Rabu, 28 Mei 2008

SENTUHAN WANITA UNTUK WUJUDKAN PERDAMAIAN DI LIBERIA

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 26/8/96 (ANTARA) - Wanita pemimpin baru Liberia, meskipun menyatakan memiliki "sentuhan selembut beludru", takkan ragu mengambil sikap tegas guna mendorong para gembong perang, yang terdiri atas kaum pria, menuju perdamaian.

Perry (57), dipilih tanggal 17 Agustus oleh para kepala negara Afrika Barat, yang mengadakan pertemuan di Abuja, sebagai pemimpin dewan negara yang berkuasa di Liberia.

Cara bicara Perry dilaporkan tidak mencerminkan nada keras para wanita yang pernah menduduki tampuk tertinggi dalam pemerintahan, seperti Margaret Thatcher, Indira Gandhi atau Benazir Bhutto.

"... Namun jika tiba waktunya untuk bersikap tegas, saya dapat menjadi sekeras baja," demikian komentar Ruth Perry mengenai pemilihan dirinya oleh para pemimpin negara Afrika Barat kepada Reuter.

Meskipun begitu, ia mengakui sempat "keder" sewaktu terpilih tapi menyadari bahwa "Tuhan telah menentukan pilihan" dan ia akan terus memohon bimbingan-Nya.

Wilayah Afrika memang pernah memiliki sederet ratu pada masa pra-kolonial, tapi nyaris didominasi kaum pria sejak tahun 1960-an, saat kemerdekaan merebak.

Wanita pertama yang menjadi kepala pemerintahan di Afrika adalah Elisabeth Dominitien, perdana menteri Republik Afrika Tengah, antara Januari 1975 dan April 1976.

Burundi dan Rwanda, dua negara yang dilanda perang saudara, juga pernah memiliki wanita sebagai perdana menteri.

Agathe Uwilingiyimana dari Rwanda tewas dalam pembantaian suku bangsa tahun 1994 di negeri itu dan Sylvie Kinigi menjadi perdana menteri Burundi bulan Oktober 1993 tapi pemerintahnya terguling empat bulan kemudian.

Perang saudara di Liberia, yang didirikan oleh bekas budak pada 1847 dan menjadi republik paling tua di Afrika, telah menewaskan lebih dari 150.000 orang dan memaksa lebih separuh dari 2,6 juta penduduknya mengungsi ke negara-negara tetangga.

Perry hidup melewati pertempuran yang telah merusak jalan-jalan di ibukota negeri itu dan mengoyak keheningan hutannya sejak 1990.

Perry, yang menyatakan telah merasakan penderitaan rakyat Liberia karena ia juga mengalami semua musibah tersebut, bertugas sebagai senator selama kekuasaan pemimpin junta militer Samuel Doe, yang berakhir dengan tewasnya diktator itu oleh salah satu faksi yang berperang di Liberia tahun 1990.

Perry menggantikan pengajar universitas, Wilton Sankawulo, yang oleh sebagian anggota faksi yang bertikai dituduh mendukung gembong utama Charles Taylor dan tak mampu berbuat banyak untuk mengakhiri pertumpahan darah di Monrovia pada bulan April.

Karena merasa prihatin dengan kemampuan Dewan Negara, para kepala negara Afrika Barat merasa harus ada perubahan kepemimpinan agar peningkatan keefektivan dapat dicapai.

Dukungan

Untuk mengakhiri enam tahun perang saudara di Liberia, para kepala negara Afrika Barat pertengahan Agustus lalu menyetujui pengangkatan Perry dan rencana perdamaian yang diharapkan dapat membuahkan hasil.

Tak kurang dari selusin persetujuan perdamaian, "yang disebut-sebut sebagai kesempatan terakhir", gagal menyudahi perang saudara di Liberia.

Namun sekali ini, banyak pengulas dilaporkan optimistis bahwa persetujuan baru itu, yang juga berisi ancaman sanksi bepergian dari para pemimpin Afrika Barat jika gembong-gembong perang Liberia tak mau tunduk, dapat mencapai sasaran.

Dalam "upaya paling akhir" ini, para pemimpin Afrika Barat merancang rencana perdamaian dengan gembong-gembong perang Liberia, yang meliputi jadwal perlucutan sebanyak 60.000 anggota milisi dan penyelenggaraan pemilihan umum.

Rencana itu, yang berlandaskan pada persetujuan yang ditandatangani sekitar setahun lalu, dianggap sebagai kerangka paling tepat untuk memulihkan perdamaian di Liberia. Para gembong perang dilaporkan bersedia menerima rencana tersebut.

Rooselevelt Johnson, yang terlibat persaingan dengan Charles Taylor dan Alhaji Kromah, dilaporkan mengulurkan salam perdamaian kepada kedua musuhnya itu.

Tyalor dan Kromah, yang juga duduk dalam Dewan Negara, memerintahkan penangkapan Johnson tanggal 6 April, tindakan yang memicu perang antarfaksi dan penjarahan selama tujuh pekan setelah pengikut Johnson menentang perintah tersebut.

Sayap Krahn Gerakan Persatuan Pembebasan (ULIMO-J) yang dipimpin Johnson terlibat pertempuran melawan pengikut Taylor dan Kromah dalam sebagian besar pertempuran di Liberia, yang tercetus akibat pemberontakan Taylor Desember 1989 guna menentang Samuel Doe.

Johnson menyatakan "puas" dengan rencana perdamaian yang disusun oleh para pemimpin Afrika Barat itu. Sebelumnya, Taylor telah menyampaikan kesediaannya untuk mewujudkan perdamaian.

Taylor menyatakan bahwa ia sudah tidak menyediakan diri lagi bagi pertempuran dan akan memberi kesempatan pada rakyat menikmati perdamaian karena "para pemimpin faksi di Liberia tidak memiliki pilihan lain lagi".

Kesediaan Taylor dan Johnson itu bercampur dengan harapan para pemimpin Perhimpunan Ekonomi Negara Afrika Barat (ECOWAS) bahwa pemilihan umum, yang direncanakan berlangsung pada atau sekitar 30 Mei 1997 dan pengambilan sumpah pemerintah terpilih tanggal 15 Juni, akan mengakhiri perang saudara di Liberia.

Sebelum pemilihan umum, para pemimpin faksi tersebut berjanji akan melucuti pengikut mereka paling lambat 31 Januari 1997.

Perry juga menyambut baik kesediaan para gembong perang negerinya itu dan mengajak semua pihak, bukan hanya rakyat Liberia, agar tidak menghukum mereka karena ulah mereka pada masa lalu.

Tugas paling berat yang diemban wanita pemimpin Dewan Negara Liberia tersebut ialah apakah ia akan mampu bersikap netral dan tidak bias? (26/8/96 18:47)

Tidak ada komentar: