Senin, 05 Mei 2008

SETELAH EMPAT TAHUN, KUWAIT INGIN IRAK TETAP DIBERI SANKSI

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 2/8 (ANTARA) - Empat tahun setelah serbuan pasukan Irak, Kuwait masih dikuasai rasa sakit dan tak ingin PBB meringankan sanksi, sementara Irak tetap tidak memperlihatkan penyesalan walau ekonomi negerinya dihimpit beban berat.

Meskipun telah hampir tiga tahun menikmati kembali kemerdekaan negerinya, pemerintah Kuwait tetap melakukan lobi agar embargo PBB atas Baghdad terus berlaku.

Keemiran kecil yang kaya akan minyak itu, sebagaimana dikatakan anggota Komite Urusan Luar Negeri di Parlemen Kuwait, Nasser As-Sanaa, masih menganggap Irak memiliki kesempatan mendapatkan keringanan sanksi dagang.

Ia khawatir negara lain seperti China, Perancis dan Rusia --tiga dari lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB-- terus mendesak badan dunia tersebut untuk mengakui kerjasama Irak dalam masalah perlucutan senjata.

Pengakuan seperti itu tentu saja akan membuka jalan untuk meringankan sanksi-sanksi karena, menurut As-Sanaa, itu memberi kesempatan kepada Baghdad untuk "membuat lunak hati PBB".

PBB menjatuhkan sanksi atas Irak tak lama setelah serbuan pasukannya ke Kuwait pada 2 Agustus 1990, yang telah membuat ekonomi negeri tersebut menjadi "morat-marit".

Pasukan Irak dihalau pulang oleh pasukan Multinasional yang dipimpin AS sekitar tujuh bulan kemudian, dan PBB menjatuhkan sanksi gencatan senjata berat atas Baghdad, termasuk pemusnahan semua senjata penghancur massalnya.

Dalam kajian paling akhirnya, 18 Juli lalu, Dewan Keamanan PBB, tanpa mempertimbangkan kemajuan dalam perlucutan senjata Irak, menambah masa berlakunya sanksi- sanksi tersebut selama 60 hari lagi.

Irak berpendapat pihaknya telah mematuhi semua syarat yang ditetapkan dalam Resolusi Nomor 687 Dewan Keamanan PBB bagi diizinkannya kembali ekspor minyak negara tersebut, setelah Baghdad pada November lalu menyetujui pengawasan senjata jangka panjang.

Sehari setelah keputusan PBB pada Juli itu, Rusia menyeru badan dunia tersebut agar menanggapi kerjasama yang selama ini diperlihatkan Irak, dan meminta diadakannya pembahasan bagi pencabutan embargo ekspor minyak atas pemerintah Baghdad.

Tidak menyesal

Sekarang setelah empat tahun dihimpit embargo dan menghadapi risiko jatuhnya pemerintahan Presiden Saddam Hussein, Irak, sebagaimana dilaporkan kantor beritanya (INA), berpendapat serbuan ke Kuwait tidak melanggar hukum.

Menurut pemerintah Baghdad, keemiran tersebut menggunakan minyak sebagai senjata untuk menghancurkan ekonomi Baghdad.

Ketika itu, katanya, Kuwait membanjiri pasar minyak internasional sehingga harga merosot, sedangkan pada saat yang sama Irak sedang berusaha memulihkan ekonominya setelah delapan tahun terlibat perang melawan Iran.

Kuwait, katanya, juga mencuri minyak dari ladang minyak di perbatasan kedua negara tersebut dengan nilai tak kurang dari 2,4 miliar dolar AS.

Kini, sekalipun menghadapi beban yang semakin berat, pemerintah Baghdad masih merasa yakin akan mampu mengatasi semua kesulitannya, dan beranggapan ekonomi negerinya takkan ambruk.

Akibat semua embargo PBB, dilaporkan banyak mobil "lumpuh" karena suku cadang hanya dapat diperoleh lewat penyelundupan, atau izin khusus PBB, dan negara tersebut menghadapi kekurangan air kendati diapit oleh dua sungai -- Tigris dan Eufrat.

Nilai mata uang Irak juga dilaporkan merosot tajam. Dinar Irak, yang sebelum serbuan pasukannya ke Kuwait bernilai lebih dari tiga dolar AS, sekarang menjadi 500 dinar untuk satu dolar AS.

Demi kepentingan sendiri?

Namun semua kesulitan ekonomi serta kerjasama yang diperlihatkan Irak sejalan dengan resolusi PBB dan dukungan Rusia tampaknya belum memenuhi syarat karena PBB tetap memperpanjang pemberlakuan sanksi-sanksi.

Menurut Deputi Perdana Menteri Irak Tareq Aziz awal Juli, Washington --dengan dukungan London-- mempertahankan semua sanksi demi kepentingannya sendiri di Kuwait, dan Arab Saudi.

Seorang anggota parlemen Kuwait dilaporkan berkata Kuwait telah mendapat jaminan dari Inggris dan AS bahwa takkan ada perubahan sampai Irak mengakui kedaulatan Kuwait dan semua garis perbatasannya.

Baghdad sampai saat ini tak mau menerima baik garis demarkasi yang ditetapkan komite khusus PBB.

Irak, yang sebenarnya memiliki kekayaan minyak tidak kalah dari Kuwait, diakui anggota parlemen Kuwait itu memiliki daya tarik lebih besar bagi negara-negara yang ingin memperoleh kontrak menguntungkan dibandingkan dengan yang ada di Kuwait sendiri.

Kuwait juga tak bisa menghilangkan kekhawatiran bahwa ekonomi Irak akan dapat cepat pulih jika embargo PBB dicabut, sedangkan dukungan bagi pemberlakuan semua sanksi saat ini dipandang hanya diperoleh dari Inggris dan AS.

Itu lah sebabnya mengapa Kuwait, dalam upayanya menghambat kejadian tersebut, menghendaki semua sanksi tetap diberlakukan atas Irak.

Yang menjadi pertanyaan sekarang berapa lama sanksi atas Irak akan dapat dipertahankan? (02/08/94 12:40)

Tidak ada komentar: