Rabu, 14 Mei 2008

ZAIRE KIAN DIBAYANGI ANCAMAN PERPECAHAN ETNIK

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 28/10 (ANTARA) - Setelah dua tetangganya yang memiliki susunan etnik serupa --Rwanda dan Burundi-- lebih dulu menjalani perpecahan, kini giliran Zaire dikhawatirkan terjerumus ke dalam kancah perpecahan setelah beberapa kali dilanda pergolakan.

Suku Tutsi Banyamulenge, "anak suku" Tutsi yang berasal dari Rwanda dan telah menetap selama beberapa dasawarsa di bagian timur Zaire, dilaporkan AFP telah mengobarkan perang saudara yang mengancam persatuan negeri itu.

Suku tersebut merencanakan untuk menaklukkan provinsi Kivu Selatan dan bergabung dengan pemberontak lain di Kivu Utara dalam "perjalanan untuk menggulingkan Presiden Mobutu Sese Seko".

Pertempuran antara suku Tutsi Banyamulenge dan militer Zaire meletus setelah serangan pada 18 Oktober terhadap satu pabrik gula di dekat kota bernama Uvira.

Kaum pemberontak itu, yang berasal dari 300.000 anggota masyarakat Banyamulenge -- suku Tutsi Rwanda yang beremigrasi ke Zaire sekitar 200 tahun lalu, menuduh pemerintah Zaire tidak memberi mereka kewarganegaraan dan memaksa mereka meninggalkan negeri tersebut.

Seorang jurubicara suku Tutsi Banyamulenge menyatakan bahwa kelompoknya Aliansi Demokratik Rakyat (ADP), faksi Banyamulenge yang tak terkenal, telah beraliansi dengan pihak-pihak oposisi Zaire.

Di Zaire, yang sampai 1991 bernama Kongo, dilaporkan terdapat tak kurang dari 450 partai politik.

Namun ini tak satu partai pun, sekalipun yang paling radikal, pernah mengangkat rasa kesukuan sebagai pemicu kerusuhan di negeri tersebut.

Kerusuhan saat ini mencuatkan kemungkinan bahwa kemungkinan terjadinya perpecahan sangat besar di negara itu yang terdiri atas lebih dari 200 kelompok etnik dan 400 suku yang berbicara dengan lebih dari 500 dialek berbeda.

Karena itu, menurut AFP, secara geografis masalah etnik menjadi persoalan utama di Zaire saat terjadi pengangkatan anggota pemerintah atau pelaku kegiatan usaha negara.

Jabatan portofolio dan jabatan tinggi usaha "dibagi secara rata kepada kelompok politik", baik kepada kelompok opoisi maupun pro-Mobutu.

Terpecah

Meskipun demikian, kelompok etnik besar diberitakan terpecah menjadi suku-suku yang acapkali terlibat dalam pertumpahan darah karena masalah sengketa tanah, urusan lahan ataupun keluarga.

Di sebagian wilayah Zaire, penduduk desa --yang hanya terpisah sekitar 50 kilometer-- berbicara dengan dialek berbeda dan tak dapat saling memahami.

Karena masalah semacam itu lah, perpecahan dan pemberontakan seringkali mencuat ke permukaan walaupun negeri tersebut telah merdeka dari Belgia sejak 1960.

Upaya separatis pernah terjadi di provinsi Katanga, tempat pemberontakan kedua terjadi di 1978.

Pada 1964 dan 1965, negeri itu dilaporkan porakporanda akibat pemberontakan yang menewaskan sedikitnya 500.000 orang.

Pemberontakan tersebut mulanya bertujuan menentang pemerintah pusat oleh kelompok-kelompok komunis yang dipimpin oleh orang-orang seperti Christophe Gbenye, Joseph Mulelle, Albert Kalondji dan Antoine Gisenga.

Kelompok itu bernaung di bawah panji Gerakan Nasional Kongo (MNC), yang menurut para pentolan tersebut adalah pewaris Patrice Lumumba, yang meninggal pada 1961.

Gerakan itu sudah lama pecah dan Gbenye serta Gisenge, setelah dijatuhi hukuman mati, mendapat pengampunan pada 1995.

Kini kedua orang tersebut menjadi penasehat republik dan anggota parlemen peralihan tapi tetap berusaha menghidupkan warisan politik Lumumba.

Semua partai politik di Zaire, termasuk kelompok musuh bebuyutan Mobutu --Etienne Tshisekedi, menyampaikan "satu suara ingin mempertahankan integritas wilayah Zaire".

Berbagai politik itu tak mau menerima gagasan untuk memperburuk pertikaian di kalangan rakyat Zaire.

Namun mereka juga mendesak bahwa ratusan ribu pengungsi Rwanda, baik dari suku Hutu maupun Tutsi, harus pulang setelah lebih dari dua tahun pertumpahan darah di 1994 --setelah terbunuhnya presiden Rwanda Juvenal Habyarimana.

Tetangga lain Zaire, Burundi, juga mengalami kejadian serupa sekitar dua bulan lalu, setelah militer di bawah pimpinan Mayor Pierre Buyoya merebut kekuasaan.

Ancaman bencana

Kejadian di Zaire tersebut menimbulkan kekhawatiran para petugas bantuan internasional bahwa negeri itu akan terjemurus makin dalam ke jurang perpecahan dan bencana kemanusiaan seperti yang terjadi di Rwanda dan Burundi.

Puluhan ribu pengungsi dilaporkan meninggalkan kamp Kibumba di sebelah utara Goma akhir pekan lalu setelah terjadi baku tembak antara pemberontak Tutsi Banyamulenge dan militer Zaire.

Pemberontak itu telah menguasai sebagian besar wilayah di perbatasan Zaire dengan Rwanda dan Burundi, kejadian yang membuat pemerintah Zaire menuduh kedua tetangganya tersebut terlibat dalam aksi kaum pemberontak.

Pemerintah Zaire juga telah memberlakukan keadaan darurat di wilayah itu tapi menghadapi kendala karena Mobutu saat ini berada di Swiss setelah menjalani operasi kanker prostat.

Kerusuhan tersebut dikhawatirkan akan memblokir kiriman makanan dan bahan bakar bagi ratusan ribu pengungsi.

Sekretaris Jenderal PBB Boutros Boutros-Ghali dilaporkan telah menyeru pihak-pihak yang bertikai agar menyetujui gencatan senjata.

Ia juga mengusulkan penyelenggaraan konferensi internasional untuk menyelesaikan apa yang digambarkannya sebagai perang regional di wilayah Danau Raya di Afrika Tengah.

Seruan itu mendapat dukungan Uni Eropa, yang menyatakan akan mengirim utusannya ke wilayah tersebut.

Masyarakat internasional diberitakan juga mulai khawatir bahwa negara yang kaya akan mineral itu akan terpecah. (27/10/96 13:49)

Tidak ada komentar: