Jumat, 02 Mei 2008

AKANKAH SERANGAN UDARA DI BOSNIA DILANCARKAN SEKARANG?

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 7/2 (ANTARA) - Sementara Amerika Serikat berembuk dengan aliansinya soal serangan udara di Bosnia, Sabtu (5/2), 68 orang telah tewas akibat serangan mortir, yang diduga keras dilakukan Serbia, di atas ibukota Bosnia. Hal ini mencuatkan kembali pertanyaan mengenai kemungkinan pembuktian ancaman serangan udara NATO.

Serangan mortir kaliber 120-mm itu, yang oleh Brigadir Jenderal Chris Ritchie dari Inggris di Sarajevo disebut sebagai tembakan "keberuntungan", jatuh di sebuah pasar di Sarajevo.

Ritchie, yang bergabung dengan pasukan PBB di Bosnia, berkata jalur bom tersebut telah diketahui, yaitu dari suatu tempat yang berjarak antara 2.000 dan 3.000 meter dari tempat jatuhnya bom. Walaupun demikian ia tidak dapat menjelaskan pihak mana yang menembakkan peluru mortir tersebut.

Namun komandan pasukan PBB di Bosnia, Letnan Jenderal Sir Michael Rose, berpendapat pasukan Serbia bertanggungjawab atas serangan mortir itu.

Sementara itu pemerintah Bosnia menuduh pihak Serbia Bosnia lah yang melepaskan tembakan, tapi etnik pembangkang Serbia Bosnia balik menuduh pemerintah Muslim telah menembak rakyatnya sendiri guna menarik simpati dunia sebelum pembicaraan perdamaian Bosnia dilanjutkan pada 10 Februari.

Reaksi keras dari luar Bosnia atas pembantaian tersebut juga segera bermunculan. Sekretaris Jenderal PBB Boutros Boutros-Ghali dilaporkan sangat marah, Presiden AS Bill Clinton menyeru dilakukannya penyelidikan darurat, dan pemerintah Jerman, sehari setelah kejadian itu medesak PBB agar mempertimbangkan pengiriman pesawat tempur NATO guna membom posisi etnik Serbia Bosnia.

Jurubicara Kanselir Jerman Helmut Kohl, Dieter Vogel, di Bonn menyatakan bahwa Jerman menyerukan agar badan PBB yang berkompeten untuk memutuskan, bertindak tepat dengan mencegah pihak yang bertanggung jawab melakukan tindakan lebih jauh terhadap penduduk sipil.

Ia berpendapat, pelaksanaan tindakan militer seperti yang ditawarkan NATO pada 9 Agustus 1993 kepada PBB tak bisa dikesampingkan lagi. Agustus lalu, Pakta Pertahanan Atlantik Utara menawarkan serangan udara terbatas di Bosnia kalau PBB menghendaki.

Jerman sebenarnya termasuk negara yang sejak semula keberatan dengan tindakan militer di Bosnia, terutama karena negara itu tidak mengirim pasukan untuk bergabung dengan pasukan PBB di republik Balkan tersebut. Tujuan Jerman tidak mengirim tentara ialah untuk menghapus ingatan mengenai pendudukan Nazi di wilayah itu pada Perang Dunia II.

Jerman tadinya juga berharap dengan diberlakukannya sanksi internasional terhadap Republik Serbia -- yang diduga memprakarsai perang di Bosnia -- dapat mengakhiri pertumpahan darah yang telah berlangsung selama hampir dua tahun itu.

Reaksi keras juga dilontarkan Menteri Luar Negeri Belgia Willy Claes, yang menyerukan agar PBB mensahkan serangan udara terhadap serangan meriam etnik Serbia Bosnia di sekitar Sarajevo.

Ditentang

Namun tindakan militer di Bosnia mendapat tentangan terutama dari Rusia dan Yunani, yang selama ini memperlihatkan sikap pro-Serbia.

Inggris selama ini juga keberatan dengan campurtangan militer di republik bekas Yugoslavia tersebut, karena khawatir tindakan seperti itu hanya akan memancing serangan balasan dan itu dapat membahayakan keselamatan tentaranya di Bosnia.

Menteri Luar Negeri Inggris Douglas Hurd, dalam pernyataannya yang dikutip kantor berita transnasional, berpendapat kejadian tersebut semakin membuktikan betapa perlunya penyelesaian politik perang Bosnia melalui perundingan.

Selain ketiga negara tersebut, Spanyol -- meskipun mengecam serangan mortir Sabtu itu -- berpendapat jalan menuju perdamaian bukan terletak pada tindakan militer tapi melalui perundingan.

Sementara itu Menteri Luar Negeri Spanyol Javier Solana berkata di Madrid bahwa masyarakat internasional akan berusaha sedapat mungkin untuk mengakhiri pengepungan atas Sarajevo.

Menurut dia, semua tindakan itu harus sejalan dengan peraturan internasional dan membutuhkan resolusi baru dari Dewan Keamanan PBB.

Meskipun demikian, ia tetap berpendapat tindakan militer takkan menyelesaikan perang di republik Balkan tersebut, tapi ia juga tidak optimistis dengan pembicaraan perdamaian antar-faksi yang berperang di Bosnia.

Solana juga tak setuju dengan pencabutan embargo senjata atas Bosnia karena tindakan tersebut hanya akan menambah parah konflik di republik itu.

Semakin kuat

Yang menjadi pertanyaan sekarang ialah apakah pembantaian Sabtu lalu akan memaksa Amerika Serikat dan aliansinya menggunakan kekuatan militer di Bosnia ?

Banyak kalangan berpendapat, kalaupun tindakan militer dilaksanakan, waktunya sebenarnya telah lewat. Namun kejadian tersebut paling tidak akan membuat Amerika Serikat tak punya pilihan, selain terlibat lebih jauh dalam mengupayakan penyelesaian di Bosnia seperti yang pernah disampaikan Inggris dan Perancis.

Perancis bahkan menghendaki Washington mengirim pasukan darat ke Bosnia.

Desakan semakin kuat setelah Boutros-Ghali, menurut pejabat PBB yang dikutip kantor berita transnasional, pada Ahad, mengirim surat kepada Sekretaris Jenderal NATO Manfred Woerner untuk meminta aliansi Barat itu mensahkan serangan udara terhadap posisi artileri Serbia Bosnia.

Perancis juga telah menyatakan akan mendesak dikeluarkannya ultimatum buat semua faksi yang berperang agar menarik diri dari Sarajevo dan menyerahkan senjata berat mereka kepada pasukan PBB, atau menghadapi segala konsekuensinya termasuk serangan udara.

Sementara itu para menteri luar negeri Uni Eropa, yang dijadwalkan bertemu pada Senin, diduga akan mengkaji kembali kebijakannya di Bosnia dan kemungkinan adanya campurtangan militer.

Selama ini Eropa tak berhasil mengakhiri pertumpahan darah di Bosnia melalui berbagai upaya perundingan dengan semua pihak yang berperang, dan usulnya untuk membagi Bosnia menjadi tiga republik etnik mini dalam koalisi longgar juga tak menghasilkan penyelesaian.

Kegagalan rencana itu semakin mencolok dengan meningkatnya penggelaran pasukan Serbia Bosnia dan pasukan Kroasia di Bosnia Tengah, ditambah dengan pemboman Sabtu minggu lalu.

Kini Eropa tampaknya semakin mengharapkan peran Amerika Serikat yang lebih besar dalam upaya mendesak semua faksi yang berperang di Bosnia agar mau menerima rencana penyelesaian yang diperantarai Masyarakat Eropa.

Menteri Luar Negeri Jerman, Klaus Kinkel, menyatakan Uni Eropa dan Amerika Serikat mesti menyusun rencana gabungan guna mengakhiri pembantaian penduduk sipil di Bosnia.

Atas pembantaian Serbia terhadap warga sipil Bosnia Sabtu lalu, Presiden AS menyatakan bahwa "serangan terhadap sebuah pasar -- tempat wanita, pria dan anak-anak menjalani kehidupan sehari-hari mereka -- sama sekali tak dapat dibenarkan".

Ia juga berikrar "bahwa kami tidak mengesampingkan apa pun" sebagai jawaban atas tindak kekerasan -- pernyataan yang dimaksudkan untuk tetap menghidupkan ancaman diberlakukannya tindakan militer.

Namun dapatkah ucapan Clinton dijadikan pegangan bahwa tindakan militer akan menjadi pilihan Barat dan aliansinya? karena banyak kepala negara selalu berusaha membiarkan pilihan tetap terbuka karena alasan keamanan nasional sekalipun sebenarnya tak ada niat untuk mengirim pesawat atau tentara ke medan tempur.

Amerika Serikat, terutama setelah tragedi di medan tempur Indocina, berusaha untuk tidak melibatkan pasukannya dalam perang yang tak berkesudahan dan tak memperlihatkan tanda kemenangan bagi pihaknya.

Sementara itu NATO pertengahan Januari lalu, dalam pertemuan puncak para kepala negaranya di Brussel, mengulangi ancaman serangan udara terhadap pasukan Serbia Bosnia, asalkan PBB mensahkannya.

Sekarang Sekretaris Jenderal PBB minta persetujuan NATO untuk menyerang posisi artileri Serbia Bosnia di dekat Sarajevo.

Namun kapankah semua desakan dan ancaman serangan udara terbatas di atas wilayah Bosnia tersebut dibuktikan dalam tindakan nyata? ( 7/02/94 10:04)

Tidak ada komentar: