam beberapa pekan terakhir ini.
Itu juga merupakan akibat dari sanksi ekonomi yang diberlakukan satu tahun lalu oleh PBB atas Yugoslavia.
Ribuan orang diberitakan kehilangan pekerjaan sejak larangan atas transaksi ekonomi dan embargo minyak diberlakukan atas republik tersebut tanggal 30 Mei 1992, dua bulan setelah pertempuran antaretnik meletus di Bosnia-Herzegovina.
Kantor berita UPI melaporkan, pertengahan bulan Mei satu dolar AS bernilai 370.000 dinar Yugoslavia di pasar gelap. Satu hari sebelumnya, satu dolar AS dijual dengan harga 250.000 dinar.
Sebuah restoran terkenal diberitakan hari Jumat (21/5) menjual roti burger "big mac" dengan harga 150.000 dinar, dua hari kemudian harga itu menjadi 200.000 dan hari berikutnya naik lagi menjadi 250.000 dinar.
Bensin biasanya dijatah 10 liter per mobil setiap bulan. Harga bensin per liter sebesar 250.000 dinar, atau sekitar 71 sen.
Namun menurut UPI, simpanan bensi negara di seluruh republik Bosnia telah habis dan hanya tempat pompa bensin swasta yang masih beroperasi dengan harga 700.000 dinar, atau dua dolar AS, per liter
Di negara yang penduduknya berpenghasilan sebesar 10 juta dinar, atau sekitar 30 dolar AS, per bulan, upaya rakyat untuk mempertahankan isi lemari mereka menjadi kian sulit.
Tahun 1990, nilai tukar satu dolar AS adalah 11,87 dinar. (26/05/93 19:08)

MOMENTUM KE ARAH PENYATUAN EROPA HIDUP LAGI

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 19/5 (ANTARA) - Sejarah tak berulang di Denmark dengan diterimanya persetujuan Maastricht oleh rakyat negeri itu, dan momentum ke arah penyatuan Eropa pun hidup lagi.

Ketidak-tentuan ekonomi negeri tersebut juga berakhir sudah setelah rakyat Denmark, yang bulan Juni tahun lalu menolak persetujuan Maastricht -- mengenai penyatuan mata uang, ekonomi dan politik Eropa -- dengan mayoritas tipis 50,7 berbanding 49,3 persen, menyetujuinya dalam referendum hari Selasa.

Menurut laporan kantor-kantor berita Barat, rakyat Denmark menerima baik persetujuan Maastricht dengan suara 56,8 berbanding 43,2 persen.

Penolakan rakyat Denmark bulan Juni lalu mengakibatkan krisis dan memberi dorongan kepada kelompok penentang persetujuan Maastricht di beberapa negara anggota Masyarakat Eropa (EC).

Seandainya terjadi penolakan kedua oleh rakyat Denmark, persetujuan tersebut, yang harus disetujui oleh semua 12 anggota EC, kata AFP, akan menderita pukulan besar.

Kantor berita Inggris, Reuter, melaporkan bahwa kaum politikus dan tokoh pengusaha Denmark menarik napas lega dengan hasil yang menjungkir-balikkan hasil referendum hampir satu tahun lalu di negeri mereka.

Menurut penasehat ekonomi Barclays Bank, Peter Luxton, penerimaan persetujuan itu menghilangkan risiko terjadinya devaluasi mata uang Crown Denmark.

Perdana Menteri Denmark Poul Nyrup Rasmussen merasa gembira dengan "keputusan yang telah menjernihkan posisi Denmark di Eropa" tersebut.

Persetujuan itu dilaporkan juga disambut baik oleh para pemimpin Eropa dan di Brussel, Ketua Komisi EC Urusan Eropa Jacques Delors percaya hasil referendum hari Selasa di Denmark dapat memberi dorongan kepada EC untuk meninggalkan masa suram dan pasif.

Perdana Menteri Inggris John Major diberitakan berikrar akan mengikuti jejak Denmark dan mendorong negerinya agar segera menerima persetujuan tersebut yang disepakati di kota Maastricht, Belanda, tahun 1991 bagi penyatuan mata uang dan kebijakan luar negeri bersama EC.

Menguat

Dukungan bagi persetujuan itu, yang akan membentuk mata uang tunggal Eropa serta kebijakan pertahanan dan luar negeri bersama bagi semua 12 anggota EC, dilaporkan telah stabil dalam beberapa bulan setelah merosot.

Setelah penolakan bulan Juni lalu, Copenhagen kemudian mengupayakan perubahan dalam pertemuan puncak EC di Edinburg, Skotlandia, bulan Desember guna memupus suara "tidak".

Persetujuan itu sendiri berada dalam keadaan tak menentu sejak penolakan rakyat Denmark tersebut.

Upaya Denmark tersebut memungkinkannya menolak mata uang tunggal, kebijakan pertahanan bersama, kerjasama resmi lintas negara dan "kewarganegaraan Eropa".

Negara anggota lain EC, menurut UPI, dengan berat menyepakati persyaratan bagi persetujuan Edinburg itu, karena menyadari bahwa tanpa pengecualian Denmark bisa terkucil dalam EC dan tersisihnya salah satu negara anggota terkecil EC dapat memancing kemunduran di seluruh Eropa sehingga dapat menggagalkan penyatuan.

Persetujuan tersebut dirancang untuk memperkokoh hubungan ekonomi di kalangan 340 juta warganegara EC dalam mata uang tunggal, yang dijadwalkan berlaku paling lambat tahun 1999.

Namun banyak pengulas politik berpendapat penyatuan politik belum akan menghasilkan penyatuan yang lebih menentukan yang mampu menghasilkan gagasan internasional guna menyelesaikan masalah rumit seperti pertempuran di wilayah Balkan.

Hindari pengangguran

Sehari sebelum referendum, Rasmussen menduga persetujuan tersebut akan berlaku awal Januari tahun depan. Ia berpendapat semua negara anggota EC telah menyetujui pakta itu pada akhir tahun ini sehingga persetujuan Maastricht dapat berjalan tanggal 1 Januari.

Selain Denmark, Inggris dan Jerman belum menyelesaikan pengesahan persetujuan bagi ke-12 negara anggota EC tersebut.

Tindakan rakyat Denmark diduga akan memberi persetujuan itu dorongan pada parlemen Inggris dan melicinkan jalan bagi pelaksanaan persetujuan tersebut. Pengesahan oleh parlemen Inggris dan keberhasilan pengadilan Jerman mempertahankannya akan menjadikan persetujuan itu sebagai undang-undang.

Parlemen Jerman sebenarnya telah mensahkan persetujuan itu bulan Desember lalu tapi pihak oposisi telah meminta Pengadilan Undang-undang Dasar agar menghalangi pengesahan persetujuan tersebut.

Dengan diterimanya persetujuan Maastricht oleh rakyat Denmark, Copenhagen diperkirakan akan dapat melanjutkan kebijakan luar negeri dan memerangi pengangguran, yang menjadi tugas berat bagi negeri tersebut.

Banyak pemberi suara dukungan, sebagaimana dikutip UPI, mengatakan mereka memberi dukungan bagi persetujuan itu karena khawatir bahwa penolakan hanya akan membuat banyak orang kehilangan pekerjaan.

Namun para penentang persetujuan tersebut berkilah bahwa persetujuan Maastricht mengurangi prinsip demokrasi Denmark dengan menyerahkan kekuasaan bagi pembuatan keputusan "kaum birokrat tak terpilih di markas EC di Brussel".

Disetujuinya Maastricht oleh para pemilih dalam referendum hari Selasa berarti persetujuan itu telah sah secara otomatis di Denmark. Meskipun demikian pakta tersebut masih harus ditandatangani oleh Rasmussen dan Ratu Margarehte II dalam upacara resmi. (19/05/93 10:18)

AWAN GELAP PERTEMPURAN MASIH SELIMUTI KABUL

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 17/5 (ANTARA) - Belum genap 24 jam setelah gencatan senjata dilaporkan telah dicapai guna menghentikan pertempuran tiga hari antara pasukan Kementerian Pertahanan plus milisi Uzbek dari Afghanistan Utara melawan faksi-faksi saingan mereka yang merenggut ratusan jiwa, pertempuran berkecamuk kembali di Kabul.

Menurut laporan kantor-kantor berita Barat, gencatan senjata antara pasukan Kementrian Pertahanan Ahmad Shah Masood bersama anak buah milisi pimpinan Jenderal Abdul Rashid Dostum dengan pasukan Hezbi-I-Islami bersama aliansinya, kelompok Syiah pro-Iran Hezb-I-Wahdat, dicapai hari Jumat (14/5) dan berlaku pukul 22.00 waktu setempat (Sabtu dinihari WIB).

Bahkan hari Minggu kantor berita AFP mewartakan pasukan dan tank pemerintah Afghanistan digelar di pusat kota Kabul dalam persiapan untuk menggempur satuan Mujahidin saingannya di bagian selatan kota tersebut.

Hezb-I-Islami, calon Perdana Menteri Gulbuddin Hekmatyar, yang sedang berunding dengan pimpinan faksi saingannya Jamiat-I-Islami, Presiden Burhanuddin Rabbani, telah gagal menduduki Kabul, tapi menempatkan pasukan guna mencekik jalur kiriman bahan bakar dan makanan penting ke ibukota Afghanistan tersebut.

Sebelumnya, pertumpahan darah antar-faksi Mujahidin, yang kini tampaknya tak dapat lagi mengklaim anggotanya yang terbunuh sebagai Syahid, telah menghalangi kepulangan jutaan pengungsi Afghanistan dari Iran dan Pakistan ke tanah air mereka.

Sejak pejuang Mujahidin menggulingkan pemerintah pro-Uni Sovyet di Kabul bulan April 1992, faksi Mujahidin terpecah ke dalam kelompok agama dan etnik dan terlibat pertempuran untuk menguasai Kabul.

Akibat berbagai pertempuran antar-faksi Mujahidin, menurut Reuter, tak kurang sepertiga dari 1,5 juta penduduk Kabul telah menyelamatkan diri dari kota tersebut.

Upaya pemerintah Afghanistan untuk memulihkan keadaan dan menegakkan Syari'ah, atau hukum Islam, di Kabul, tempat berbagai kelompok Mujahidin saling gempur, juga tak bisa terwujud.

Terpecah

Peralihan kekuasaan di negara pejuang Mujahidin tersebut terus menjadi sumber percekcokan di kalangan para pemimpin faksi.

Sengketa terutama terkunci pada masalah orang yang menduduki jabatan menteri pertahanan negeri tersebut.



Hekmatyar , yang menentang dua jabatan penting dipegang oleh satu kelompok Mujahidin, menghendaki Masood meletakkan jabatan karena ia anggota Jamiat-I-Islami pimpinan Rabbani, tapi Rabbani berkeras mempertahankan posisi komandan pasukannya, yang berjuluk Singa Pansjir itu.



Benturan keras teristimewa terjadi antara Hezb-I-Islami, dipimpin Hekmatyar dengan Jamiat-I-Islami, pimpinan Rabbani serta antara Hezb-I-Islami, dipimpin tokoh kharismatik Yunus Khalis dengan kelompok Syiah Hezb-I-Wahdat.

Hekmatyar juga sejak lama tak pernah sepaham dengan Masood, dan kedua orang ini sudah sering saling melontarkan serangan.

Sebenarnya tak terdapat silang pendapat ideologi mencolok antara kedua orang itu. Keduanya adalah tokoh fanatik.

Hekmatyar, dibandingkan Masood, lebih mencuat sebagai tokoh radikal dan tak kenal kompromi terhadap kaum komunis. Itu sebabnya ia menentang Dostum; karena Dostum mulanya adalah salah seorang jenderal Najibullah dan baru bergabung dengan Mujahidin beberapa bulan sebelum Najibullah terdepak.

Tetapi biar bagaimanapun juga kedua orang tersebut adalah penganut faham Sunni.

Sementara itu perbedaan etnik, yang tahun lalu menjadi masalah besar di negeri , saat ini tidak terlalu muncul ke permukaan.



Majelis Syura

Dalam upaya mewujudkan perdamaian di kalangan rekannya sesama pejuang Mujahidin, Presiden sementara pertama Afghanistan Sibghatullah Mojaddedi, pertengahan Mei lalu menyerukan penyelenggaraan pertemuan Dewan Syura, Majelis tradisional di negeri tersebut.

Sementara Hekmatyar dan Rabbani berada di Pakistan dalam upaya menempa persetujuan demi terwujudnya pemerintah mendatang Afghanistan.

Persetujuan perdamaian yang diperantarai Pakistan dan Arab Saudi untuk mengakhiri pertikaian di kalangan faksi Mujahidin dan ditandatangani tanggal 7 Maret "praktis sudah mati".

Oleh karena itu, perlu diselenggarakan pengaturan Syura yang memiliki landasan luas guna menghentikan pertumpahan darah dan mendirikan pemerintah yang terdiri atas wakil semua kelompok Mujahidin, kata Mojaddedi.

Front Pembebasan Nasional Afghanistan (NIFA) ,faksi mantan Presiden pertama Mujahidin Afghanistan, ikut menandatangani persetujuan Islamabad itu, yang diperantarai Pakistan, Arab Saudi dan Iran.

Mojaddedi juga bermaksud mengupayakan pembentukan suatu komisi untuk mengatur Syura yang memiliki 1.500 sampai 2.000 personil di Jalalabad. Syura tersebut akan meliputi semua lapisan penduduk Afghanistan termasuk ulama, komandan Mujahidin, kaum intelektual dan kelompok lain.

Mojaddedi,yang tampaknya condong kepada Hekmatyar, menyalahkan Rabbani dan Masood sebagai penyebab gagalnya persetujuan perdamaian.

Ia juga mengutuk pertempuran di Kabul dan menyerukan gencatan senjata.

Di luar negeri, Iran menjadi negara pertama yang mencela pertempuran paling akhir di negeri pejuang Mujahidin itu.

Haruskah berlarut ?

Namun, dengan hancurnya gencatan senjata paling akhir hanya dalam waktu kurang dari 24 jam dan berlangsungnya pergolakan kekuasaan antar-faksi Mujahidin, harapan Mojaddedi kelihatannya akan sulit terwujud.

Pertempuran itu yang tak kalah sengit dibandingkan dengan pertempuran antara pejuang Mujahidin dengan pasukan Presiden terguling Najibullah, bahkan kian menenggelamkan negeri itu dalam perang saudara dan bukan tak mungkin akan membuat Afghanistan terkucil.

Cahaya perdamaian, yang sempat muncul ketika tercapai persetujuan perdamaian yang diperantarai Pakistan, Arab Saudi dan Iran, kini tertutup awan gelap lagi.

Seorang komandan Garnisun Kabul Jenderal Baba Jan bahkan merasa pesimis mengenai tercapainya penyelesaian perdamaian yang langgeng jika persyaratan tertentu tak dipenuhi oleh semua faksi Mujahidin yang bersaing.

Menurut Baba Jan, sebelum gencatan senjata diterapkan, setiap faksi harus lebih dulu mengembalikan semua pos yang didudukinya kepada pemerintah, membebaskan semua tawanan perang dan membuka semua jalan di ibukota Afghanistan itu bagi iring-iringan pemerintah. (16/05/93 20:30)

PENYELESAIAN POLITIK KEMELUT BOSNIA, MUNGKINKAH?

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 12/5 (ANTARA) - Sementara pihak Barat sibuk membicarakan masalah pro dan kontra mengenai aksi udara terhadap etnik Serbia Bosnia dan gencatan rapuh paling akhir diterapkan di republik Balkan itu, gempuran etnik Serbia Bosnia kian tak terkendali.

Lebih dari selusin gencatan senjata terdahulu hanya disetujui untuk dilanggar tak lama setelah itu.

Amerika Serikat, yang tampaknya berminat mengembalikan etnik Serbia Bosnia ke jalur perundingan dan sebelumnya mendesak sekutu Eropa-nya agar mencabut embargo senjata atas republik Bosnia-Herzegovina, mulai menyebut-nyebut kemungkinan pembatalan gagasannya.

Rencana mengenai serangan udara terhadap jalur pemasokan dan sasaran Serbia Bosnia juga belum memperlihatkan tanda tanda akan dilaksanakan, terutama karena kuatnya penentangan Eropa.

Akibat embargo senjata, tentara pemerintah Bosnia-Herzegovina -- yang memang kalah dalam bidang persenjataan -- nyaris lumpuh dalam menghadapi gempuran etnik Serbia di republik tersebut.

Sementara itu rencana perdamaian Vance-Owen, yang menyarankan pembagian wilayah berdasarkan jalur etnik, juga belum memperlihatkan tanda akan dapat dilaksanakan. Etnik Serbia Bosnia, dengan dalih menentukan langkah mengenai rencana tersebut dalam referendum akhir pekan ini, berusaha mengulur waktu.

Menurut Presiden Bosnia-Herzegovina Alija Izetbegovic, sebagaimana dilaporkan kantor-kantor berita Barat, diperlukan paksaan untuk membuat etnik Serbia Bosnia mau menandatangani persetujuan Vance-Owen itu. Etnik Muslim Bosnia dan Kroasia Bosnia telah menandatangani persetujuan tersebut.

Ia menyarankan dilancarkannya serangan udara terhadap sasaran etnik Serbia Bosnia, tapi ditentang Eropa dengan alasan tindakan itu akan membahayakan pasukan Eropa di darat, dan pencabutan embargo senjata atas Bosnia-Herzegovina.

Usul kedua tersebut juga tidak memperoleh tanggapan yang memuaskan kaum Muslim Bosnia karena Eropa berpendapat pencabutan embargo itu akan membuat senjata mengalir juga kepada etnik Serbia Bosnia.

Meskipun demikian, para menteri luar negeri Masyarakat Eropa (EC) menyerukan Amerika Serikat dan Rusia agar menyumbang pasukan untuk menjaga daerah-daerah yang dirancang PBB sebagai "zona keamanan" di Bosnia-Herzegovina.

Minta Senjata

Bantuan kepada pemerintah Bosnia-Herzegovina sebenarnya bukan tidak ada. Namun bantuan tersebut umumnya berbentuk bantuan kemanusiaan dan berupa uang.

Selain Barat, negara-negara Islam -- dalam pertemuan di Karachi, Pakistan, belum lama ini -- menjanjikan bantuan 85 juta dolar AS, tapi itu jauh dari permintaan yang pernah disampaikan Bosnia.

Republik Balkan tersebut menyatakan pihaknya membutuhkan bantuan sebesar 260 juta dolar AS.

Belakangan ini, pemerintah Bosnia-Herzegovina berulang-kali menyampaikan bahwa pihaknya tidak menghendaki kehadiran tentara dari masyarakat internasional tapi membutuhkan senjata untuk menghadapi aksi kekerasan etnik Serbia Bosnia.

Menteri Luar Negeri Bosnia Haris Silajdzic pekan kedua bulan ini mengulangi permintaan kepada Dewan Keamanan PBB untuk mencabut embargo senjata atas negerinya. Ia juga mengusulkan penarikan sebagian besar pasukan PBB.

Ia menyarankan penarikan pasukan PBB dari semua zona pertempuran bila keselamatan pasukan tersebut menghambat pencabutan embargo senjata. Satu pekan sebelumnya, Silajdzic juga mengeluarkan seruan yang sama di Washington.

Tanggal 20 April lalu, Duta Besar Bosnia di PBB Muhammad Sacirbey mengirim surat bernada serupa kepada Dewan Keamanan.

Penyelesaian politik?

Menurut penengah perdamaian dari EC, Lord David Owen, serangan udara saja takkan menghentikan perang saudara di Bosnia. Pandangannya juga dikumandangkan oleh bekas Panglima Tertinggi NATO Jenderal John Galvin.

Galvin, ketika berbicara melalui televisi ABC yang dipantau Reuter di Washington, mengatakan serangan udara ditambah aksi militer dan politik lain dibutuhkan untuk menghentikan pembantaian kaum Muslim Bosnia oleh etnik Serbia Bosnia.

Owen, mantan Menteri Luar Negeri Inggris, menyatakan dibutuhkan lebih dari sekedar serangan udara untuk menghentikan pertempuran bila gencatan senjata paling akhir bernasib seperti lebih dari 10 gencatan senjata terdahulu.

Sementara mengakui bahwa terdapat perbedaan antara AS dan EC mengenai aksi militer, Owen berpendapat pasukan darat AS juga dibutuhkan jika pertumpahan darah di Bosnia ingin dihentikan.

Tetapi jangankan pengiriman pasukan darat, masalah serangan udara terhadap sasaran-sasaran Serbia Bosnia pun masih terkatung-katung.

Meskipun demikian, Owen -- sebelum pembicaraan dengan Sekretaris Jenderal PBB Boutros Boutros-Ghali menurut Reuter -- menyampaikan keyakinannya bahwa penyelesaian politik dapat dicapai bagi konflik di wilayah Balkan itu.

Sayangnya belum terlihat titik terang bagi keyakinan Owen. Semua gencatan senjata terdahulu juga tak pernah memberi hasil dan etnik Serbia Bosnia kian tak terkendali.

Serangan bom etnik yang menentang pemisahan diri Bosnia-Herzegovina dari Yugoslavia tersebut bukan hanya ditujukan pada sasaran militer, tetapi juga menghantam permukiman sipil dan tempat ibadah.

Sejak bulan lalu, dilaporkan tak kurang dari enam tempat ibadah, termasuk tempat ibadah yang dibangun pada Abad XVI, porak-poranda akibat gempuran etnik Serbia Bosnia. (12/05/93 20:58)

PENUNDAAN PEMBICARAAN TIMTENG TAK TERELAKKAN

Oleh: Chaidar Abdullah

Jakarta, 18/4 (ANTARA) - Babak kesembilan pembicaraan perdamaian Timur Tengah ditunda setelah utusan negara-negara Arab yang ikut dalam pembicaraan tersebut menangguhkan keputusan mengenai ikutnya delegasi mereka dalam pertemuan di Damaskus dan setelah pembahasan antara pihak Arab serta AS bagi penundaan itu akhir pekan.

Sebelumnya, banyak pengamat optimistis bahwa pembicaraan tersebut akan dilanjutkan tepat pada waktunya, 20 April, terutama setelah pertemuan puncak Presiden Mesir Hosni Mubarak dengan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin di Ismailiya, Mesir.

Israel, menurut sebagian pengamat, sebenarnya telah membuat "konsesi" guna membujuk rakyat Palestina agar mau kembali ke meja perundingan, yang terhenti setelah Israel membuang 415 orang Palestina ke tanah beku tak bertuan di Libanon Selatan tanggal 17 Desember.

Israel menawarkan harapan baru mengenai perundingan masa depan Jerusalem, kota kuno yang menjadi perebutan Israel-Palestina.

Israel juga membuat "terobosan baru" dengan memperkenankan Faisal Husseini, tokoh Palestina dari Jerusalem Timur, menghadiri perundingan Timur Tengah, tapi tawaran itu tidak mengubah sikap Israel bahwa klaimnya atas Jerusalem tak bisa "diganggu-gugat".

Seorang profesor bidang filsafat terlibat dalam delegasi perunding Palestina, Sari Nusseibah, dilaporkan berkata bahwa disertakannya Husseini merupakan suatu terobosan.

Ikutnya Husseini dalam perundingan tersebut, menurut Nusseibah, akan mengingatkan dunia bahwa rakyat Palestina tetap menghendaki bagian timur kota Jerusalem sebagai ibukota negara Palestina mendatang.

Perdana Menteri terdahulu Israel, Yitzhat Shamir, tak mengizinkan satu pun orang Palestina dari Jerusalem dan wilayah pendudukan ikut dalam perundingan Timur Tengah.

Negara Yahudi tersebut khawatir tindakan itu akan menjadi ganjalan terhadap klaim Israel atas wilayah yang direbutnya dan kemudian dicaploknya setelah Perang Timur Tengah tahun 1967.

Jerusalem Timur adalah jantung kehidupan keagamaan, politik dan ekonomi rakyat Palestina. Kota tersebut sangat penting bagi rakyat Palestina karena orang tak dapat pergi dari bagian utara wilayah pendudukan Tepi Barat Sungai Jordan ke sebelah selatan tanpa melewati Jerusalem.

Tetapi buat bangsa Yahudi, Jerusalem juga sangat penting. Itu sebabnya pemerintah Yahudi telah berusaha membuat penarikan dari kota kuno tersebut tak mungkin dilakukan, dengan melebarkan daerah perbatasannya dan membangun pemukiman Yahudi di daerah itu.

Konsep tentang Jerusalem juga telah membesar. Rabin telah menyebut-nyebut tentang "Jerusalem yang lebih luas" yang akan membentang di sebagian besar wilayah pendudukan yang kini dikembangkan sebagai zona Yahudi.

Jerusalem juga dikatakan Menteri Luar Negara Israel Shimon Peres akan tetap satu dan menjadi ibukota Israel.

Beri waktu

Seorang pejabat PLO di Amman dilaporkan mengatakan penundaan tersebut bisa memberi waktu kepada Amerika Serikat dan Israel untuk menambah persyaratan bagi ikutnya delegasi Palestina.

Beberapa diplomat di Damaskus mengatakan Amerika Serikat hari Sabtu dengan berat setuju untuk mempertimbangkan penundaan pembicaraan dari 20 menjadi 26 April, setelah pihak Arab yang ikut dalam perundingan itu menyatakan bahwa mereka tak dapat memaksa rakyat Palestina atau tidak menyertakan mereka.

Menurut anggota Komite Eksekutif PLO, Yasser Abed-Rabbo, penundaan tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan baru kepada AS dan Israel untuk menghilangkan semua perintang yang menghalangi ikutnya delegasi Palestina.

Pihak Palestina menuntut janji tertentu dari AS dan Israel dan bukan janji umum yang tak menentu.

"Jika mereka melakukan itu, pihak Arab akan mengumumkan jawaban terpadu atas undangan ke pembicaraan tersebut," kata Al-Rantisi.

Penundaan itu diajukan oleh Palestina, yang juga mendesak konsesi lebih lanjut mengenai kasus pembuangan orang Palestina.

Namun Shimon Peres menyatakan kepada radio Israel, yang dikutip Reuter, bahwa takkan ada konsesi lebih lanjut buat Palestina sebelum pembicaraan dilanjutkan.



Kemenangan orang buangan?

Dua hari sebelum jadwal semula kelanjutan perundingan perdamaian Timur Tengah di Washington, Menteri Luar Negeri AS Warren Christopher dan Menlu Suriah Farouq Al-Shara mengadakan pembicaraan telefon.

Tujuannya ialah untuk meredam ketegangan mengenai cara menghadapi penolakan delegasi Palestina untuk menghadiri pembicaraan tersebut.

Palestina telah menyatakan takkan menghadiri selanjutnya pembicaraan perdamaian Timur Tengah sampai krisis pembuangan orang Palestina diselesaikan.

Pihak Palestina juga menuntut Israel agar berjanji akan memperluas hak untuk kekuasaan sendiri bagi rakyat Palestina, akan menghentikan aksi penindasan di wilayah pendudukan termasuk penutupan selama tiga pekan di Tepi Barat dan Jalur Gaza dan takkan ada pembuangan lagi di masa mendatang.

Hari Ahad (18/4), pemimpin orang Palestina yang dibuang Israel ke Libanon, Abdul Aziz Al-Rantisi, menyatakan Amerika Serikat harus paham bahwa pembicaraan Timur Tengah hanya dapat dilanjutkan setelah krisis pembuangan diselesaikan.

Sebelumnya, ke-396 orang Palestina buangan tak memperdulikan bom artileri dan tank dan melakukan pawai ke daerah yang diduduki Israel untuk memrotes kelanjutan pembicaraan Timur Tengah. Akibatnya satu orang dilaporkan cedera.

"Setiap kelemahan di pihak tim perunding Palestina akan berarti dilanjutkannya iring-iringan 'jihad'," kata Al-Rantisi sebagaimana dilaporkan Reuter.

Ia juga menegaskan tak satu pihakpun -- baik Amerika Serikat atau atau siapa saja -- dapat menyepelekan kasus pembuangan (orang Palestina) karena itu adalah perintang utama yang menghalangi kelanjutan pembicaraan," kata Al-Rantisi.

Menurut tokoh Palestina dari wilayah pendudukan tersebut, Christopher harus mengerti bahwa tanpa penyelesaian masalah pembuangan orang Palestina perundingan tak dapat dilanjutkan. (18/04/93 22:45)