Rabu, 14 Mei 2008

TIPIS HARAPAN ARAFAT CAPAI PERSETUJUAN DENGAN NETANYAHU

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 2/10 (ANTARA) - Para pemimpin Palestina, Jordania, Israel dan AS boleh-boleh saja bertemu guna mengakhiri pertumpahan darah di wilayah otonomi Palestina, tapi harapan bagi tercapainya terobosan tampaknya tipis.

Duta Besar Palestina di Jakarta Ribhi Y. Awad, ketika mengomentari konferensi tingkat tinggi di Washington, menyatakan kecewa dan sedih dengan sikap AS karena Washington tak mau memberi suara bagi resolusi Dewan Keamanan PBB.

Konferensi tingkat tinggi antara Presiden Palestina Yasser Arafat, Raja Jordania Hussein, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dengan Presiden AS Bill Clinton sebagai tuan rumah diadakan hari Selasa dan Rabu di Washington.

Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan resolusi untuk meminta Israel menutup kembali terowongan yang dibuka pemerintah sayap kanan Israel akhir September.

Tindakan Israel mengizinkan pembukaan penggalian terowongan di bawah kompleks masjid Al-Aqsha telah memicu kerusuhan sehingga menewaskan lebih dari 80 orang Palestina.

Sikap AS tersebut dinilai Awad berdampak negatif bagi Amerika sendiri atas perannya sebagai penaja dan penengah "yang adil dalam proses perdamaian Timur Tengah".

AS harus berani menentang tindakan-tindakan Israel "jika ingin berperan sebagai polisi yang memiliki wewenang absolut di dunia".

Kekecewaan terhadap sikap AS tampaknya juga diperlihatkan Presiden Mesir Hosni Mubarak, yang menolak untuk menghadiri konferensi tersebut dan "hanya" mengirim Menteri Luar Negeri nya Amr Mussa.

Seorang pejabat senior Liga Arab, sebagaimana dikutip AFP, menyatakan Mubarak "ingin menyelenggarakan pertemuan di Kairo guna mengembalikan proses perdamaian Timur Tengah ke jalurnya dan mewujudkan persetujuan dalam banyak masalah rumit".

Mubarak dilaporkan berpendapat konferensi di Washington hanya akan menjadi "pameran terhadap media, pesta petasan tanpa masa depan yang cerah".

Menurut Mubarak, jika Clinton tak mau mengambil keputusan berani, proses perdamaian dan persetujuan Oslo akan mati dan terkubur bulan November ini.

Mubarak dilaporkan menyadari keadaan dan memahami pola berfikir Netanyahu, yang menjadi sebab ia keberatan menghadiri konferensi Washington.

Selama tak ada komitmen, janji, kesediaan atau i'tikad baik dari pemerintah garis keras Israel, Tepi Barat dan Jalur Gaza akan menjadi ajang segala macam aksi kerusuhan bentrokan dan ketidakstabilan.

Tak ada penyelamatan?

Pada saat yang sama bekas perdana menteri Israel yang juga dari sayap kanan Yitzhak Shamir berpendapat ia tidak melihat "adanya proses perdamaian yang sesungguhnya".

Semua tuntutan Arafat, menurut dia, sama sekali bertentangan dengan sikap Netanyahu.

Persetujuan yang dicapai Arafat dan pendahulunya, mendiang perdana menteri Yitzhak Rabin, selama tahap awal proses perdamaian "bukan lah persetujuan antar-negara", kata Shamir sebagaimana dilaporkan AFP.

Shamir, yang juga dari Partai Likud, menyatakan tak dapat menerima persetujuan tersebut, karena "semua itu bukan cara untuk mengatasi masalah sesungguhnya yang dihadapi bangsanya".

Ia juga berpendapat bukan tugas Israel untuk mendirikan negara Palestina. Di Timur Tengah ada lebih dari 20 negara merdeka, dan "jika orang Palestina ignin tinggal di satu negara Arab, silahkan saja!", katanya.

Namun, menurut dia, bagi rakyat Yahudi, hanya ada satu "negara liliput" tempat mereka tinggal sekarang.

Shamir, seperti juga banyak tokoh ekstrim Yahudi, tetap menganggap wilayah Palestina yang dikangkangi Israel sejak tahun 1948 dan kemudian diperluas tahun 1967 sebagai "tanah yang dijanjikan buat umat Israel".

Sikap Shamir juga tampaknya tak jauh berbeda dengan Netanyahu, yang sejak kampanye pemilihan umum di Israel tahun ini, telah menyuarakan pendirian tak kenal kompromi.

Sampai sekarang jurang pemisah masih lebar menganga antara Palestina dan Israel, "dua sepupu yang sama-sama berhulu pada Nabi Ibrahim A.S. tapi tak pernah akur".

Paling tidak sampai sekarang ada enam masalah yang belum disepakati antara kedua pihak tersebut.

Pertama adalah masalah Al-Khalil. Netanyahu ingin merundingkan kembali persetujuan yang ditandatangani pendahulunya Shimon Peres dari Partai Buruh, tapi bukan penerapan --penempatan kembali tentara Israel dari kota makam para nabi itu.

Netanyahu menghendaki "penyesuaian" persetujuan tersebut guna "meningkatkan keamanan bagi 450 orang Yahudi" di tengah 120.000 orang Palestina.

Penempatan kembali tentara Israel dari empat per lima wilayah Al-Khalil mestinya dilaksanakan Maret tahun ini.

Arafat menyetujui pembahasan perubahan kecil tapi pada dasarnya menolak untuk merundingkan kembali persetujuan Al-Khalil.

Kedua ialah masalah perundingan. Netanyahu telah mengusulkan perundingan "non-stop" dengan Palestina dan pada saat yang sama menuntut bahwa perundingan tersebut diadakan "tanpa prasyarat".

Sementara itu, Arafat menghendaki komitmen perdana menteri Israel tersebut bagi pelaksanaan persetujuan yang telah disepakati.

Ketiga ialah masalah Jerusalem. Sejak kampanye pemilihan umum tahun ini, Netanyahu telah menolak pembahasan masalah Jerusalem, pemulangan sebanyak empat juta pengungsi Palestina dan berdirinya negara Palestina.

Netanyahu bahkan telah memperluas permukiman Yahudi di wilayah Jerusalem Timur, yang diingini Palestina sebagai ibukota negara Palestina merdeka.

Keempat adalah bandar udara. Netanyahu menuduh Palestina menghentikan perundingan pekan lalu akibat pembukaan terowongan di bawah kompleks masjid Al-Aqsha.

Namun Arafat menghendaki perundingan masalah-masalah yang belum terselesaikan dalam persetujuan otonomi, terutama pengoperasian bandar udara yang dibangun di Jalur Gaza.

Kelima adalah terowongan. Arafat menuntut terowongan itu ditutup agar Israel dapat memperbaiki kesalahan terhadap tempat suci umat Islam di Jerusalem.

Akan tetapi Netanyahu tak mau membahas masalah tersebut dan menganggap penutupan kembali terowongan tersebut sebagai "tindakan menyerah pada kerusuhan".

Keenam ialah kerusuhan. Netanyahu mengingini "penghentian total dan segera semua kerusuhan, yang menurut dia adalah "tanggung jawab polisi Palestina, yang katanya melepaskan tembakan lebih dulu".

Tetapi Arafat membantah tudingan tanggung jawab itu dan menyatakan militer Israel lah yang melepaskan tembakan lebih dulu".

Makin rusuh

Sementara itu, AFP melaporkan bahwa rakyat Palestina telah memetik pelajaran dan tak perlu terlalu mengharapkan terobosan yang membesarkan hati.

Amerika Serikat sendiri, yang bersama Rusia menjadi penaja proses perdamaian Timur Tengah, tampaknya tidak menaruh optimisme terhadap hasil konferensi saat ini.

Seorang pejabat tinggi Palestina juga dilaporkan "sangat pesimistis" bahwa konferensi tersebut akan memberi hasil yang memuaskan.

Namun kekhawatiran terbesar ialah jika konferensi Washington itu benar-benar tidak menghasilkan sesuatu yang dapat memuaskan kedua pihak dalam kerusuhan di Tepi Barat dan Jalur Gaza, kerusuhan akan bertambah sengit.

Hosni Mubarak telah memperingatkan jika konferensi di AS tidak memberi hasil bagi rakyat Palestina, bencana akan terjadi.

Sebelumnya telah merebak spekulasi bahwa intifada, yang dihentikan PLO tahun 1980-an, akan kembali ke daerah Palestina kalau proses perdamaian tetap macet atau bahkan tergelincir dari jalurnya. (02/10/96 17:05)

Tidak ada komentar: