Selasa, 13 Mei 2008

SINAR PERDAMAIAN MASIH SURAM DI PALESTINA

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 11/12 (ANTARA) - Kekhawatiran Palestina saat Benjamin Netanyahu menjadi perdana menteri Israel bulan Juni tak berlebihan, sebab tokoh garis keras Partai Likud itu memadamkan kembali cahaya perdamaian --yang sempat bersinar.

Sejak Netanyahu mengalahkan arsitek perdamaian Palestina-Israel, Shimon Peres dari Partai Buruh, dalam pemilihan umum bulan Mei, rakyat Palestina harus menelan kepahitan demi kepahitan dan dilanda arus kekecewaan.

Sekarang meskipun pengayomnya, Amerika Serikat, berusaha menciptakan terobosan dalam jalur perundingan Palestina-Israel, konflik antara kedua pihak itu berlanjut dan tak terlihat tanda akan segera berakhir.

Sikap tak kenal kompromi Netanyahu sungguh menjadi cermin pendirian ekstrim kaum agama Yahudi. Selama kampanye pemilihan umum ia melambungkan pernyataan-pernyataan tak ada negara Palestina, tak ada konsesi soal Jerusalem Timur, dan tak ada konsesi mengenai Dataran Tinggi Golan.

Tokoh sayap kanan Yahudi tersebut, yang sama sekali tidak menyebut nama Presiden Palestina Yasser Arafat ketika ia menyampaikan pidato pertamanya, membuat makin macet perundingan mengenai penarikan tentara Israel dari Al-Khalil di Tepi Barat --yang telah lama tertunda.

Ia juga, tanpa peduli betapa marahnya pihak Palestina dan dunia Arab, mencabut pembekuan empat tahun perluasan permukiman Yahudi di wilayah-wilayah pendudukan.

Pemerintah sayap kanan yang dipimpinnya bermaksud melipatgandakan jumlah pemukim Yahudi di wilayah Palestina.

Akan tetapi tindakannya tersebut tampaknya sejalan dengan prinsip pendirian negara Yahudi melalui pembersihan etnis.

Pemerintah Israel bulan September juga benar-benar memancing kegeraman bangsa Arab dan juga umat Islam di seluruh dunia, karena mengizinkan pembukaan kembali terowongan arkeologi di bawah Masjid Al-Aqsha --tempat suci ketiga umat Islam setelah Makkah dan Madinah.

Israel berkilah terowongan tersebut dibuat untuk menggali kuil kuno Yahudi di bawah Masjid Al-Aqsha.

Tetapi tindakan pemerintah Yahudi itu memicu kerusuhan dan bentrokan yang bahkan melibatkan polisi Palestina dengan tentara Israel.

Tindakan pemerintah Netanyahu tersebut menjadi "gong" bagi rakyat Palestina untuk mengumbar kekecewaan yang telah dalam tertanam dalam diri mereka.

Presiden AS Bill Clinton "berusaha meredakan ketegangan" dan tanggal 1 Oktober mengundang Arafat, Netanyahu, dan Raja Jordania Hussein ke pertemuan puncak di Washington.

Presiden Mesir Hosni Mubarak memboikot pertemuan itu dan tindakan tersebut terbukti memiliki alasan.

Setelah dua hari pembicaraan intensif, tak ada hasil nyata dari pertemuan itu.

Para pemimpin Israel dan Palestina sepakat untuk melanjutkan perundingan dan tim kedua pihak itu masih "berkutat" melakukan pembahasan.

Namun lagi-lagi tak ada hasil yang dicapai, apakah itu penarikan dari Al-Khalil atau penghentian peluasan permukiman Yahudi.

Kekecewaan lain yang melanda rakyat Palestina ialah demikian mudahnya pemerintah Yahudi melarang orang Palestina bekerja di Israel.

Setiap kali terjadi pergolakan atau serangan bunuh diri, pemerintah Israel selalu menutup wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza dan melarang puluhan ribu orang Palestina bekerja di Israel.

Kejadian semacam itu bukan hanya merongrong ekonomi rakyat Palestina, tapi juga Pemerintah Otonomi di bawah Yasser Arafat, yang seringkali dilanda krisis ekonomi karena sampai sekarang masih "hidup dari bantuan asing".

Israel berkhianat?

Untuk menanggapi sikap pemerintah Yahudi tersebut, para utusan negara Islam yang bertemu di Jakarta 9-13 Desember menuding Israel mengkhianati persetujuan perdamaian Timur Tengah dengan Palestina.

Benarkah Israel berkhianat? Netanyahu berpendapat lain. Ia -- sebagaimana dilaporkan kantor-kantor berita transnasional -- pernah menyatakan bahwa "persetujuan itu dicapai pemerintah Partai Buruh dan bukan oleh pemerintahnya!"

Ia selama kampanye pemilihan umum juga menyatakan bahwa keamanan rakyat Yahudi lebih penting dibandingkan dengan proses perdamaian -- masalah yang membuatnya menjadi manusia yang dihantui fobi mengenai keamanan tanpa perduli pada perdamaian.

Itu sebabnya mengapa ia tak pernah mengindahkan semua persetujuan tersebut dan bahkan ingin membuat perubahan, terutama mengenai Al-Khalil.

Netanyahu ingin "meningkatkan pengamanan buat 400 orang Yahudi yang tinggal dan belajar di antara 120.000 orang Palestina di Al-Khalil".

Berdasarkan persetujuan otonomi dengan Palestina, Israel mestinya telah lebih enam bulan lalu menarik tentaranya dari lebih 80 persen wilayah kota tempat makam para nabi itu.

Tetapi mendiang perdana menteri Yitzhak Rabin menunda penarikan setelah terjadi gelombang serangan bunuh diri yang menewaskan 59 orang Yahudi di Israel.

Kini Netanyahu "bersilat lidah" dan ingin mengubah persetujuan yang pernah dicapai oleh Israel dan Palestina.

Namun para menteri luar negeri Organisasi Konferensi Islam (OIC) menyatakan, persetujuan antara Palestina dan Israel tak dapat diubah dan harus dihormati.

Menteri Luar Negeri Suriah Farouq Ash-Shara bahkan menuduh pemerintah Netanyahu menghapus "rencana perdamaian dari rencana aksinya".

Sekretaris Jenderal OIC Hamid AlGabid berpendapat, di Timur Tengah lah tempat paling rentan bagi perdamaian dunia Islam, karena sikap "kepala batu" pemerintah sayap kanan Israel.

OIC -- yang mendukung proses perdamaian tersebut dan prinsip-prinsip yang mendasarinya -- katanya, telah berulangkali menyatakan bahwa perdamaian tak dapat dipecah-pecah atau dipilah-pilah.

Takkan ada manfaatnya untuk berpura-pura mengupayakan perdamaian, keamanan, dan kerjasama sedangkan pada saat yang sama Israel melanjutkan perluasan permukiman Yahudi serta me-Yahudi-kan semua wilayah pendudukan.

"Orang tak dapat berbicara mengenai perdamaian yang tulus, selama Al-Quds Ash-Sharif (Jerusalem), Libanon Selatan, dan Dataran Tinggi Golan tetap berada di bawah pendudukan," katanya.

Ia berpendapat bahwa pembangunan prasarana budaya dan sosial-ekonomi dapat menjadi landasan bagi terwujudnya perdamaian di wilayah Palestina.

Akan tetapi keinginan sekretaris jenderal OIC tersebut tampaknya akan tetap mengapung di udara selama Israel tetap menganggap Tepi Barat sebagai Judea dan Samaria -- tanah yang dijanjikan Tuhan kepada umat Nabi Musa A.S. dalam Perjanjian Lama. (11/12/96 17:04)

Tidak ada komentar: