Sabtu, 10 Mei 2008

BURUNDI DICEKAM KRISIS POLITIK

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 29/3 (ANTARA) - Burundi, yang pemerintahnya memang sudah terpecah pada saat perjuangan guna mengatasi arus baru kerusuhan etknik, menghadapi krisis politik kian besar, sementara semakin banyak orang asing meninggalkan negeri tersebut.

Sampai saat ini masyarakat internasional kelihatannya memiliki pendapat yang sama bahwa penyelesaian kerusuhan di negeri tersebut tak perlu melibatkan militer dari luar negeri.

Dewan Keamanan PBB dilaporkan juga takkan menyetujui campur tangan PBB dalam kerusuhan di Burundi kendati Sekretaris Jenderal PBB Boutros Boutros-Ghali telah memintanya mempersiapkan diri bagi kemungkinan seperti itu.

Pemerintah Perancis --melalui Menteri Kooperasi Bernard Debre-- dan Organisasi Persatuan Afrika (OAU) mengupayakan penyelesaian tanpa campur tangan militer.

Dalam pertumpahan darah yang terjadi di tetangga Burundi, Rwanda, Perancis mengirim tentaranya dengan tujuan membuat kantong keamanan di bagian barat laut negeri itu.

Di dalam negeri Burundi sendiri, terjadi perbedaan pendapat; Presiden Sylvester Ntibantunganya mendukung campur tangan asing, sedangkan Perdana Menteri Antoine Nduwayo menentangnya.

Presiden Burundi sebenarnya ingin memberitahu Perancis bahwa pembunuhan 150 orang Hutu di ibukota negeri tersebut, Bujumbura, pada penghujung bulan Maret ini merupakan awal dari pembantaian besar-besaran di negerinya.

Partai Nduwayo --Uni bagi Kemajuan Nasional (Uprona), yang didominasi suku Tutsi-- telah mendesak para mitranya dalam pemerintahan agar mengumumkan keadaan darurat.

Akibat silang pendapat dalam tubuhnya, pemerintah Burundi seringkali kelihatan tidak memiliki arah dan tak sanggup menemukan cara menghentikan kerusuhan.

Keputusan DK

Di New York, delegasi AS dan Perancis dilaporkan bertemu sebelum sidang ke-15 anggota Dewan Keamanan guna membahas deklarasi yang akan dilakukan masyarakat internasional di Burundi tanpa menggunakan kekuatan militer.

Meskipun demikian, Dewan Keamanan telah memperingatkan suku Hutu dan Tutsi bahwa kedua suku tersebut akan dinyatakan bertanggungjawab atas pelanggaran hukum kemanusiaan internasional. Kerusuhan paling akhir di Burundi telah menewaskan tak kurang dari 500 orang dan mengakibatkan 23.000 orang mengungsi ke Zaire.

Dewan Keamanan juga menyokong pengiriman tenaga ahli ke negeri itu, keputusan serupa juga diambil OAU, guna membantu pemerintah mengakhiri kerusuhan etnik di Burundi.

OAU memutuskan dalam pertemuan di Kairo untuk mengirim tim yang terdiri atas para menteri luar negeri Afrika, Tunisia, dan Mauritius.

Meskipun tak ada keputusan untuk mengirim pasukan pemelihara perdamaian, Amerika Serikat telah mengusulkan diperluasnya wewenang pengadilan internasional dari Rwanda ke Burundi jika pemusnahan suku bangsa terjadi di negeri tersebut.

Akibat pertumpahan di Burundi, yang meletus sejak kudeta gagal Oktober 1993, ketika tentara membunuh presiden pertama Hutu, Melchior Ndadaye, semakin banyak orang asing meninggalkan di negeri itu.

Pembahasan nasional

Masa depan jabatan Ntibunga dan pergolakan politik yang berkecamuk di negeri tersebut baru dapat dibahas pada perdebatan nasional mengenai berbagai aspek krisis di Burundi yang dijadwalkan berlangsung Mei di Bujumbura.

Namun Uprona dikhawatirkan akan berusaha mengganjal pembahasan itu dan mengubahnya menjadi konferensi kedaulatan nasional, seperti yang pernah terjadi di tetangga Burundi, Zaire, tahun 1991.

Pada konferensi seperti itu, Uprona diduga akan mencari peluang untuk memulihkan kekuasaan suku Tutsi, yang memerintah negeri tersebut selama 30 tahun sejak kemerdekaan dari Belgia.

Kekhawatiran semacam itu muncul karena partai tersebut memiliki kemungkinan berbuat demikian karena Uprona bisa mengharapkan dukungan dari sebagian militer yang didominasi orang Tutsi dan sepertiga anggota kabinet serta partai lain yang didominasi suku Tutsi.

Kalau saja kerusuhan saat ini berlangsung terus, Uprona diperkirakan akan mendesak Ntibantunganya agar meletakkan jabatan dan menerapkan kembali kekuasaan militer melalui penerapan keadaan darurat.

Akibat tindakan Uprona dapat memperparah penderitaan rakyat, dan suku Hutu mungkin saja akan memanfaatkan keadaan serta mengobarkan perang gerilya di daerah pedalaman. (29/03/95 21:12)

Tidak ada komentar: