Rabu, 28 Mei 2008

PALESTINA BERADA DI AMBANG FUNDAMENTALISME?

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 22/8.96 (ANTARA) - Pemerintah Otonomi Palestina menghadapi cobaan berat keuangan dan bukan tak mungkin akan terjerumus ke dalam fundamentalisme, jika Israel tidak mencabut pembatasan jumlah orang Palestina yang bekerja di negara Yahudi itu dan masyarakat internasional tak bertindak meringankan beban tersebut.

Krisis ekonomi semacam ini bukan pertama kali dialami Pemerintah Otonomi yang dipimpin Yasser Arafat, karena tahun 1994 Pemerintah Otonomi Palestina nyaris tak mampu membayar gaji para pegawainya.

"Dalam beberapa pekan Pemerintah Otonomi mungkin menghadapi krisis likuiditas dan kehancuran ekonomi," demikian peringatan utusan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Tepi Barat dan Jalur Gaza, Terje Larsen, sebaimana dikutip Reuter.

Kejadian itu dapat mengakibatkan kemacetan dan secara politik berbahaya, kata penasehat kantor PBB di Jalur Gaza, Ferdinand Smith, kepada UPI.

Kehancuran finansial Pemerintah Otonomi Palestina dapat memicu kerusuhan politik di wilayah-wilayah otonomi.

Pemerintah Otonomi Palestina juga bisa kehilangan kredibilitas, dan akibat yang muncul nantinya dapat berupa keadaan yang mudah bergolak.

Defisit anggaran Pemerintah Otonomi diperkirakan mencapai 127 juta dolar AS, sedangkan negara-negara donor baru memberi 40 juta dari 64 juta dolar AS yang dijanjikan guna membantu Pemerintah Otonomi.

Israel menambah berat beban Pemerintah Otonomi dengan menutup wilayahnya bagi orang Palestina yang ingin bekerja.

Kerugian yang diderita Pemerintah Otonomi Palestina akibat penutupan Israel dilaporkan mencapai 600 juta dolar sejak Januari 1996, penderitaan ekonomi paling buruk yang timbul sejak Israel merebut wilayah-wilayah itu tahun 1967.

Oleh karena itu, kata Larsen, dana internasional bagi proyek-proyek jangka panjang yang dijanjikan awal tahun ini harus ditataulang guna mengatasi masalah kronis yang dialami Pemerintah Otonomi Palestina akibat penutupan Israel, walaupun Tel Aviv telah melonggarkan sebagian penutupan tersebut.

Menurut utusan Dana Moneter Internasional di Tepi Barat dan Jalur Gaza, Salam Fayyad, kegagalan negara-negara donor untuk memenuhi janji mereka akan memaksa Pemerintah Otonomi memperluas sektor swasta sampai keluar daya tampungnya dan melakukan pinjaman.

Sejak bulan Juni 1996, Pemerintah Otonomi Palestina dilaporkan belum menerima bantuan bagi anggaran barunya, dan dengan takadanya sumber daya, posisi likuiditas Pemerintah Otonomi akan terancam.

Wilayah otonomi Palestina telah berulang kali menjadi sasaran penutup oleh Israel sejak tahun 1993, dan setelah serangkaian pemboman bunuh diri Israel melakukan blokade total terhadap Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Akibat penutupan tersebut, pengangguran mencapai tingkat tertinggi sejak tahun 1967, yaitu 51 persen di Jalur Gaza, dan 40 persen di Tepi Barat tahun 1996.

Sebanyak 166.000 orang Palestina tak dapat bekerja di Israel akibat penutupan itu.

Penutupan tersebut dilaporkan juga mempengaruhi ekspor dari Tepi Barat dan Jalur Gaza, senilai 500 juta dolar AS pada bulan Januari saja.

Lahirkan fundamentalisme

Kemiskinan yang diderita penduduk Palestina dikhawatirkan oleh banyak pihak akan menimbulkan pergolakan, dan tidak menutup kemungkinan malah melahirkan fundalisme.

Inter Press Service (IPS) dalam suatu terbitannya menyatakan, pihak Barat keliru jika menuding fundamentalisme agama sebagai ancaman baru terhadap keamanan dunia.

Sebenarnya kesalahan mengenai masalah fundamentalisme, menurut IPS, terletak pada pemberitaan media dan tindakan pemerintah tertentu dengan menciptakan kesan keliru keliru mengenai kaitan fundamentalisme dengan agama.

Banyak negara dan pemerintah menuding pemberontakan sebagai fundamentalisme. Padahal, menurut seorang tokoh agama Islam di London, fundamentalisme tumbuh akibat meluasnya kemiskinan dan keresahan ekonomi bukan karena ulah negara tertentu yang berbendera agama.

Kegagalan suatu pemerintah dalam membenahi diri, katanya, mengakibatkan banyak masalah ekonomi dan sosial dan membuat rakyat hidup dalam kesulitan.

Saat ini tak kurang dari 1,1 miliar orang diperkirakan hidup dalam kemiskinan total dan di banyak negara miskin muncul berbagai kasus fundamentalisme, seperti Burundi, Rwanda, dan kini bukan tak mungkin mengancam rakyat Palestina.

Namun, seorang pakar lain berpendapat, kemiskinan absolut tidak secara otomatis melahirkan fundamentalisme.

Pada umumnya fundamentalisme timbul dalam masyarakat yang kalah dalam bidang ekonomi, tidak harus dalam kalangan orang yang hidup dalam kemiskinan total.

Kalah dalam persaingan di bidang ekonomi agaknya juga menjadi faktor penting dalam kasus kelahiran fundamentalisme.

Padahal, banyak sejarah satu negara mencatat, begitu fundamentalisme muncul, maka pihak pemerintah serta merta menudingnya sebagai ancaman, dan perbedaan mendasar antara pengaruh agama terhadap kehidupan politik dan pengaruh politik terhadap kehidupan beragama menjadi kabur ataupun sengaja dibuat kabur.

Seorang pengamat berpendapat, fundamentalisme tumbuh subur jika pemerintah gagal membangun ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. (23/08/96 11:01)

Tidak ada komentar: