Rabu, 14 Mei 2008

KEKALAHAN DI BAGIAN TIMUR BERARTI PERPECAHAN BAGI ZAIRE

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 4/11 (ANTARA) - Zaire menghadapi ancaman terpecah saat militernya, yang berada dalam kondisi tak menguntungkan, menghadapi tekanan dari pemberontak Tutsi di bagian timur negeri itu.

Ancaman kekalahan militer Kinshasa membayang saat lebih dari satu juta pengungsi meninggalkan kediaman mereka di Zaire Timur --tempat pemberontak Tutsi menghalau pasukan pemerintah.

Militer Zaire terancam kehilangan kekuasaan atas Goma dan Bukavu --ibukota provinsi Kivu Utara dan Selatan di bagian timur negeri tersebut.

Pertempuran memperebutkan Goma, markas upaya bantuan regional di Zaire Timur, antara militer Kinshasa dan pemberontak Tutsi --yang dilaporkan mendapat bantuan dari Rwanda-- berkecamuk akhir pekan lalu.

Di kota lain di sebelah selatan Goma, Bukavu, pemberontak dilaporkan Reuter mengkonsolidasi kekuasaannya dan bersiap menyambut pemimpinnya Laurent Kabila.

Militer Zaire, yang dikenal dengan nama FAZ, tertinggal dibandingkan dengan negara lain Afrika dalam masalah disiplin dan persenjataan.

Angkatan bersenjata negeri itu kelihatannya tak berdaya menghadapi pasukan Tutsi, yang diberitakan mendapat dukungan dari militer Tutsi di tetangga- tetangganya, Rwanda dan Burundi.

Zaire bahkan disebut-sebut "tidak lagi memiliki kekuatan tempur". Setelah bertahun-tahun terjadi perpecahan kesukuan dan campur tangan pihak luar, Zaire --yang dulu bernama Kongo-- dilaporkan hanya "memiliki orang-orang berseragam tapi bukan militer sejati".

Berita buruk dari bagian timur negeri tersebut diduga masih dapat memicu rasa patriotik di ibukota Zaire.

Namun kejadian semacam itu juga dikhawatirkan akan melambungkan keinginan untuk memisahkan diri di wilayah Shaba, wilayah perbatasan yang kaya akan mineral dengan Zambia, dan "gudang berlian" Kazai di Zaire Tengah.

Vakum

Zaire memiliki catatan panjang campurtangan pihak luar. Tahun 1970 dan 1980-an, tentara Perancis, Belgia dan Marokko mencampuri urusan dalam negeri Zaire dalam aksi pemadaman aksi separatis, terutama di Shaba.

Sejumlah negara asing, yang dipimpin Amerika Serikat, telah menyediakan bantuan keamanan dan senjata selama era Perang Dingin.

Kini Perang Dingin usai, sementara pemimpin negeri tersebut Mobutu Sese Seko (66) dirawat di Swiss karena menderita kanker dan pada saat yang sama Zaire tidak memiliki kawan tangguh.

Dengan takadanya Mobutu, yang telah tiga bulan dirawat di Swiss, terjadi kevakuman politik di negeri itu, karena tak ada calon penggantinya baik yang direncanakan ataupun berdasarkan undang-undang.

Pada saat yang sama tak terlihat perubahan selama enam tahun upaya pro-demokrasi di negeri tersebut.

Akibatnya ialah penentangan menguat dan banyak partai di negeri itu "berkiblat" pada suku atau pemisahan diri.

Zaire memiliki rakyat 35 juta orang tapi militernya tak memiliki kekuatan berarti.

Akan tetapi sekalipun seluruh rakyat Zaire mengesampingkan pertikaian mereka dan memutuskan akan berusaha menguasai bagian timur negeri tersebut, tugas berat tetap menghadang.

Salah satu strategi Mobutu untuk mencegah saingan- saingannya bersatu ialah tidak membuat jalan di negara terbesar kedua di Sub-Sahara.

Kebijakan semacam itu tidak memungkinkan pengiriman balabantuan ke bagian timur jika militer Kinshasa kehilangan bandar udara Goma.

Mobutu juga telah memecat sebagian besar perwira FAZ selama beberapa tahun terakhir ini karena mereka condong kesukuan atau tak memiliki prestasi politik.

Upaya diplomatik

Kini sementara ratusan ribu pengungsi dilaporkan menghadapi bencana karena para petugas pertolongan meninggalkan Zaire Timur, upaya diplomatik guna menghindari bencana di negeri tersebut tampaknya tak memberi hasil memuaskan.

Negara-negara tetangga Zaire merencanakan konferensi tingkat tinggi tanggal 5 November di Kenya, tapi Zaire malah menyatakan takkan hadir.

Perancis diberitakan bermaksud membuka koridor kemanusiaan di Zaire, yang akan dijaga oleh pasukan dari Perancis, Belgia dan Afrika Selatan, guna membantu para pengungsi.

Akan tetapi Perancis menyatakan tak dapat bertindak sendirian dan meminta negara-negara Eropa dan masyarakat internasional untuk memberi bantuan.

Perancis juga masih menanti permintaan bantuan dari negara-negara Afrika kepada Uni Eropa.

Sementara itu di Kinshasa Kepala Staf Militer Zaire, Jenderal Eluki Monga Aundu, menurut Reuter, menuduh Perdana Menteri Kengo wa Dondo tidak berbuat cukup memadai untuk membantu tentara Zaire yang berada di garis depan.

Ia menyesalkan tindakan lamban pemerintah. Militer Zaire, katanya, juga belum memperoleh peralatan yang diperlukan.

Kengo, yang menjadi sasaran kecaman rakyat dan tentara Zaire, mengesampingkan penyelenggaraan pembicaraan sementara tentara asing masih berada di wilayah Zaire.

Eluki, yang berjanji akan melakukan tindakan keras terhadap tentara Rwanda segera setelah memperoleh perlengkapan yang diperlukan pasukannya, menuduh masyarakat internasional "tutup mata terhadap agresi Rwanda". (04/11/96 16:58)

Tidak ada komentar: