Sabtu, 10 Mei 2008

KONFLIK TERLUPAKAN RWANDA RENGGUT KORBAN LAGI

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 23/4 (ANTARA) - Ribuan orang --pria, wanita dan anak-anak-- dilaporkan tewas terbantai ketika militer memberondong satu kamp padat pengungsi di bagian baratdaya Rwanda, dan akibatnya terjadi kepanikan sehingga korban bertambah akibat orang-orang yang berdesak- desakan mencari selamat.

Para petugas pertolongan merasa ragu apakah akan dapat menemukan banyak orang yang selamat di kamp kumuh yang menampung sekitar 80.000 orang Hutu di Kibeho.

Namun kantor berita Reuter, dengan mengutip pernyataan Mayor Mark MacKay dari Pusat Operasi Terpadu PBB di Rwanda, melaporkan jumlah korban jiwa mencapai 8.000 dan korban cedera 650, sementara jurubicara PBB yang dikutip AFP di Jenewa menyatakan jumlah korban jiwa 5.000 dan cedera antara 600 dan 700 orang.

Pembantaian Sabtu malam tersebut adalah yang paling brutal sejak Tentara Patriotik Rwanda (RPA) yang didominasi suku Tutsi meraih kekuasaan tahun lalu, yang diharapkan akan dapat mengakhiri berbulan-bulan perang saudara dan pembantaian oleh milisi serta tentara suku mayoritas Hutu.

Sebelumnya, ketegangan dilaporkan memang sudah meningkat selama berhari-hari di wilayah Kibeho, dan banyak petugas pertolongan meramalkan bencana akan mengguncang meskipun yang mereka maksud adalah wabah penyakit dan bukan pembantaian.

Tetapi tentara pemerintah mulai bergerak beberapa hari sebelum tragedi itu dan menutup sembilan kamp di bagian baratdaya Rwanda serta memaksa 250.000 orang Hutu di kamp-kamp tersebut pulang.

Alasan pemerintah Tutsi melakukan tindakan itu ialah anggota kelompok garis keras menghimpun kekuatan dan kamp-kamp tersebut dan mengubah semua tempat penampungan itu menjadi ajang penempaan diri.

Tentu saja banyak orang Hutu di wilayah tersebut khawatir akan menghadapi pembalasan akibat pembantaian sebanyak satu juta orang Tutsi dan Hutu moderat, kejadian brutal yang membuat dunia tersentak.

Pertumpahan darah rakyat sipil itu terjadi antara 6 April dan 15 Juli 1994, setelah terbunuhnya Presiden Juvenal Habyarimana.

Perang saudara baru berakhir ketika gerilyawan RPA mengalahkan tentara yang didominasi suku Hutu, dan orang-orang Hutu --karena takut akan tindakan balas dendam-- meninggalkan negeri mereka serta mengungsi ke negara-negara tetangga Rwanda.

Sekarang sekali lagi pengungsian terjadi akibat pembantaian di kamp Kibeho. Jurubicara Komisariat Tinggi PBB Urusan Pengungsi (UNHCR) Ray Wilkinson dilaporkan mengatakan banyak orang diduga meninggalkan Kibeho dan mengungsi ke arah perbatasan dengan Burundi, yang telah ditutup pemerintah tetangga Rwanda itu.

Tetangga lain Rwanda, Tanzania, telah menutup perbatasannya dengan Rwanda dan juga dengan Burundi akibat pertumpahan darah di kedua negara tersebut.

Tak diacuhkan dunia

Bulan Maret lalu, Utusan khusus PBB untuk Rwanda Shaharyar Khan telah mengingatkan jika tak ada tindakan yang dilakukan masyarakat dunia untuk mendanai negara tersebut, Rwanda dapat terjerumus ke dalam pertumpahan darah baru.

Ia sangat prihatin dan berharap dana akan dapat segera mengalir guna mengatasi kevakuman yang diakibatkan oleh pembantaian serta perang saudara.

Akan tetapi dua bulan setelah perundingan di Jenewa, dana yang diharapkannya tak kunjung tiba sementara kondisi di berbagai pusat penampungan kian memprihatinkan di tengah ketegangan yang meningkat.

Khan sangat cemas dan khawatir ketegangan akan meletus menjadi kerusuhan kalau keadaan tak segera diatasi.

Khan, seperti juga Mayor Jenderal Romeo Dallaire --bekas Komandan Pasukan Misi Bantuan PBB di Rwanda (UNAMIR)-- telah mengecam masyarakat internasional karena enggan menyediakan tentara guna membantu mengatasi dampak pembantaian tahun lalu, dan yang lebih parah lagi tak berhasil menyediakan bantuan keuangan buat pemerintah minoritas Tutsi di negeri itu.

UNAMIR, menurut utusan PBB tersebut, melakukan kekhilafan pada hari-hari pertama pembantaian tahun lalu karena tak mampu turun tangan mencegah pertumpahan darah, dan dunia juga tak dapat memberi dukungan sehingga upaya menghentikan kekacauan di Rwanda tak dapat berjalan lancar.

Ia bahkan ragu tugas yang diembannya akan dapat berjalan dalam waktu enam bulan mendatang karena tak ada dana.

Saat ini Rwanda adalah salah satu negara termiskin di dunia dengan penghasilan per kapita, menurut perkiraan Bank Dunia, sebesar 270 dolar AS pada tahun 1991.

Sementara itu Perdana Menteri Rwanda Faustin Twagiramungu, yang memangku jabatan setelah kudeta yang dipelopori suku minoritas Tutsi tahun lalu, berharap pemerintahnya akan dapat menerima dana sebesar 50 juta dolar AS dari Bank Dunia dan 11,57 juta dolas AS dari Uni Eropa akhir bulan Maret.

Khan juga mengritik PBB karena sistem di badan dunia tersebut kadangkala menghambat upayanya untuk membantu pemerintah Twagiramungu.

Berbagai proyek yang disokongnya tak dapat bergulir akibat tindakan pemeriksaan ulang yang dikehendaki PBB.

Meskipun Khan dapat memahami birokrasi seperti itu, tapi ia merasa semua itu diselenggarakan hanya untuk menggagalkan semua rencana pemulihan kondisi di Rwanda, yang 54 persen dari 1,5 miliar dolar AS produk domestik kotornya berasal dari pertanian.

Menurut utusan PBB tersebut, sebagian besar ketegangan di Rwanda diakibatkan oleh rasa kecewa karena tak ada dana untuk membangun negeri itu, kendati PBB terus menasehati rakyat negeri tersebut agar menghindari kekerasan.

Pada saat yang sama militer Rwanda telah melakukan berbagai penahanan baru.

Pertikaian antara kedua suku bukan baru sekali ini terjadi. Suku masyoritas Hutu mengakhiri kekuasaan suku Tutsi dalam pemberontakan berdarah tahun 1959, tiga tahun sebelum kemerdekaan Rwanda dari Belgia.

Sejak saat itu puluhan ribu orang Tutsi mengungsi ke negara-negara tetangga Rwanda, sebagian besar ke Uganda, dan tak kurang dari 100.000 orang telah tewas dalam pertempuran.

Kini akibat kondisi hidup yang terus merosot dan kecurigaan pemerintah bahwa semua pusat penampungan dijadikan tempat penyatuan kembali suku Hutu dan lahan pelatihan, militer Rwanda bergerak tanpa peduli lagi apakah yang berada "di ujung laras senjata mereka" adalah anggota garis keras atau rakyat sipil.

Akibatnya sekali lagi konflik di Rwanda merenggut korban tak bersalah --termasuk wanita dan anak-anak-- sementara dunia hanya dapat mengutuk pertumpahan darah yang terus berlangsung. (23/04/95 22:24)

Tidak ada komentar: