Rabu, 28 Mei 2008

UJIAN PERTAMA NETANYAHU DI AL-KHALIL

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 21/8/96 (ANTARA) - Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menghadapi ujian pertama di Al-Khalil, kota kecil yang memiliki nilai cukup penting setelah Jerusalem dan menjadi batu sandungan dalam penerapan Persetujuan Oslo antara Palestina dan bekas pemerintah Partai Buruh.

Israel tanggal 20 Agustus 1996 menyatakan, negara itu takkan memindahkan pasukannya dari Al-Khalil di Tepi Barat Sungai Jordan sebelum Pemerintah Otonomi Palestina menutup kantor-kantornya di Jerusalem.

Berdasarkan persetujuan otonomi tahun 1995, Israel --di bawah pemerintah Partai Buruh-- setuju untuk memindahkan pasukan dari empat per lima bagian kota kecil tempat makam para Nabi itu sebelum akhir bulan Maret, dan menyisakan sebagian kecil tentaranya untuk menjaga keamanan sebanyak 450 orang Yahudi di kota tersebut.

Namun, bekas pemerintah Partai Buruh menangguhkan pemindahan itu setelah terjadinya serangkaian pemboman bunuh diri oleh kelompok garis keras Palestina di Israel, dan Netanyahu --pengganti bekas perdana menteri Shimon Peres-- makin menunda tindakan tersebut.

Bulan Februari 1994 seorang pengikut aliran ekstrim Kahane, Dr Baruch Goldstein, membantai lebih 50 orang Palestina yang sedang shalat Subuh --kejadian yang mengguncang proses perdamaian saat itu dan menjadikan Al-Khalil sebagai batu sandungan bagi pemindahan tentara Israel dari 80 persen kota tersebut.

Israel bersikeras mempertahankan kehadiran tentaranya untuk melindungi 450 orang Yahudi, yang dipersenjatai pemerintah, di tengah 120.000 orang Palestina.

Sekarang, menurut AFP, Netanyahu pertengahan bulan Agustus 1996 memperingatkan bahwa penyelesaian masalah Al-Khalil dengan Palestina harus "menjamin keselamatan pemukim Yahudi" di kota tersebut.

Ada dua masalah berkaitan dengan Al-Khalil, menurut Netanyahu. Pertama, pemerintah Israel harus menerapkan persetujuan, yang belakangan disebutnya "bukan persetujuan kami", dengan Palestina. Kedua, katanya, ia memahami betapa rumitnya masalah keamanan di Al-Khalil.

Pencapaian persetujuan yang "tak stabil dan tidak menjamin keamanan (pemukim Yahudi) dapat mengakibatkan tragedi yang bukan hanya akan melanda keselamatan orang Yahudi dan Arab di Al-Khalil", tapi juga dapat merusak proses perdamaian.

Ajukan syarat

"Guna melaksanakan komitmennya", Menteri Pertahanan Israel Yotzhak Mordechai mengajukan usul yang bernada sebagai "syarat" bagi penempatan kembali militer Israel dari Al-Khalil.

Mordechai "mengajukan usul" bahwa militer Israel akan tetap beroperasi di daerah permukiman Palestina dan mempertahankan kekuasaan atas keamanan di daerah permukiman campuran Palestina-Yahudi.

Menteri Perhubungan Israel Limor Livnat dilaporkan memiliki pendapat lebih keras dibandingkan Mordechai; militer seharusnya tidak dipindahkan dari Al-Khalil.

Ia bahkan mengancam akan memveto jika pemerintah paling sayap kanan Israel melanjutkan kebijakan pemerintah terdahulu.

Sementara itu pihak Palestina menyampaikan reaksi keras terhadap rencana Mordechai, dan menyatakan "usul tersebut" tidak sesuai dengan Persetujuan Oslo, yang ditandangani bulan September 1993 di Washington.

Palestina menuduh pemerintah garis keras Israel bermaksud menghancurkan proses perdamaian.

Di Kairo, Reuter memberitakan PLO juga menampik dikaitkannya masalah pemindahan tentara Israel dari Al-Khalil dengan penghentian kegiatan PLO di Jerusalem Timur, yang direbut Israel tahun 1967 dan kemudian dicaploknya.

Israel juga tak mau berkompromi mengenai masalah Jerusalem, yang dianggapnya sebagai ibukota utuh Israel sementara Palestina mengingini kota suci tiga agama langit itu sebagai ibukota negara mendatang Palestina.

Sekretaris Komite Eksekutif PLO Mahmoud Abbas, yang juga dikenal sebagai Abu Mazen, menuduh Israel membuat keadaan jadi mundur.

Pemimpin Palestina Yasser Arafat dilaporkan dari Jalur Gaza mendesak Israel agar mundur dari Al-Khalil karena konsekuensi yang timbul akibat tak-dihormatinya apa yang telah disepakati akan sangat buruk, baik bagi orang Yahudi maupun Palestina.

Arafat menyatakan, pihaknya menerima penundaan tanggal 12 Juni karena masa kampanye bagi pemilihan umum di Israel, tapi sampai sekarang tak pernah ada pemindahan tentara Israel.

Ia mempertanyakan, mengapa Israel menunda pemindahan tersebut?

Pada saat yang sama pemukim Yahudi diberitakan mengancam akan melakukan pemogokan dan pembangkangan kalau Tel Aviv tidak mencabut rencana untuk memindahkan tentara dari Al-Khalil.

Mereka menghendaki kota tersebut tempat makam Nabi Ibrahim A.S., cikal bakal bangsa Yahudi dan Palestina, tetap berada dalam kekuasaan tunggal Israel.

Rumitnya masalah pemindahan tentara dari Al-Khalil, menurut seorang tokoh partai sayap kanan-tengah Yahudi, dapat menghancurkan koalisi pemerintah Israel saat ini.

Ia menuntut Netanyahu, agar berpegang pada persetujuan yang mereka capai sebelum pemilihan umum dengan pemimpin Partai Likud itu, dan mengancam akan menarik Partai Tsomet-nya jika Netanyahu memindahkan tentara dari Al-Khalil.

Al-Khalil, tempat makam para nabi, menyimpan kenangan pahit bagi rakyat Palestina dan Yahudi dan menjadi ujian pertama bagi komitmen Netanyahu guna merintis jalan menuju perdamaian dengan Palestina. (21/5/08 21:14)

Tidak ada komentar: