Jumat, 09 Mei 2008

LUKA AKIBAT PERANG TELUK DAN EMBARGO SANGAT DALAM DI IRAK

Oleh Chaidar Abdullah

"Bom pertama membuat lubang di atap itu," kata wanita setengah baya bernama Ummu Ghaida kepada orang-orang yang datang ke tempat perlindungan Ammiriyah di pinggir kota Baghdad.

Bom yang ditembakkan sekitar pukul 04:00 waktu setempat tersebut membor dan membuat lubang berdiameter tak kurang dari satu meter pada atap beton setebal dua meter.

Lima menit kemudian bom kedua menerobos lubang dan menghantam bagian dalam tempat perlindungan itu.

Lalu api pun menyala dan membakar seluruh isi ruang bangunan berukuran sekitar 100 kali 150 meter itu dan mengakibatkan peningkatan suhu sampai mencapai 4.000 derajat Celsius.

Tragedi maut tersebut terjadi tanggal 14 Februari 1991, dan bangunan yang dirancang sebagai tempat perlindungan rakyat sipil di sekitarnya itu malah menjadi ajang pembakaran manusia hidup-hidup; 1.186 orang, kebanyakan wanita dan anak-anak di bawah umur tewas terbakar tanpa ampun. Tempat perlindungan itu mampu menampung 1.200 orang untuk bertahan hidup selama satu bulan.

"Bom kedua membuat seluruh isi ruangan ini terbakar dengan suhu 4.000 derajat Celsius," kata Ummu Ghaida.

Dari seluruh korban hanya 394 mayat yang masih dapat dikenali. Sisanya? Bayangkan saja apa jadinya dengan tubuh manusia jika dipanggang api dengan panas 4.000 derajat Celcius.

Potret-potret yang dipampang di sepanjang dinding tempat perlindungan tersebut memperlihatkan mayat-mayat dengan tubuh hangus tak berbentuk menjadi korban keganasan perang.

Ummu Ghaida adalah salah satu orangtua yang kehilangan anak mereka di tempat perlindungan itu.

Sembilan anaknya tewas dalam waktu bersamaan tanpa ia mampu berbuat apa pun untuk menolong apalagi menyelamatkan nyawa mereka.

Ia sendiri termasuk salah satu dari 14 orang yang selamat. Kejadiannya ialah dua jam sebelum serangan bom maut itu berlangsung ia keluar untuk mencuci pakaian, sementara yang lain melakukan kegiatan mereka sendiri-sendiri di luar tempat perlindungan.

Pada saat ia sedang mencuci itulah serangan bom pasukan Multinasional yang dipimpin AS membakar tubuh- tubuh penduduk sipil di tempat perlindungan tersebut.

Tempat perlindungan itu memiliki beberapa tiang beton berbentuk bulat yang tak terpeluk tangan dua laki-laki dewasa dan dinding beton setebal satu meter.

Tempat perlindungan itu memiliki dua pintu seberat lima ton dan dirancang untuk menutup secara otomatis apabila terjadi serangan bom kimia atau terjadi peningkatan suhu di luar.

Pintu tersebut akan terbuka sendiri apabila bahan kimia di luar tempat perlindungan tersebut sudah tak ada lagi atau suhu di luar sudah normal kembali.

Tragisnya, pintu itu justru menutup secara otomatis ketika bom pertama menghantam lantai tempat perlindungan, dan mengakibatkan peningkatan suhu di dalam ruangan.

Akibatnya ketika bom kedua menghantam dan membuat seluruh ruang diselubungi api, tak ada tempat berlindung bagi orang-orang yang berada di dalamnya sehingga mereka pun menemui ajal dengan tubuh hangus terbakar

Tempat perlindungan Ammiriyyah adalah salah satu dari 44 tempat perlindungan serupa yang dimiliki Baghdad dan satu-satunya yang terkena serangan bom pasukan Multinasional.

Digerogoti embargo

Tragedi 14 Februari 1991, hanya beberapa hari sebelum Perang Teluk berakhir, itu hanyalah salah satu kejadian pahit yang harus ditelan rakyat negara "Abu Nawas" tersebut.

Kini, hampir lima tahun setelah Perang Teluk berakhir mereka masih harus hidup di bawah cengkeraman embargo dagang dan ekonomi PBB.

Embargo yang membuat perekonomian negara Presiden Saddam Hussein itu porak-poranda juga menghantam sektor kesehatan di negeri tersebut.

Akibat digerogoti embargo rumah sakit yang dulu disebut-sebut memiliki fasilitas nomor satu di dunia, Saddam Central Hospital for Children, kini tak mampu membantu meringankan penderitaan para pasiennya.

Setiap hari ruang gawat darurat rumah sakit itu menerima tak kurang dari 100 pasien baru, kebanyakan menderita infeksi.

Direktur rumat sakit tersebut, DR. Nazar Al-Anbaki, menyatakan rumah sakit yang dibawahinya itu menghadapi kekurangan akut di bidang obat dan peralatan.

Rumah sakit tersebut juga harus pandai memilah dalam melaksanakan pembedahan. Pembedahan hanya dilakukan pada pasien yang berada dalam keadaan kritis.

Meskipun memiliki 25 dokter ahli dan 70 dokter umum, rumah sakit itu, kendati sebenarnya mampu, tak dapat berbuat apa-apa jika menghadapi pasiennya yang berada dalam keadaan sangat gawat, kata Anbaki.

Menurut data statistik resmi, angka kematian rata- rata di seluruh Irak saat ini tak kurang dari 100 sampai 150 anak.

Sekarang lebih baik?

Al-Anbaki mengakui rumah sakit tersebut memang menerima bantuan obat dari organisasi-organisasi kemanusiaan dunia, tapi jumlah itu tak lebih dari lima sampai 10 persen kebutuhan sebenarnya.

Akan tetapi, seorang aktivis organisasi wanita dari Tunisia, Syarifah binti Thoyyib, dalam suatu percakapan menyatakan, "Jika kamu datang tiga atau empat tahun lalu, keadaan di sini lebih parah lagi."

Ia menambahkan, tahun 1993 ia mendatangkan 60 dokter ke Irak dan tahun berikutnya 25 dokter dari negerinya untuk membantu meringankan penderitaan rakyat yang hidup di bawah belenggu embargo badan utama organisasi dunia.

Tak kurang dari 200.000 ton obat untuk operasi baru saja didatangkannya ke Irak tapi jumlah tersebut tak lebih dari beberapa genggam debu yang dilempar ke tengah gurun.

Di sektor ekonomi rakyat Irak harus dapat menerima kenyataan betapa dinar mereka, yang sebelum Perang Teluk memiliki nilai tukar satu dinar tiga setengah dolar AS, kini hanya berharga 600 dinar untuk satu dolar AS.

Gaji pegawai pemerintah atau bank di Irak hanya sebesar tiga sampai empat ribu dinar -- jumlah yang tak cukup untuk naik taksi selama satu pekan dari rumah mereka ke tempat kerja. Sebelum Perang Teluk jumlah itu dapat membuat mereka hidup lebih dari kecukupan.

Sementara itu PBB belum memperlihatkan tanda akan memperlunak atau mencabut embargo yang telah bertahun- tahun menggerogoti bukan hanya pemerintah tapi juga rakyat sipil Irak -- yang sama sekali tak terlibat pertikaian dengan kelompok Multinasional yang mengeroyok Baghdad dalam Perang Teluk.

Perang Teluk dan embargo PBB telah merenggut demikian banyak rakyat tak berdosa di negara yang pernah mengirim tentara ke Kuwait tersebut, lalu sampai jatuh berapa banyak korban lagi kah baru cekikan itu dilepaskan dari leher rakyat dan anak-anak tak berdosa di negeri tersebut? (02/11/95 10:15)

Tidak ada komentar: