Sabtu, 10 Mei 2008

ARAFAT TERJERAT DALAM LINGKARAN "PERMAINAN" ISRAEL

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 21/2 (ANTARA) - Pemimpin PLO Yasser Arafat, dalam upayanya menyelamatkan proses perdamaian dengan penguasa Yahudi, malah semakin dalam terperangkap proses yang belum memperlihatkan secercahpun harapan bagi pemerintah otonominya.

Arafat sendiri hari Senin (20/2) di Paris dilaporkan menyatakan proses perdamaian Timur Tengah telah membentur kebuntuan, dan direncanakan akan dibahas lagi di Kairo Selasa (21/2) oleh komite eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina.

Pemimpin PLO itu pada konferensi di Paris menyerang Israel dengan menuduh pemerintah Yahudi memperlambat penarikan militernya dari daerah otonomi Palestina.

Berdasarkan Deklarasi Prinsip-prinsip, yang ditandatangani PLO dan Israel September 1993, Israel harus menempatkan kembali militernya di luar wilayah permukiman Palestina sebelum penyelenggaraan pemilihan dewan otonomi.

Tetapi pemerintah Perdana Menteri Yitzhak Rabin, dengan alasan keamanan pemukim Yahudi, terus menunda tindakan tersebut dan menekan Arafat agar menindas kelompok-kelompok pejuang garis keras Palestina.

Pemerintah Israel setelah terjadinya beberapa serangan terhadap orang Yahudi, menutup wilayah Palestina, Tepi Barat Sungai Jordan, sehingga orang-orang Palestina tak dapat bekerja di wilayah Israel.

Akibatnya ialah rakyat Palestina menderita pukulan finansial, dan kejadian ini sangat mengguncang pemerintah otonomi Palestina.

Menurut Dr. Bassam Al-Omoush --anggota Parlemen Jordania yang sedang melakukan kunjungan tak resmi di Indonesia baru-baru ini--, persetujuan perdamaian Timur Tengah sebenarnya selama ini tidak menyelesaikan masalah Palestina, seperti masalah empat juta orang Palestina yang telah diusir Israel.

Posisi Palestina, katanya pada suatu acara diskusi dengan wartawan di Jakarta, dalam perundingan itu tidak menguntungkan.

Karena Arafat berunding pada saat posisinya sendiri lemah. "Seharusnya Arafat berunding pada saat ia berada pada posisi yang kuat," katanya.

Akibat berada pada posisi yang lemah, Arafat akhirnya hanya menuruti dan didikte oleh penguasa Yahudi.

Arafat sekarang tidak lagi bebas bergerak atau menerima tamu dari negara lain karena semuanya diatur oleh penguasa Yahudi.

Kini, Arafat harus melepaskan ikrar yang pernah diucapkannya seperti tak mau berunding dengan Israel, dan sekarang ia tak bisa melepaskan diri sebagai "boneka" Israel dengan berhadapan dengan kelompok-kelompok pejuang garis keras Palestina.

"Arafat pada hakikatnya bukan menjadi kepala pemerintah tapi tak lebih dari kepala suku di dalam kekuasaan Israel," kata Dr. Bassam.

Israel tak berubah

Bertolak belakang dengan keadaan yang dihadapi Arafat, sikap Israel tak pernah berubah sejak dimulainya proses perdamaian di Madrid 1991.

Dr. Bassam memberi bukti bahwa pemerintah Israel tak pernah menghentikan kebijakan perluasan permukiman Yahudi di wilayah-wilayah pendudukannya.

Kegiatan pembangunan permukiman tersebut bahkan semakin giat, dan Arafat sama sekali "tak berkutik" untuk menghentikannya.

Dengan berunding dengan Israel, katanya, Arafat juga secara implisit dan eksplisit mengakui negara Yahudi.

Hasilnya tentu saja banyak negara lain yang mulai mengadakan kontak dengan Israel padahal sebelum proses perdamaian pemerintah di Tel Aviv dikucilkan terutama oleh negara-negara Islam, terutama negara-negara Teluk.

Israel juga tak pernah mau merundingkan status Jerusalem, yang berdasarkan Deklarasi Prinsip-prinsip baru akan dibahas pada awal tahun ketiga dari lima tahun masa otonomi Palestina.

PLO menuntut Israel agar mengembalikan Jerusalem Timur --yang dicaplok Israel setelah Perang Timur Tengah 1967 -- tetapi pemerintah di Tel Aviv tetap berkeras bahwa Jerusalem adalah ibukota utuh negara Yahudi.

Dalam persetujuan perdamaiannya dengan Jordania tahun lalu, Israel bahkan mengadu-domba Arafat dengan Raja Hussein.

Pasalnya ialah Israel mengakui peran historis Jordania atas tempat-tempat suci umat Islam di Jerusalem.

"Terikat"

Sementara itu dalam wawancara dengan stasiun televisi Perancis TF1, yang dikutip Reuter, Arafat menyatakan ia "sepenuhnya terikat" pada proses perdamaian Timur Tengah.

Arafat, kendati terpukul dengan kemacetan yang berlarut dalam penerapan Deklarasi Prinsip-prinsip, tetap menyatakan bahwa "itu adalah satu-satunya pilihan strategis rakyat Palestina".

Meskipun begitu, awal bulan ini pemimpin PLO tersebut tidak mengenyampingkan gagasan Israel untuk mendirikan tembok pemisah antara wilayah Yahudi dan Palestina asal saja "itu berarti berdirinya negara Palestina merdeka".

Namun harapan Arafat tersebut kelihatannya jauh dari jangkauan sebab sejak disetujuinya perdamaian PLO-Israel, Rabin telah menegaskan, yang akan bermarkas di Jalur Gaza dan kota kecil Jericho di Tepi Barat adalah pemerintah administratif. Dan itu bukan jalan bagi berdirinya negara Palestina.

Kendati demikian Arafat, ketika mengomentari bahwa proses perdamaian sudah mati sama sekali, mengatakan itu hanyalah pendapat seorang anggota komite eksekutif PLO.

"Rakyat Palestina harus menghormati demokrasi," katanya sebagaimana dikutip. Namun demokrasi seperti apakah yang ia temui dalam diri pemerintah Israel, yang tak pernah bergeming sejengkal pun dari pendirian kukuh nenek moyangnya. (21/02/95 10.30)

Tidak ada komentar: