Selasa, 13 Mei 2008

KECAMAN TAK HENTIKAN PERLUASAN PERMUKIMAN YAHUDI

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 10/12 (ANTARA) - Kebijakan Israel guna memperluas permukiman Yahudi tak kunjung surut meskipun mendapat kecaman bukan hanya dari Pemerintah Otonomi Palestina tapi juga dari masyarakat internasional.

Perdana Menteri Jordania Abdul-Karim Al-Kabariti, sebagaimana dilaporkan kantor berita transnasional, awal Desember mencela Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu karena "memiliki lidah bercabang dalam upaya mewujudkan perdamaian di Timur Tengah".

Negara-negara Arab, menurut Al-Kabariti, bukan hanya sekedar bingung tapi bahkan sangat kecewa karena apa yang didengar dari mulut Netanyahu bertolakbelakang dengan apa yang terjadi di lapangan.

Sebelumnya, saat Netanyahu menang dalam pemilihan umum Israel pada Mei, Jordania --yang mencapai persetujuan perdamaian dengan Israel 1994-- mendesak negara-negara Arab agar memberi kesempatan kepada tokoh fanatik sayap kanan Israel itu.

Namun sikap tidak konsisten Netanyahu melahirkan kecaman paling keras dari negara yang diserahi wewenang atas Masjid Al-Aqsha di Jerusalem Timur karena "peran bersejaranya" tersebut.

Menurut Al-Kabariti, Netanyahu memberitahu para pejabat Jordania sebelum ia terpilih menjadi perdana menteri Israel bahwa Partai Likud "akan mewujudkan perdamaian dengan negara-negara Arab seperti yang dicapai dengan Mesir". Pada 1979 Mesir menjadi negara Arab pertama yang menandatangani persetujuan perdamaian dengan negara Yahudi.

Namun Mohamed Sobeih, utusan Palestina di Liga Arab, dilaporkan UPI menyatakan bahwa jumlah pemukim Yahudi di Tepi Barat Sungai Jordan, Jerusalem Timur dan Jalur Gaza telah meningkat empat kali lipat dari 105.000 pada 1992 menjadi 450.000 pemukim pada 1996. Israel bahkan merencanakan untuk membuat jumlah pemukim Yahudi di Tepi Barat menjadi 300.000 orang.

Kementerian perumahan Israel merencanakan pembangunan 20.000 rumah di permukiman-permukiman Yahudi di Tepi Barat dan sekitar Jerusalem. Pemerintah terdahulu Israel di bahwa Partai Buruh telah membekukan pembangunan permukiman baru di wilayah-wilayah Palestina, tapi Netanyahu belum lama ini mencabut pembekuan yang telah berlangsung empat tahun tersebut.

Sementara itu Sekretaris Jenderal Liga Arab Emat Abdel-Meguid menuduh Dewan Keamanan PBB, seperti juga Amerika Serikat, menerapkan "standar ganda" terhadap Israel.

Selama ini Israel tak memperdulikan perlindungan terhadap penduduk di daerah-daerah pendudukan, salah satu ketentuan Konvensi Jenewa 1949.

Abdel-Meguid berharap Dewan Keamanan akan mempertimbangkan kembali sikapnya dan bertindak mengenai masalah hak asasi rakyat Palestina.

Kecaman atas kebijakan pemerintah sayap kanan Israel tersebut bukan hanya berasal dari negara-negara Arab. Utusan khusus Eropa untuk Timur Tengah Miguel Angel Moratinos juga mengecam kebijakan perluasan permukiman di wilayah Arab yang diduduki Israel.

Kebijakan tak kenal kompromi Netanyahu tersebut dipandangnya menambah rumit proses perdamaian, yang macet total sejak Netanyahu menjadi perdana menteri Israel Juni lalu.

"Uni Eropa memiliki sikap jelas mengenai permukiman Yahudi. Itu adalah masalah yang rumit dan menambah sulit proses perdamaian," kata Moratinos sebagaimana dikutip AFP.

Awal Desember Netanyahu malah menuntut negara-negara Arab agar memperlunak "nada bicara mereka" dan tidak lagi mengumandangkan pernyataan yang mengundang perang.

Ditangkal Israel

Namun, Senin (9/12) kementerian luar negeri Israel diberitakan mengirim ke semua kedutaan besarnya suatu dokumen yang berbunyi bahwa "permukiman Yahudi di wilayah pendudukan sah". Pemerintah Yahudi tampaknya berusaha menyebar gagasan yang dirancang untuk menangkal kecaman luas internasional atas kebijakan permukiman pemerintah.

Menurut seorang pejabat kementerian itu, dokumen tersebut menegaskan bahwa keputusan pemerintah Israel untuk memperluas permukiman Yahudi "tidak melanggar hukum internasional karena kegiatan itu disahkan oleh mandat Inggris, yang bertanggung jawab atas Palestina sebelum pembentukan negara Yahudi 1948".

Selama berabad-abad, katanya, orang Yahudi "telah tinggal di tanah leluhur mereka".

Dokumen tersebut juga membantah pernyataan bahwa permukiman Yahudi di wilayah-wilayah yang direbut Israel dalam perang 1967 bukanlah pelanggaran atas Konvensi Jenewa 1949 mengenai perlindungan bagi penduduk di wilayah-wilayah pendudukan.

"Negara Yahudi tak pernah mengakui pendudukan militer atas Tepi Barat dan Jalur Gaza, walaupun telah setuju untuk menghormati hak asasi manusia di semua wilayah ini, tempat orang Yahudi juga berhak tinggal di mana saja," demikian bunyi dokumen tersebut.

Akhirnya, kementerian Israel itu menyatakan, persetujuan sementara Oslo mengenai otonomi Palestina tidak melarang berlanjutnya kegiatan permukiman selama masa lima tahun persetujuan tersebut dan kegiatan seperti itu "bukan lah pra-penentuan status akhir" wilayah-wilayah tersebut.

Persetujuan otonomi Oslo melarang masing-masing pihak melakukan tindakan politik sepihak di wilayah-wilayah itu selama masa otonomi.

Tetapi dokumen kementerian Israel tersebut menyatakan, pernyataan ini hanya merujuk kepada tindakan seperti pencaplokan tanah Israel atau proklamasi negara merdeka oleh Palestina.

Menurut dokumen itu, semua pembangunan Israel telah dilakukan di tanah yang telah dinyatakan sebagai hak negara setelah "penelitian secara cermat bahwa semua tanah tersebut bukan milik perorangan".

Pemerintah sayapkanan Israel menang dalam pemilihan umum Israel pada Mei dengan dukungan kuat dari pemukim dan gerakan agama Yahudi.

Pada bulan Agustus Netanyahu mengumumkan bahwa ia akan mengakhiri empat tahun pembekuan pembangunan permukiman dan akan mengizinkan "pertumbuhan alamiah" ke-145 permukiman Yahudi di Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Tindakan itu memicu protes dari Pemerintah Otonomi Palestina dan kecaman dari pemerintah-pemerintah asing, termasuk Amerika Serikat, Uni Eropa dan Rusia.

Pemerintan Otonomi Palestina awal Desember mengeluarkan laporan yang berbunyi bahwa Israel telah menyerobot separuh permukaan tanah di Tepi Barat dan Jalur Gaza sejak 1967 untuk membangun permukiman, instalasi militer dan jalan bagi pemukim Yahudi.

Betapapun kerasnya bunyi kecaman atau bahkan pengutukan masyarakat internasional, bagi Netanyahu, tak lebih dari kata-kata yang takkan membahayakan pemerintahnya sehingga ia terus "malang-melintang" melanjutkan kebijakan pembersihan etnik di wilayah Palestina.

Pemimpin kelompok fanatik Yahudi itu bahkan tak perduli sekalipun pihak Palestina berteriak bahwa proses perdamaian menghadapi keadaan berbahaya dan ancaman besar. (10/12/96 10:02)

Tidak ada komentar: