Rabu, 14 Mei 2008

NETANYAHU JADIKAN AL-KHALIL SEBAGAI PEMISAH ARAB-ISRAEL

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 18/10 (ANTARA) - Sikap tak kenal kompromi perdana menteri garis keras berhaluan kanan Israel benar-benar membuat Al-Khalil, tempat makam para nabi, menjadi garis pemisah antara Palestina dan Israel kendati upaya penyelesaian terus diluncurkan.

Sampai hari Jumat (18/10), perundingan guna mewujudkan pengaturan kembali tentara Israel di Al-Khalil terus berlangsung tapi kegagalan dan kekecewaan tetap menghadang pihak Palestina.

Pasalnya ialah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tetap menghendaki perubahan dalam persetujuan pengaturan tentara Yahudi guna melindungi sebanyak 400 pemukim Yahudi di antara sekitar 120.000 orang Palestina di kota Tepi Barat Sungai Jordania tersebut.

Berdasarkan persetujuan otonomi Palestina 1995, Israel harus menarik tentaranya dari 80 persen wilayah Al-Khalil bulan Maret tahun ini tapi ditunda pemerintah terdahulu Israel di bawah bekas perdana menteri Shimon Peres setelah terjadi gelombang serangan bom bunuh diri di Israel.

Penundaan itu berlanjut sampai Netanyahu menjadi perdana menteri Israel bulan Juni dan sampai sekarang pengaturan tentara Israel tak kunjung terwujud.

Kantor berita Reuter melaporkan, hari Rabu (16/10) Presiden Palestina Yasser Arafat dengan geram menampik rencana baru Israel untuk membagi Al-Khalil menjadi wilayah-wilayah Arab dan Israel.

Di Kairo Arafat diberitakan melempar kertas berisi rencana Israel tersebut ke udara dan menggambarkannya lebih rasisme dibandingkan dengan praktek apartheid di Afrika Selatan.

Ia juga menganggap usul Israel itu sebagai pukulan keras terhadap persetujuan yang telah dicapai antara Palestina dan Israel.

Rakyat Palestina telah lama memandang pengaturan tentara Israel dari Al-Khalil sebagai ujian bagi komitmen Netanyahu terhadap persetujuan perdamaian yang ditandatangani PLO dengan pemerintah Partai Buruh Israel di Washington September 1993.

Kota itu tempat makam Nabi Ibrahim A.S., cikal bakal bangsa Yahudi dan Palestina, bersama putra-putranya, telah sering menjadi ajang bentrokan Palestina-Israel.

Bulan Agustus 1929, sebanyak 50 orang Yahudi tewas di tangan orang Arab dan Februari 1994 tak kurang dari 60 orang Palestina dibantai pemukim ekstrim Yahudi.

Persetujuan tahun 1995 mengenai perluasan otonomi Palestina di Tepi Barat, saat Israel diharuskan mundur dari tujuh kota kecil di Tepi Barat ke garis sebelum Perang Timur Tengah tahun 1967, memberi pengecualian bagi Al-Khalil.

Berdasarkan Pasal Tujuh persetujuan otonomi yang ditandatangani di Washington 1995, Israel setuju untuk mengatur tentaranya dari Al-Khalil dan menyerahkan 80 kota tersebut kepada Pemerintah Otonomi Palestina.

Israel juga setuju Pemerintah Otonomi Palestina menempatkan 400 personil polisi yang diperlengkapi 200 pistol dan 100 senapan senjata serta 20 kendaraan di daerah yang ditandai dalam peta sebagai H2.

Netanyahu, setelah terjadi bentrokan antara militer Israel dan pemrotes serta polisi Palestina di Tepi Barat akibat tindakan Israel membuka kembali terowongan di lingkungan kompleks masjid Al-Aqsha di Jerusalem belum lama ini, juga telah mengusulkan agar polisi Palestina hanya dipersenjatai pistol.

Bagian lain kota itu, tempat tinggal sebanyak 400 pemukim Yahudi, akan tetap berada di bawah kekuasaan Israel. Pemerintah administrasi Palestina di Al-Khalil akan memberi pelayanan bagi masyarakat Arab dan Yahudi.

Persetujuan tersebut juga memungkinkan dilakukannya patroli bersama oleh pasukan keamanan Israel dan Palestina di daerah-daerah yang dianggap penting bagi masyarakat Arab dan Israel.

Namun, Netanyahu menuntut dilakukannya perubahan dalam persetujuan tahun 1995 itu.

Netanyahu menuntut agar militer Israel diberi hak untuk kembali ke daerah-daerah Palestina, menguasai dataran tinggi di dekat kota kecil tersebut dan memiliki wewenang dalam pemerintah kotapraja.

Tuntutan perdana menteri sayap kanan Israel itu tentu saja ditampik Arafat.

Arafat telah menolak untuk merundingkan kembali persetujuan otonomi, dan berkeras persetujuan tersebut memberi keamanan cukup memadai bagi para pemukim Yahudi.

Penolakan bagi perundingan kembali persetujuan otonomi juga telah disampaikan negara-negara Arab tapi semua itu tampaknya hanya menjadi angin lalu bagi Netanyahu.

Pindahkan permukiman

Sebelumnya perunding Palestina telah menyatakan Israel sebenarnya dapat menembus kebuntuan mengenai masalah Al-Khalil "dengan menyetujui pemindahan para pemukim Yahudi di kota itu ke permukiman lain yang berdekatan".

Netanyahu, sejak memangku jabatan perdana menteri setelah mengalahkan Peres dalam pemilihan umum bulan Mei, selalu menjadikan masalah keamanan sebagai dalih untuk tidak menghormati persetujuan Palestina-Israel.

Menurut perunding Palestina Saeb Erakat, salah satu penyelesaian mudah guna mengatasi keprihatinan Israel mengenai masalah keamanan sehingga pemerintah sayap kanan Israel mengupayakan perubahan persetujuan mengenai Al-Khalil ialah pemindahan pemukim Yahudi ke Kiryat Arba.

Erakat menyatakan bahwa masalah sesungguhnya dalam perundingan ialah Israel terus berusaha merancang kembali persetujuan "agar sesuai bagi para pemukim Yahudi".

Ia mempertanyakan, mengapa Israel tidak berusaha mencapai persetujuan yang sesuai bagi delapan juga orang Palestina dan Yahudi?

Rakyat Palestina, katanya, juga memiliki keprihatinan mengenai masalah keamanan karena pemukim Yahudi bertanggung jawab atas semua kerusuhan dan pembantaian di Al-Khalil.

Mengenai tersendatnya persetujuan tersebut, suatu sumber Israel dilaporkan mengatakan, "Tentu saja tak ada orang yang mengatakan perundingan akan berjalan mudah."

Israel, katanya, mengajukan usul "yang masih berkisar dalam persetujuan tapi dengan mempertimbangkan masalah keamanan".

Ancaman krisis

Sementara itu, Perdana Menteri Jordania Abdul-Karim Al-Kabariti diberitakan meramalkan krisis akan meletus kembali kalau Israel gagal mewujudkan pengaturan tentaranya dari Al-Khalil.

Menurut Al-Kabariti, jurang pemisah tampaknya belum terjembatani.

Meskipun begitu, ia berharap dengan penengahan AS perbedaan pendapat antara Palestina dan Israel dapat diselesaikan.

Kesempatan, tambahnya, belum sirna dan ia percaya pihak Palestina telah memperlihatkan keluwesan serta kesediaan untuk mencapai persetujuan.

Namun, ia menyatakan, pihak Arab sepakat bahwa persetujuan tak dapat dipisahkan dari dokumen yang telah ditandatangani.

Berbeda dengan keprihatinan pihak Arab, Menteri Luar Negeri Israel David Levy, ketika menanggapi perundingan mengenai Al-Khalil, menyatakan "kemajuan besar" telah dicapai.

Ia juga menyampaikan optimisme bahwa Palestina dan Israel "akan dapat menyelesaikan perbedaan pendapat dalam waktu dekat".

Tetapi, Erakat berpendapat sampai saat ini tak kemajuan yang dicapai.

Arafat telah menyampaikan kekhawatirannya bahwa intifada akan bergolak kembali jika Palestina dan Israel tak berhasil menyelesaikan masalah Al-Khalil.

Kelompok garis keras Gerakan Perlawanan Islam (HAMAS), yang sejak awal telah menentang perdamaian dengan Israel, telah berulangkali menyeru rakyat Palestina agar kembali mengobarkan intifada guna menghadapi sikap tak kenal kompromi Israel.

Kekhawatiran Arafat tampaknya beralasan karena sejak persetujuan perdamaian Palestina-Israel ditandatangani September 1993 hanya pihak Palestina melakukan konsesi sedangkan Israel, apalagi di bawah pemerintahan Netanyahu, tak bergeming dari sikap awalnya.

PLO telah menghapus penentangan untuk mengakui negara Yahudi dari Piagamnya setelah penandatanganan persetujuan perdamaian.

Namun, Netanyahu meski telah menyampaikan "komitmennya bagi perdamaian", tak pernah mencabut rencana kebijakan yang disampaikannya pada masa kampanye guna menghimpun dukungan rakyat Yahudi.

Ia menyatakan, takkan ada perundingan mengenai Jerusalem, dan takkan ada negara Palestina, serta takkan ada penyerahan Dataran Tinggi Golan kepada Suriah.

Netanyahu belakangan mengusulkan perundingan kembali persetujuan perdamaian, usul yang sebenarnya bahkan ditentang oleh pengayomnya dan salah satu penaja proses perdamaian, yaitu Amerika Serikat. (18/10/96 23:05)

Tidak ada komentar: