Jumat, 09 Mei 2008

PENEMPATAN PASUKAN, UPAYA BARU IRAK TARIK PERHATIAN DUNIA

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 17/10 (ANTARA) - Tindakan Irak menempatkan lebih dari 70.000 prajurit Garda Republik di dekat perbatasan dengan Kuwait tampaknya lebih condong pada upaya menarik perhatian dunia dibandingkan dengan persiapan serangan baru ke tetangganya itu.

Masalah besar mulai dihadapi Irak sesudah sanksi- sanksi PBB dijatuhkan atas negeri 1001 malam tersebut setelah serbuan pasukannya tahun 1990 dan sekarang menggerogoti Irak serta mencuatkan kekhawatiran mengenai timbulnya perpecahan di kalangan rakyatnya.

Baghdad sendiri, dalam tajuk-tajuk surat kabarnya yang dikutip Reuter, mengakui dengan menempatkan pasukan di dekat perbatasan dengan Kuwait lebih satu pekan lalu Irak berharap akan dapat menarik perhatian dunia pada kesulitan yang diakibatkan oleh semua sanksi PBB, dan bukan mencari bentrokan militer baru.

PBB memberlakukan embargo atas semua pemasokan barang, selain bagi kemanusiaan, ke Irak bulan Agustus -- tak lama setelah pasukan Irak menyerbu Kuwait.

Ekonomi Irak juga kelihatannya kian tercabik dan prasarana negeri itu, yang sebelum terkena sanksi termasuk paling modern di wilayah yang mudah bergolak tersebut, mulai terseok-seok.

Dampak berat sanksi-sanksi tersebut membuat pemerintah di Baghdad semakin kehilangan kesabaran, sementara PBB -- dengan dipelopori Amerika Serikat -- tidak memperlihatkan tanda akan mengendurkan semua itu setelah lebih tiga tahun pasukan multinasional pimpinan AS menghalau serdadu Irak dari Kuwait tahun 1991.

Bagi rakyat biasa di Irak, menurut laporan kantor- kantor berita transnasional, saat ini boleh dibilang hampir tak mungkin untuk dapat membeli kebutuhan mereka di pasar-pasar.

Sementara itu, para pejabat dalam pemerintahan Presiden Saddam Hussein menghadapi kesulitan dalam mengatasi permasalahan.

Tatkala Perang Teluk berakhir tahun 1991, Irak disebut-sebut menggunakan barang simpanannya untuk memotori upaya pembangunan kembali negerinya, yang mengalami banyak kerusakan akibat gempuran pasukan multinasional.

Namun kini, setelah lebih tiga tahun berlalu pemerintah Irak menghadapi kesulitan untuk memberi nafkah rakyatnya.

Semua itu terjadi tentu saja akibat sanksi-sanksi yang mencekik negeri tersebut.

Dalam Resolusi Gencatan Senjata Perang Teluk Nomor 687, Dewan Keamanan PBB di antaranya mengharuskan Irak menghormati perbatasan internasional dengan Kuwait, yang ditetapkan PBB. PBB juga menetapkan dan memantau zona demiliterisasi antara Irak dan Kuwait.

Selain itu, Irak diharuskan memusnahkan senjata penghancur massalnya dengan pengawasan komite khusus PBB. Selama ini Irak menyatakan telah bekerjasama dengan semua misi PBB di negerinya.



Tak mengendur

Meskipun demikian, tindakan Irak tersebut bukan mengundang iba tapi malah mengakibatkan pembatasan baru oleh PBB. Pada babak pertemuan pertama Sabtu malam (16/10) Irak kehilangan kesempatan peringanan sanksi.

Dengan suara 15-0, Dewan Keamanan PBB menetapkan pembatasan gerak pasukan Irak di dekat perbatasannya dengan Kuwait dengan tujuan mencegah terulangnya penggelaran sesaat kekuatan Baghdad di wilayah itu.

Namun Dewan Keamanan dilaporkan terpecah, dan ini tak pernah terjadi sebelumnya, ketika akan memasuki topik berikutnya, usul Rusia bagi pencabutan embargo minyak selama enam bulan jika Presiden Irak mau mengakui Kuwait.

Menurut Rusia, setiap upaya guna memperpanjang sanksi jika Irak mengakui garis demarkasi yang ditetapkan oleh PBB setelah serdadu Baghdad dihalau dari Kuwait tahun 1991 adalah tindakan balas dendam.

Perpecahan di Dewan Keamanan, yang bersatu menentang serbuan Irak ke Kuwait tahun 1990, memang telah lama diingini Irak, tapi itu bukan berarti semua sanksi atas Baghdad akan mereda.

Menteri Luar Negeri Perancis Alain Juppe -- yang negaranya bentrok dengan Washington mengenai tindakan balasan AS terhadap pengerahan kekuatan paling akhir Irak -- berpendapat Irak mesti mengakui Kuwait dulu baru kemungkinan pemberian kelonggaran atas embargo minyak dibahas.

Kendati demikian Juppe memperlihatkan bahwa Perancis tidak sependapat dengan Amerika Serikat serta Inggris, yang tidak memperlihatkan kesediaan untuk menetapkan lebih dulu kapan saatnya tiba guna mempertimbangkan semua sanksi PBB.

Jika Washington tetap saja menghubungkan peringanan sanksi dengan kepatuhan Irak atas semua sanksi itu, seperti peningkatan catatan hak asasi manusia, keadaan ekonomi Baghdad tampaknya akan tetap suram.

Pembagian makanan yang sebelumnya menjadi jaminan bagi kedamaian dan mencegah timbulnya kelaparan di Irak dilaporkan telah merosot tajam bulan lalu. Itu memperlihatkan betapa rendahnya produksi domestik Irak.

Sementara itu, impor makanan dan obat ke Irak -- yang sebenarnya diperkenankan oleh sanksi PBB -- diberitakan sudah berkurang jauh dalam beberapa bulan terakhir ini.

Bagi Washington, meskipun membantah bahwa AS berusaha mendongkel Saddam Hussein, semua kesengsaraan yang dialami Irak bisa saja dijadikan alasan untuk terus menekan pemerintah di Baghdad.

Semua sanksi tersebut, setelah berjalan selama kurang lebih empat tahun, semakin dalam menancapkan giginya dan kian memojokkan presiden Irak.
(17/10/94 12:05/RU1/14:05)

Tidak ada komentar: