Jumat, 09 Mei 2008

MAMPUKAH RAKYAT ALJAZAIR BEBASKAN NEGERI MEREKA DARI KEMELUT?

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 15/11 (ANTARA) - Hari Kamis (16/11) rakyat Aljazair dijadwalkan memberi suara guna memilih presiden baru. Namun, mampukah mereka membebaskan negeri itu dari kemelut di tengah persaingan ketat antara tiga kelompok yang saling bersaing --kelompok Islam, moderat dan sekuler?

Pemimpin gerakan Islam sah Hamas, Mahfoud Nahnah --yang juga salah satu calon dalam pemungutan suara-- berpendapat bahwa mandat rakyat Aljazair akan memungkinnya membentuk pemerintah koalisi.

Dalam wawancara yang disiarkan kantor berita Reuter, ia menyampaikan keyakinannya bahwa rakyat menghendaki perubahan total termasuk penggantian "orang-orang yang memerintah negeri tersebut dan perubahan program pemerintahan.

Dalam pidatonya ia juga merujuk kepada kemerdekaan Aljazair dari Perancis tanggal 1 November 1954, dan menyatakan bahwa rakyat Aljazair sekarang dapat melakukan perubahan revolusioner.

Ia mengajukan program berupa peningkatan "detente politik, perluasan dialog serta dasar pemerintahan dan pembentukan pemerintah koalisi.

Selain itu, ia juga menyatakan, akan berpegang pada gagasan pengambilan keputusan secara mayoritas dan pada saat yang sama menghormati kelompok minoritas.

Hal itu, katanya, membedakan pemerintah yang akan digolkannya dengan kecenderungan politik di negeri itu.

Tak seperti Front Penyelamatan Islam (FIS) --yang kini dilarang tapi tetap mengupayakan dialog bagi pemulihan statusnya-- Nahnah meyakinkan kaum wanita Aljazair bahwa ia akan menghormati hak mereka kalau terpilih sebagai presiden.

FIS bulan Januari 1992 dipastikan menang dalam pemilihan presiden negeri tersebut tapi hasil pemungutan suara dibatalkan oleh militer dan mengakibatkan Aljazair terperosok ke dalam kerusuhan.

FIS, yang dibentuk tahun 1989, melesat ke tampuk pimpinan politik di Aljazair di bahwa pimpinan Abassi Madani di bidang politik dan Ali Belhadj, imam yang ceramah-ceramahnya dilaporkan mampu menarik generasi muda.

Madan dan Belhadj saat ini masih dikenakan tahanan rumah.

Bendung agresif?

Sementara itu, calon lain dari kelompok sekuler Said Saadi berpendapat, pemilihan umum saat ini akan membuat "kelompok fanatik kehilangan dasar dan tujuan".

Dengan terpilihnya presiden baru, menurut Saadi, "takkan ada lagi kemungkinan untuk menyalurkan sikap agresif".

Saadi, salah satu politikus kelompok sekuler yang paling "vokal" menyatakan, terpilihnya seorang presiden yang dihormati oleh 28 juta penduduk negeri tersebut dapat memberi sumbangan bagi dipadamkannya kerusuhan.

Kerusuhan menambah masalah mengenai kredibilitas dan keabsahan lembaga pemerintah sehingga jika dewan legislatif mendatang memberi para pejabat kekuasaan yang layak, itu adalah salah satu cara untuk meredam kerusuhan.

Saadi menyatakan, rakyat Aljazair akan datang ke tempat pemungutan suara kendati ada ancaman dari kelompok fanatik untuk mengacaukan pemungutan suara.

Pemilihan umum tersebut diboikot oleh kelompok oposisi yang menuduh tindakan itu hanya akan menambah rumit krisis empat tahun di negeri tersebut.

Kerusuhan --yang diperkirakan telah menewaskan antara 45.000 dan 50.000 orang-- menurut Saadi, takkan menghentikan rakyat untuk memberi suara guna menentukan masa depan rakyat di negara Afrika Utara itu.

Ia juga yakin kelompok yang disebutnya "teroris" kini tak mampu lagi menggunakan kekuatan militer besar guna mengacaukan pemungutan suara di negara yang sejak tahun 1962, selain di bawah Presiden Mohamed Boudiaf, praktis tidak memiliki kepala negara.

Boudiaf terbunuh tahun 1992, setelah enam bulan dipilih menjadi presiden.

Wajah baru

Di pihak lain, tokoh Islam moderat Noureddin Boukrou --yang juga mencalonkan diri-- dilaporkan melemparkan gagasan bahwa "wajah baru" dperlukan jika rakyat mengingini penyelesaian pertumpahan darah yang telah berlangsung selama empat tahun di negeri itu.

Boukrouh, tokoh pembaharuan Aljazair dan pemimpin Partai Pembaharuan Aljazair, berpendapat bahwa bagi tercapainya kemajuan, pemerintah saat ini tak dapat dipertahankan.

Sementara itu, Saadi memandang Presiden Liamine Zeroual --calon lain dalam pemungutan suara-- sebagai orang yang ingin menyenangkan hati setiap orang, dan berada dalam jalur menuju pengulangan kekhilafan yang telah terjadi di negeri tesebut sejak tahun 1962.

Pemerintah terdahulu yang dipimpin Mohamed Boudiaf, menurut Saadi, tak mampu menyelesaikan masalah karena bersikap "lunak".

Kini Boukrouh menganggap situasi keamanan di Aljazair bukan masalah yang dapat berubah menjadi kerusuhan.

Bertentangan dengan pendapat kelompok oposisi yang menentang pemungutan suara, Boukrouh berpendapat pemilihan presiden saat ini adalah "jalan keluar" dari krisis atau awal proses penyelesaian krisis melalui tindakan rakyat dalam mensahkan pemerintah lewat pemberian suara.

Menurut dia, rakyat tidak terlalu dipusingkan dengan masalah ideologi.

Yang jelas, kata Boukrouh, rakyat ingin negeri mereka terbebas dari segala bentuk krisis, korupsi, perumahan, pengangguran dan kerusuhan, yang terus merongrong Aljazair. (15/11/95 20:52)

Tidak ada komentar: