Selasa, 13 Mei 2008

MILITER ZAIRE GAGAL REDAM KERUSUHAN

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 18/12 (ANTARA) - Militer Zaire, yang tidak memiliki perlengkapan tangguh dan tak terorganisir, mengalami kesulitan dalam meredam pemberontakan suku Tutsi di negeri itu pada penghujung 1996, sementara ratusan ribu pengungsi terus mengalir ke negara-negara tetangga.

Suku Tutsi Zaire, yang dikenal dengan nama Banyamulenge dan disebut-sebut mendapat dukungan Rwanda, mengangkat senjata pada Oktober lalu.

Suku Tutsi Banyamulenge terdiri atas 300.000 orang; mereka berasal dari Rwanda dan telah menetap di Zaire selama 200 tahun tapi pada 1981 tidak diberi kewarganegaraan Zaire.

Kelompok pemberontak terdiri atas empat faksi politik yang sejak lama menentang presiden negeri itu. Mereka membentuk Aliansi Pasukan Demokratik bagi Pembebasan Kongo-Zaire (ADEL) dan sekarang menguasai sebagian besar wilayah Zaire Timur.

Aliansi tersebut, yang dipimpin oleh tokoh oposisi kondang Laurent Kabil, lahir saat pemerintah berupaya menghalau kembali suku Tutsi Banyamulenge ke Rwanda.

Dalam waktu singkat kaum pemberontak tersebut juga menguasai sebagian daerah perbatasan Zaire, dan kini dilaporkan memiliki sasaran untuk menggulingkan Presiden Mobutu Sese Seko --yang dijadwalkan kembali ke negeri itu hari Selasa (17/12).

Pertempuran antara pemberontak militer Kinshasa memicu terjadinya gelombang ratusan ribu pengungsi ke Burundi dan Rwanda.

Akibat pertempuran di Zaire, Komite Palang Merah Internasional (ICRC) pada Rabu (4/12) menarik stafnya terakhirnya dari kota kecil Kindu karena alasan keamanan, dan menyatakan ribuan pengungsi di wilayah tersebut tidak mendapat bantuan.

Sebanyak 300.000 pengungsi, 140.000 di antara mereka suku Hutu, diduga menetap di kamp-kamp di sebelah utara Uvira di dekat perbatasan barat Zaire dengan Burundi.

Mereka terpencar-pencar ketika pemberontak menguasai Uvira pada bulan Oktober.

Tak kurang dari 30.000 pengungsi telah kembali ke Burundi, dan ribuan pengungsi menyelamatkan dengan menyeberangi Danau Tangnyika ke Tanzania, tapi sebanyak 100.000 pengungsi diberitakan hilang.

Menurut suatu pernyataan ICRC yang disiarkan Reuter, Selasa, staf terakhir ICRC meninggalkan Kindu, 400 kilometer sebelah selatan Kisangani di bagian timurlaut negeri itu untuk sementara.

Pemberontak pada hari yang sama menyatakan telah merebut kota kecil tersebut, tapi penduduk di kota itu diberitakan menyatakan, Kindu masih berada dalam kekuasaan pemerintah.

Sementara itu Angkatan Bersenjata Zaire (FAZ) tampaknya tidak mampu membendung gerak pemberontak ke arah barat dan timur negeri tersebut.

Pemerintah di Kinshasa menyatakan, pemberontakan di negerinya didalangi oleh militer Rwanda dan Uganda, dengan bantuan Burundi --tempat militer Tutsi memerangi pemberontak Hutu.

Uganda dan Rwanda tentu saja membantah tuduhan itu, kendati banyak saksi mata dan wartawan asing melaporkan "kendaraan lapis baja Rwanda berada di Goma," sebelah utara Danau Kivu di perbatasan kedua negara tersebut.

FAZ, yang berhadapan dengan kekuatan "koalisi", hampir tak dapat melancarkan serangan balik.

FAZ juga menghadapi kesulitan keuangan untuk membeli senjata dan perlengkapan, dan menuduh pemerintah negerinya tidak perduli dengan kondisi yang dihadapi pasukannya.

Pada saat yang sama harian yang dekat pemerintah Zaire, menuduh "poros AS-Kanada" karena sampai saat ini gagal menempatkan pasukan multinasional di bagian timur negeri tersebut untuk memudahkan petugas bantuan membagikan makanan dan obat kepada para pengungsi.

Sumber daya alam

Sementara itu banyak pengulas yang dikutip AFP menyatakan, pembentukan zona Tutsi yang luas dan menyeberangi perbatasan timur Zaire dari Rwanda serta Uganda membuat impian rakyat Sungai Nil mulai jadi kenyataan.

Pada saat yang sama dukungan dari Washington bagi wilayah Danau Raya, yang rakyat berbahasa Inggris, tidak berkurang. AS memandang wilayah itu sebagai "jalan menuju Afrika".

Kekayaan alam provinsi-provinsi Kivu, di bagian timur, dan ke utara menuju daerah dataran tinggi di Zaire tampaknya juga menjadi sebab meletusnya pemberontakan.

Kandungan emas di wilayah Bunia, Zaire Utara, diduga cukup berlimpah, sementara daerah dataran tinggi Kivu Selatan telah lama menjadi pangkalan pemimpin pemberontak Tutsi.

Daerah perbatasan Zaire juga disebut-sebut memiliki kandungan minyak "rahasia", meskipun negeri itu sendiri termasuk salah satu negara miskin.

Sumber daya alam semacam itu menjadi alasan Zaire untuk melempar tuduhan kepada Rwanda, yang wilayahnya kecil dan rakyatnya memerlukan wilayah lebih luas.

Meskipun demikian, banyak diplomat dilaporkan telah memperingatkan bahwa perubahan perbatasan Zaire takkan diterima oleh masyarakat internasional.

Harapan

Kini harapan para politikus dan tentara Zaire terletak pada Mobutu untuk dapat menyelesaikan krisis politik dan militer yang meningkat di negeri tersebut.

Marsekal Mobutu (66) dijadwalkan pulang 17 Desember, setelah empat bulan berada di Eropa --tempat ia menjalani operasi kanker prostat dan perawatan.

Mobutu, yang telah berkuasa selama selama 31 tahun di negara dengan penduduk 40 juta orang itu, dipandang telah mempertahankan kekuasaannya dengan cara membuat saingan- saingannya terpecah dan bahkan "membeli musuh-musuhnya".

Mobutu memangku jabatan November 1965, setelah Zaire --yang saat itu dikenal dengan nama Congo Leopoldville-- dilanda lima tahun perang saudara yang meletus sesudah kemerdekaan dari Belgia.

Mobutu mempersingkat masa perawatannya karena krisis berkepanjangan di negerinya.

Meskipun kaum oposisi menyalahkan Mobutu, yang memangku jabatan saat ia berusia muda, sebagai pangkal krisis tersebut, tapi mereka tetap percaya bahwa Mobutu --sebagai panglima tertinggi militer-- adalah satu-satunya tokoh yang mendapat meningkatkan moral militer.

Ia juga diharapkan akan merombak susunan komando tertinggi militer sebagai persiapan untuk melancarkan serangan balasan terhadap pemberontak.

Mobutu sebelumnya mendapat dukungan AS, sementara negara-negara Barat memandang Zaire sebagai zona penyangga untuk menghambat komunis.

Namun dukungan tersebut memudar saat pertempuran di negara tetangga Zaire, Angola, mendekati penyelesaian dan pengaruh bekas Uni Sovyet merosot di Afrika.

Atas tekanan Barat agar melakukan pembaharuan, Mobutu pada April 1990 merintis jalan menuju demokrasi, setelah lebih dari dua dasawarsa menerapkan sistem partai tunggal.

Namun Desember 1992, presiden Zaire itu memecat tokoh pembaharu perdana menteri Etienne Tshisekedi --bekas aliansi yang berubah menjadi musuhnya-- sehingga jalan ke arah demokrasi kembali terhambat. (18/12/96 13:07)

Tidak ada komentar: