Jumat, 23 Mei 2008

IRAK-AS TERLIBAT DUA "PERTEMPURAN"

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 9/9/96 (ANTARA) - Pemerintah Irak dan AS bukan hanya terlibat dalam pertikaian di lapangan akibat serbuan militer Baghdad di Irak Utara, tapi juga di "kancah organisasi dunia PBB di New York".

Serangan rudal AS terhadap Irak Selatan sudah terbukti mengundang reaksi berbeda antara pro dan kontra, tapi dampak pertikaian di Irak membuat persetujuan penjualan minyak buat pangan Irak-PBB tersendat, meskipun AS "sekali lagi kalah di meja perundingan PBB".

Inggris seperti biasa mendukung serangan-serangan rudal Washington terhadap sasaran-sasaran di Irak Selatan, sementara Rusia, China, Perancis dan Liga Arab mengutuk tindakan sepihak AS tersebut.

Beberapa waktu belakangan ini dukungan merebak bagi tindakan militer Washington ketika hari Ahad (8/9) Dewan Kerjasama Teluk (GCC) menyuarakan dukungan buat AS.

GCC, menurut laporan UPI, mensahkan "tonggak bersejarah bagi persatuan politik koalisi internasional" dengan mendukung semua upaya oleh negara-negara koalisi internasional di Irak.

Namun, upaya AS dan Inggris untuk menghasilkan resolusi yang mengutuk aksi militer Baghdad di Irak Utara gagal.

Presiden Irak Saddam Hussein mengerahkan pasukannya ke wilayah utara tanggal 31 Agustus "guna memenuhi permintaan Partai Demokratik Kurdistan (KDP), yang dipimpin Masoud Barzani, guna memerangi faksi Jalal Talabani, Uni Patriotik Kurdistan (PUK)".

Akibat tindakan Baghdad itu, Washington dan London berusaha menekan PBB agar mengeluarkan resolusi yang mengutuk tindakan Irak "atas suku minoritas Kurdi".

Namun, Rusia, Perancis dan China tidak menyokong upaya kedua negara Barat tersebut. Sementara itu, menurut AFP, Irak menyatakan bahwa kegagalan AS-Inggris itu "menjadi hukuman mati bagi hegemoni AS atas Dewan Keamanan PBB".

Antiklimaks usaha AS tersebut tampaknya menjadi pukulan kedua, dalam dua bulan, atas upaya Washington untuk "mengatur dunia".

Bulan Agustus 1996 AS gagal menggalang dukungan internasional, ketika Presiden Bill Clinton mengancam akan menjatuhkan sanksi atas perusahaan-perusahaan asing yang menanam modal senilai 40 juta dolar di sektor minyak dan gas di Iran dan Libya.

Ketika menanggapi kegagalan kedua AS di PBB, harian pemerintah Irak "Al-Jumhuriyah" berkomentar: "Berakhir sudah hari-hari Duta Besar AS untuk PBB Madeleine Albright hanya perlu mengangkat jari kelingkingnya untuk membuat 14 anggota lain Dewan Keamanan mematuhinya."

AS dan Inggris diwartakan hari Jumat (6/9) menghentikan usahanya untuk memperoleh dukungan bagi resolusi PBB untuk mengutuk serbuan militer Irak ke dalam "zona keamanan" di wilayah Kurdi di Irak Utara.

Kegagalan duet AS-Inggris tersebut dianggap sebagai kemunduran sangat serius bagi kegiatan Komisi Khusus PBB mengenai Perlucutan Senjata Irak (UNSCOM), yang menurut Baghdad dimanipulasi dan dikuasai oleh Washington.

Pemimpin UNSCOM Rolf Ekeus, menurut Al-Jumhuriyah, di kancah internasional sekarang akan "menghadapi lebih banyak musuh yang menuduhnya bertindak tak adil terhadap Irak".

Tekanan tersebut, dinilai harian itu, akan memaksa Ekeus mundur dari UNSCOM dan mengakui: "Irak bekerjasama penuh dengan komisi itu, yang bertugas membuktikan Irak tak lagi mampu membuat senjata penghancur massal."

PBB telah berulangkali memperingatkan Irak bahwa embargo perdagangan, yang diberlakukan sejak serdadu Baghdad menyerbut Kuwait tahun 1990, tak dapat dicabut sampai Irak mematuhi semua persyaratan UNSCOM.

Minyak buat pangan

Namun, dampak lain krisis di Irak Utara itu membuat terkatung- katungnya pelaksanaan persetujuan minyak buat pangan Irak-PBB, yang dicapai bulan Mei dan akan mengizinkan Irak menjual minyak seharga dua miliar dolar AS dalam waktu enam bulan.

AS telah menyarankan penundaan pelaksanaan persetujuan tersebut, yang direncanakan untuk meringankan penderitaan rakyat Irak, sampai "keadaan di lapangan memungkinkan".

Irak hari Ahad (8/9) mendesak PBB agar segera menerapkan persetujuan penjualan minyak buat pangan itu, sementara rakyat negeri tersebut dilaporkan Reuter mengutuk Clinton karena berusaha menunda penerapan persetujuan tersebut.

Tindakan AS itu, menurut Ketua Parlemen Irak Saadoun Hammadi, menjadi bukti "kebohongan Washington pada waktu lalu bahwa Amerika Serikat prihatin menyaksikan penderitaan rakyat Irak".

Berdasarkan persetujuan dengan PBB, Irak akan diperkenankan menjual minyak buat membeli makanan, obat dan keperluan kemanusiaan lain seharga 1,3 miliar dolar AS dari dua miliar dolar AS hasil penjualan minyaknya.

Pemerintah Baghdad juga menyatakan, ia tidak menerima pemberitahuan resmi dari PBB mengenai penundaan persetujuan itu, dan menuduh aksi AS tersebut sebagai tindakan sepihak.

Penundaan persetujuan itu, kata Menteri Kesehatan Irak Umeed Madhat Mubarak, berisiko menambah parah kondisi kesehatan yang sudah sangat buruk di negerinya.

Irak, menurut menteri kesehatannya tersebut, menyiapkan diri untuk menerima pemasokan medis guna melanjutkan kegiatan darurat di semua rumah sakitnya, meningkatkan kondisi rakyatnya dan menyediakan "dosis obat yang layak" buat rakyat yang menderita sakit kronis.

Penghujung tahun lalu, kondisi rumah sakit "Saddam Central Hospital" --yang pra-1990 disebut-sebut sebagai rumah sakit terbaik di dunia-- sudah jauh di bawah standard kesehatan.

Kini penderitaan rakyat Irak masih harus berlarut akibat tindakan AS menunda penerapan persetujuan penjualan minyak buat pangan.

Tindakan AS tersebut, kata menteri kesehatan Irak, "tidak manusiawi dan tak adil".

"Dari sudut pandang kemanusiaan, kita semua mesti mengutuk tindakan itu", katanya kepada kantor berita Reuter di Baghdad. (9/9/96 22:02)

Tidak ada komentar: