Rabu, 14 Mei 2008

PERSETUJUAN MINYAK BUAT PANGAN SANDERA KRISIS IRAK-AS

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 28/9 (ANTARA) - Kendati dimaksudkan untuk meringankan penderitaan rakyat Irak, penerapan persetujuan penjualan minyak buat pangan, yang dicapai bulan Mei, terkatung-katung akibat krisis paling akhir Irak-AS, sementara penderitaan tetap mencengkeram rakyat negeri 1001 malam tersebut.

Penundaan penerapan persetujuan tersebut, menurut AS, berkaitan dengan keadaan di Irak Utara.

Berdasarkan persetujuan itu, Irak diperkenankan menjual minyak senilai dua miliar dolar AS selama enam bulan.

Duta Besar AS untuk PBB Madeleine Albright, sebagaimana dilaporkan AFP, menyatakan Presiden Irak Saddam Hussein harus menjamin bahwa Arbil (Irak Utara) aman bagi para pemantau PBB sebelum persetujuan tersebut dapat dilaksanakan.

Menurut Duta Besar Irak untuk Jakarta Dr. Sa'doun Az- Zubaidy, penerapan persetujuan itu lah yang menjadi sebab pemimpin Uni Patriotik Kurdistan (PUK) Jalal Talabani memicu bahaya di Irak Utara.

"Persetujuan tersebut disepakati oleh Irak dan PBB bulan Mei, tapi penerapannya tertunda terus akibat campur tangan AS dan Inggris di Dewan Keamanan," katanya dalam suatu wawancara dengan ANTARA.

Kedua negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB itu selalu berusaha menekan Dewan Keamanan dengan tujuan untuk mencegah pemerintah Irak memperoleh "peluang untuk bernafas", katanya.

Tetapi dalam wawancara terpisah, Duta Besar Kuwait Jasem Al-Mubaraki menyatakan Saddam Hussein lah yang menunda persetujuan tersebut selama satu tahun.

Namun Sa'doun menuduh AS tetap berusaha menghambat dengan cara "main belakang" dengan cara menyulut kerusuhan di lapangan di dalam wilayah Irak.

Sebabnya ialah jika persetujuan penjualan minyak buat pangan diterapkan, sebagian besar minyak akan diekspor melalui pipa di Turki demikian juga halnya dengan pemasokan barang yang diperlukan Irak juga akan melalui Turki.

"Mereka (pemerintah AS) ingin agen mereka, Jalal Talabani, menguasai wilayah tersebut yang akan menjadi saluran utama pengiriman minyak dan pemasokan barang dari dan ke Irak," katanya.

Kalau saja Talabani berhasil menggusur Barzani, pemimpin PUK itu akan melakukan "apa yang diperintahkan majikannya", kata Sa'doun.

Tetapi, menurut duta besar Kuwait di Jakarta, Saddam Hussein lah yang menyulut masalah di Irak Utara.

"Kami sebenarnya hampir mencapai kesepakatan bagi penerapan persetujuan itu. Tiba-tiba (tentara) Saddam Hussein datang ke Arbil di Irak Utara, dan membuat masalah baru," katanya.

"Sekarang keadaan jadi sulit. Bagaimana kami dapat membagikan makanan ke daerah yang dikuasai tentara Saddam Hussein. Tujuan utama PBB ialah untuk menjamin bahwa makanan benar-benar sampai ke tangan yang tepat," katanya.

Itu berarti makanan harus diberikan kepada rakyat Irak dan bukan kepada tentara Irak, katanya.

Meskipun begitu duta besar Kuwait tersebut, "dengan setulus hati berharap" bahwa resolusi Nomor 986 PBB tersebut dapat segera dilaksanakan dan rakyat Irak --yang kini dilanda kemiskinan serta kesengsaraan-- akan segera memperoleh makanan dan obat.

"Kami di Kuwait adalah korban serbuan. Kendati demikian, kami tetap menganggap rakyat Irak sebagai saudara sebangsa dan seagama. Kami tidak memiliki masalah dengan rakyat Irak," katanya. Oleh karena itu, ia berharap rakyat Irak akan dapat segera terbebas dari penderitaan.

Zona larangan terbang

Sementara nasib persetujuan minyak buat pangan masih terkatung-katung, bahkan diragukan akan dapat dilaksanakan sebelum tanggal 5 November --saat pemilihan umum di AS, Washington, menurut Sa'doun, sebenarnya memiliki sasaran lain yang lebih utama.

"Upaya menghambat penerapan persetujuan minyak buat pangan hanyalah salah satu tujuan. Sasaran utama AS ialah perluasan zona larangan terbang di Irak," kata duta besar Irak itu.

Ketika didesak mengenai kemungkinan persetujuan minyak buat pangan sebagai dasar tindakan AS belum lama ini di Irak, Sa'doun menyatakan: "Saya tak mengatakan begitu. Saya akan menyatakan dengan cara berbeda. Persetujuan tersebut adalah salah satu sasaran persekongkolan itu. Tetapi sasaran utamanya ialah untuk melumpuhkan seluruh Irak."

"Kami sekarang telah terbiasa dengan cara Amerika menggunakan segala macam dalih," tambahnya.

Tujuannya ialah untuk merusak stabilitas Irak. "Mereka (pemerintah AS) telah menjelaskan bahwa mereka akan menggunakan segala cara yang ada; mereka tak ragu mengeluarkan banyak uang, menggunakan tindakan terselubung termasuk CIA dan militer serta saluran diplomatik".

"AS juga bermaksud membuat lapar rakyat Irak serta menggulingkan pemerintah Irak," katanya. Itu lah semua kebijakan dan strategi Amerika, tambahnya.

Namun di balik semua tindakan AS saat ini terdapat sasaran terbesar AS. "Ini adalah masalah utama saat ini," katanya.

Masalah tersebut adalah zona larangan terbang. Duta besar Irak itu menganggap perluasan zona larangan terbang di Irak Selatan sebagai "tindakan tidak sah".

Alasannya? "Amerika, bersama Inggris, berusaha memperluas zona larangan terbang, dengan alasan kemanusiaan tapi tanpa mandat PBB, tanpa dukungan dan persetujuan masyarakat internasional," kata Sa'doun.

Segera setelah Saddam Hussein mengerahkan tentara untuk membantu Partai Demokratik Kurdistan (KDP) melawan Uni Patriotik Kurdistan (PUK) di Irak Utara, AS menyerang Irak Selatan.

Washington kemudian memperluas zona larangan terbang di wilayah itu dari 32 derajat sampai 36 derajat garis lintang.

Presiden AS Bill Clinton dilaporkan kantor-kantor berita transnasional telah menyatakan bahwa perluasan zona larangan terbang tersebut telah membuat Saddam Hussein "terkungkung dalam kotak".

Saddam Hussein sekarang tidak lagi dapat menjadi ancaman bagi tetangga-tetangganya, kata Clinton.

Akan tetapi Sa'doun berpendapat lain. "Mereka (AS dan Inggris) memberlakukan zona itu dengan cara negara adidaya yang kejam."

Tujuan pemberlakuan zona tersebut ialah untuk memecah Irak tapi tidak mendapat dukungan internasional. "Itu sebabnya mereka membawa pasukan bahkan tanpa berkonsultasi lebih dulu dengan negara-negara di Timur Tengah," katanya.

"Mereka (pemerintah AS) bertindak seakan-akan Irak, Kuwait, Arab Saudi dan Teluk adalah halaman belakang Amerika sehingga AS dapat seenaknya mendatangkan tentaranya," kata Sa'doun.

AS, katanya, seenaknya menyerang Irak dengan rudal- rudal jelajah Tomahawk dan membunuhi rakyat Irak tanpa berkonsultasi lebih dulu dengan PBB.

"Ini lah sikap mental main gerak dan sombong Amerika saat ini," katanya.

Namun duta besar Kuwait di Jakarta menyatakan AS tidak bermaksud menyerang atau menyerbu Irak.

"Saya kira tujuan AS ialah untuk melindungi kepentingan vitalnya di Teluk," kata Jasem.

Saat diminta menjelaskan mengenai kepentingan AS di Teluk, Jasem mengatakan mungkin saja kepentingan AS adalah minyak.

"Tetapi AS, sebagai negara adidaya, juga memiliki kepentingan dengan stabilitas wilayah Teluk dan menjamin bahwa Irak mematuhi semua resolusi PBB," kata Jasem.

Namun duta besar Irak berpendapat Washington sudah kehabisan alasan karena Baghdad "telah mematuhi semua resolusi PBB".

Berdasarkan resolusi PBB yang mengakhiri Perang Teluk tahun 1991, Irak diharuskan menghancurkan semua senjata penghancur massalnya sebelum sanksi dagang dan ekonomi PBB dicabut.

Duta besar Irak tersebut juga mencela sikap AS sebagai negara adidaya karena tidak mengacuhkan PBB dalam bertindak terhadap Irak.

Sa'doun mengutip ucapan Duta Besar AS di PBB Madeleine Albright bahwa "kadangkala Dewan Keaman PBB tidak setuju. Kadangkala Dewan Keaman adalah cara yang paling tak efektif untuk melakukan tindakan".

"Maksudnya ialah kita harus bertindak dengan cara lain jika tak dapat melakukannya melalui Dewan Keamanan. Persetan dengan Dewan Keamanan," kata Sa'doun mengutip ucapan Albright. (28/09/96 17:51)

Tidak ada komentar: