Rabu, 14 Mei 2008

TEKANAN MAKIN BESAR ATAS MOBUTU UNTUK HADAPI KRISIS

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 10/11 (ANTARA) - Presiden Zaire Mobutu Sese Seko, yang sedang menjalani perawatan setelah operasi prostat di Swiss, Agustus lalu, menghadapi tekanan makin besar agar kembali ke negerinya dan menangani krisis.

Mobutu dilaporkan Reuter, Sabtu (9/11) mengatakan akan pulang ke Zaire "dalam beberapa pekan" setelah dokter yang merawatnya menyatakan ia mulai pulih.

Ia juga menyatakan menerima baik gagasan penempatan pasukan internasional guna membantu pengiriman bantuan buat pengungsi di Zaire Timur.

Pada hari yang sama Dewan Keamanan PBB diberitakan AFP menyusun dasar bagi pengiriman pasukan multinasional guna melindungi pengungsi di bagian timur Zaire, tapi pengesahannya tertunda karena menunggu usul Perancis.

PBB merencanakan untuk mengirim pasukan bekekuatan 4.000-5.000 personil untuk melindungi pengungsi yang diberitakan menghadapi ancaman kematian akibat kekurangan air.

Sebelumnya Presiden Perancis Jacques Chirac menyatakan bahwa Mobutu adalah orang yang paling tepat untuk mewakili negerinya dan mencari penyelesaian politik bagi kemelut di Zaire.

Bencana kemanusiaan terus membayangi Zaire setelah meletus pertempuran antara pemberontak Tutsi Banyamulenge dan pasukan pemerintah.

Mobutu, yang telah menuduh tetangga Zaire --Rwanda-- ikut bertanggung jawab atas kerusuhan di negerinya, juga diberitakan telah mengadakan kontak dengan pejabat-pejabat negerinya mengenai keadaan di dua provinsi Kivu --tempat pertempuran berkecamuk paling sengit.

Banyak kalangan berpendapat jika Mobutu segera kembali ke Zaire, ia masih akan dapat menyelamatkan negerinya dari perpecahan.

Pemberontak Tutsi yang telah merebut sebagian besar wilayah Zaire Timur berusaha mendirikan pemerintah sendiri di tiga kota utama yang didudukinya.

Ketidakhadiran Mobutu di Zaire tampaknya membuat pemerintah dan militer terpecah.

Kepala Staf Militer Zaire Jenderal Eluki Monga Aundu telah menuduh Perdana Menteri Kengo wa Dondo tidak memberi dukungan memadai kepada militer dalam menghadapi pemberontak.

Militer Zaire, yang kurang memiliki kemampuan tempur dan disiplin serta senjata, tampaknya menghadapi kesulitan dalam menanggulangi gempuran pemberontak Tutsi dan menghadapi pukulan keras di bagian timur negeri tersebut.

Ketidakhadiran Mobutu di negerinya juga membuat kecewa Perancis, yang melancarkan Operasi Turquoise --misi kemanusiaan yang dilancarkan Perancis selama pembantaian suku bangsa di Rwanda pada 1994.

Perancis kini berharap kepulangan Mobutu akan memungkinkan dinas-dinas bantuan menolong para pengungsi di Zaire.

Sebanyak 1,2 juta pengungsi terdampar di Zaire Timur, wilayah miskin yang menjadi ajang pertempuran, sementara bantuan tak dapat dikirim.

Tingkatkan harapan

Kepulangan Mobutu diduga akan meningkatkan harapan bagi pemulihan stabilitas, yang rusak akibat pertempuran dan kerusuhan di Zaire.

Jurubicara Mobutu, sebagaimana dikutip Reuter, mengatakan, "Kepulangan (Mobutu) ini pada saat bagian negeri ini diduduki pasukan Rwanda, Burundi dan Uganda dengan bantuan rekan-rekannya ... dapat dipastikan akan mengubah keadaan baik di bidang militer maupun politik."

Mobutu, yang diyakini memiliki kharisma, diharapkan akan dapat memotivasi militernya, yang mengalami kemunduran moril.

Namun harapan itu tampaknya menghadapi hambatan karena Mobutu dianggap tak mampu berperan sebagai panglima militer dan bukan presiden yang tanggap.

Kelemahan Mobutu selama memerintah ialah ia tidak memerintahkan pembuatan jalan yang dapat menghubungkan setiap wilayah Zaire.

Meskipun demikian Mobutu masih dianggap sebagai diplomat yang cakap dan memiliki otoritas untuk mencapai persetujuan serta kompromi dengan musuh-musuhnya dengan cara yang tak dapat dilakukan diplomat lain Zaire.

Mobutu pernah menjadi pelindung bagi lebih dari satu juta orang Hutu yang menyelamatkan diri dari Rwanda ke Zaire ketika suku Tutsi merebut kekuasaan setelah pembantaian tahun 1994.

Campurtangan Mobutu juga telah menghentikan pengusiran suku Hutu oleh pemerintahan Kengo pada Agustus 1995, ketika militer Zaire berhasil mengusir 15.000 pengungsi kendati menghadapi akibat berupa kecaman masyarakat internasional.

Kehadiran suku Hutu di wilayah tempat tinggal suku Tutsi di pegunungan Mulenge sejak akhir Abad Ke-18 menjadi pangkal konflik di Zaire Timur.

Menurut Zaire, suku Tutsi Banyamulenge menjadi wali bagi militer Rwanda --yang didominasi suku Tutsi dan dituduh Zaire terlibat dalam pertempuran di bagian timur negeirnya.

Meskipun pemerintahnya menghadapi tudingan korupsi, Mobutu, yang memangku jabatan setelah kudeta di 1965, tetap menjadi tumpuan bagi pemulihan keadaan di Zaire.

Mobutu diharapkan akan dapat menyatukan militer, yang terpecah dan mengalami "kedodoran moril", sehingga akan dapat menghadapi pemberontak, selain menanggulangi "kaum agresor". (10/11/96 11:20)

Tidak ada komentar: