Jumat, 02 Mei 2008

PEMERINTAH OTONOMI PALESTINA DIHADANG KRISIS EKONOMI

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 25/6 (ANTARA) - Pemerintah otonomi Palestina, meskipun memperoleh janji bantuan dari negara-negara donor, menghadapi krisis ekonomi justru di saat penguasa Yahudi memberi lampu hijau bagi pelaksanaan otonomi yang telah lama diidam rakyat Palestina di wilayah pendudukan Israel.

Negara-negara donor pada Juni menjanjikan pencairan bantuan sebesar 42 juta dolar AS (sekitar Rp84 milyar) guna mengatasi defisit anggaran bagi operasi pemerintah otonomi terbatas Palestina, tapi jumlah tersebut hanya dapat memenuhi kebutuhan administrasi Palestina sampai Agustus.

"(Keadaan itu) mengenaskan ya!" demikian komentar Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Ribhi Y. Awad, kepada ANTARA di Jakarta. "Bantuan tersebut memang jauh dari mencukupi,"lanjutnya.

Biaya yang dibutuhkan pemerintah otonomi Palestina diperkirakan sebesar 168 juta dolar AS (sekitar Rp236 milyar) untuk 1994 saja.

Meskipun begitu, bantuan tersebut sangat penting bagi rakyat Palestina, katanya.

Krisis ekonomi, katanya, sebenarnya sudah mencengkeram rakyat Palestina dan PLO, jauh sebelum persetujuan otonomi Palestina di Jericho, Tepi Barat Sungai Jordan, dan Jalur Gaza ditandatangani di Washington 13 September lalu.

Sejak Israel pertama kali menguasai wilayah Palestina pada 1967, kesulitan mulai timbul.

Kesulitan tersebut merebak akibat kebijakan dan aksi agresif penguasa Yahudi, sehingga merusak berbagai prasarana.

Semua prasarana tersebut rusak parah, dan membutuhkan perbaikan, kata Awad.

Selain itu keadaan ekonomi di Tepi Barat dan Jalur Gaza sangat tergantung pada Israel dan negara-negara kaya minyak di Teluk, sedangkan pembangunan di kedua wilayah tersebut terhambat dan menjadi korban konflik antara Palestina dan penguasa Israel.

Menurut laporan Bank Dunia, pendudukan Israel atas wilayah Palestina telah menyerap ekonomi semua wilayah itu ke dalam wilayah Israel dan mengakibatkan empat masalah utama.

Rakyat Palestina terdorong membanjiri wilayah Israel, yang lebih maju, dan bekerja di bidang non-ketrampilan, sedang pada saat yang sama produk Palestina sendiri diawasi dengan ketat, dan ekspor dari wilayah tersebut dihalangi. Sementara itu, orang-orang Palestina yang memiliki ketrampilan bekerja di negara-negara kaya di Teluk atau di Barat.

Pemerintah sipil yang dijalankan Israel dan mengatur wilayah pendudukan memiliki anggaran seimbang, tapi tingkat penanaman modal sangat rendah -- hanya tiga persen dari Produk Domestik Kotornya. Akibatnya, prasarana di wilayah pendudukan merosot tajam.

Pembagian air, lahan dan sumber daya alam dihentikan, sehingga menghambat pembangunan di wilayah pendudukan. Rakyat Israel mengkonsumsi lebih dari tiga perempat sumber air di Tepi Barat dan Jalur Gaza, sementara para pemukim Yahudi menyita lahan pertanian.

Jaringan peraturan yang rumit juga menjadi penghambat perkembangan sektor swasta di wilayah Palestina.

Pengangguran

Akibat aksi agresif penguasa Yahudi pemerintah otonomi ditambah terhentinya bantuan dari negara Arab sejak krisis Teluk, bangsa Palestina menghadapi banyak tantangan dalam membangun prasarana, sekolah, rumah sakit, kata Awad.

PLO mendukung Irak dalam krisis tersebut -- suatu tindakan yang membuat gusar negara-negara kaya di Teluk, dan mengakibatkan terhentinya bantuan bagi organisasi yang sebelumnya diakui sebagai wakil rakyat Palestina tersebut.

Angka pengangguran dikhawatirkan melonjak terutama setelah Israel tidak mengizinkan lebih dari 100.000 orang Palestina bekerja di wilayah Yahudi.

Meskipun saat ini pemimpin PLO Yasser Arafat mulai dapat memperbaiki hubungannya dengan negara-negara Teluk, tingkat pengangguran menjadi keprihatian Organisasi Buruh Internasional (ILO).

Dalam laporannya belum lama ini, organisasi PBB tersebut menyatakan krisis lapangan kerja dapat membahayakan proses perdamaian di wilayah yang mudah bergolak itu, jika tindakan penanggulangan tak segera dilakukan.

Menurut ILO, angka pengangguran sudah mencapai 25 persen di seluruh wilayah pendudukan Israel, dan 41 persen di Jalur Gaza.

Wilayah pendudukan memiliki sebanyak dua juta penduduk dan separuhnya berusia sekitar 15 tahun ke bawah. Angkatan kerja mencapai 310.000 orang atau 34 persen penduduk dewasa, dan sebanyak 35 persen dari mereka bekerja di sektor ekonomi Israel.

Di seluruh wilayah itu, menurut ILO, harus diciptakan 12.500 lapangan kerja baru setiap tahun untuk dapat mengimbangi angka pertambahan penduduk sebesar 4,5 persen per tahun. Jumlah tersebut belum mencakup sebanyak 500.000 orang Palestina yang diperkirakan akan pulang sampai akhir abad ini.



Meskipun wilayah pendudukan menjadi salah satu dari 10 wilayah yang mengalami perkembangan ekonomi pesat di 1970-an, perkembangan ekonomi wilayah itu di masa depan membuat pesimistis seorang pejabat senior badan Dana Moneter Internasional (IMF).

George Abed, warganegara Palestina, menyatakan bahwa beberapa bulan sejak penandatanganan persetujuan PLO-Israel, wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza tidak memperlihatkan tanda-tanda kemajuan.

Ia bahkan berpendapat keadaan di kedua wilayah itu, meskipun tidak sama parahnya, tetapi tak beda jauh dengan yang terjadi di Somalia.

Namun, Awad yakin pimpinan PLO akan dapat menemukan jalan keluar dari krisis ekonomi yang dihadapi bangsa Palestina saat ini melalui berbagai tindakan dan prosedur yang tepat.

Ia menambahkan rakyat Palestina membutuhkan perdamaian, sebab hanya dalam kedamaian rakyat Palestina dapat membangun dan memulihkan kondisi ekonomi negeri mereka.

"Uang bukan obat penyembuhan. Uang bukan penyelesaian 'magic' krisis Palestina," katanya. (25/06/94 10:33)

Tidak ada komentar: