Selasa, 19 Agustus 2008

KRISIS DI SERBIA MASUKI TAHAP GENTING

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 4/2/97 (ANTARA) - Krisis di Republik Serbia, yang disulut oleh tindakan Beograd membatalkan kemenangan oposisi dalam Pemilu lokal tahun lalu, memasuki tahap genting pada Senin, saat polisi bentrok dengan pemrotes sehingga lebih dari 100 orang cedera.

Tindakan Presiden Slobodan Milosevic untuk menurunkan pasukan keamanannya yang ditakuti memicu kekhawatiran mengenai kerusuhan yang bertambah sengit, apalagi tindakan Milosevic sulit diduga.

"Milosevic menggunakan senjata andalannya --kerusuhan untuk mengintimidasi saingan-saingannya untuk mengakhiri krisis", dengan cara apa pun, demikian komentar seorang diplomat Barat kepada Reuter.

Namun tindakan "main kayu" Milosevic dikhawatirkan akan memaksa kelompok oposisi menjadi tambah nekad, meskipun tak tertutup kemugkinan para pemrotes akan mundur.

Dalam kerusuhan Senin (3/2), seorang pemimpin oposisi Vesna Pesic (56) diberitakan AFP mengalami cedera.

Tindakan polisi anti-huruhara tersebut dipandang dapat menjadi "awal pendekatan guna memulihkan stabilitas melalui penggunaan kekerasan fisik atau malah menjadi awal aksi penindasan sama sekali".

Betapa pun juga keadaan di lapangan dianggap menjadi petunjuk bahwa "waktu semakin mepet" bagi tercapainya penyelesaian krisis di republik yang mempertahankan federasi Yugosiavia itu.

Berbagai aksi protes selama ini dipandang sebagai meluasnya keinginan bagi pembaharuan demokrasi, seperti dihentikannya kekangan pemerintah atas media.

Akibat sikap keras Milosevic, "troika" oposisi berbeda pendapat dalam menentukan reaksi.

Vuk Draskovic, pemimpin bersama koalisi Zajedno (Bersatu), dilaporkan mendesak pengikutnya agar mempersenjatai diri mereka agar "dapat membela diri" dari tindakan keras pasukan keamanan Serbia.

Seruan tersebut ditafsirkan sebagai perubahan tak menyenangkan bagi hampir tiga bulan protes damai kelompok pro-demokrasi.

"Takkan ada lagi perlawanan ala-Gandhi terhadap kegilaan ini," kata Draskovic merujuk kepada perjuangan tanpa kekerasan mendiang Mahatma Gandhi di India.

Namun, ia dikenal sebagai tokoh yang selalu mengeluarkan komentar bernada keras dan seruan "bela dirinya" diduga hanya akan diterima secara serius oleh kelompok garis keras Gerakan Pembaharuan Serbia-nya.

Berbeda dengan Draskovic, pemimpin lain oposisi Zoran Djindjic memperingatkan para pemrotes agar tidak membuat kerusuhan dan memberi Milosevic dalih untuk mengumumkan keadaan darurat.

Sementara itu Pesic, yang menjadi pemimpin ketiga oposisi, mengkhawatirkan bahwa penindasan mendadak polisi anti-huruhara berarti bahwa pemberlakuan keadaan darurat sudah mulai membayang.

Menurut Pesic, pemerintah Sosialis Serbia memerlukan alat resmi untuk mendahului keputusan pengadilan --yang masih tertunda-- mengenai konfirmasi kemenangan oposisi dalam pemilihan lokal November lalu.

Pertanda buruk?

Sementara Milosevic mendapat tekanan makin keras dari Barat kendati tak terlihat kemungkinan bagi pemberlakuan sanksi baru atas Serbia, kejadian pada Senin dapat menjadi pertanda buruk bagi kaum oposisi.

Seorang penulis di Beograd dilaporkan berpendapat bahwa Milosevic "mulai melangkah ke arah terbukanya kediktatoran", dan bukan tak mungkin rejim di Beograd benar-benar ingin memberlakukan keadaan darurat.

Kejadian tersebut, menurut dia, "adalah langkah awal menuju arah yang sangat buruk".

Milosevic tampaknya telah berkesimpulan bahwa karena semua demonstrasi itu memicu seruan bagi pemogokan --yang akan sangat merugikan negara, maka para pemrotes tersebut harus dihentikan, dengan cara apa pun juga.

Para guru yang hanya memperoleh gaji 150 dolar AS per bulan, misalnya, diberitakan telah mengancam akan melakukan pemogokan guna menuntut gaji lebih besar.

Seorang diplomat mengatakan kepada AFP, "Mereka (Pemerintah Serbia) tampaknya mulai merasa bahwa mereka tidak lagi dapat membiarkan semua demonstrasi ini berlangsung dari hari ke hari."

Namun, dilema bagi Milosevic ialah masyrakat internasional sangat mencela aksi kekerasan, terutama kenyataan bahwa Pesic --yang dipandang banyak negara Barat sebagai pemimpin oposisi paling cocok-- dipukuli pasukan keamanan. Pesic juga dianggap sebagai lambang protes secara damai.

Perancis dan Jerman mulai memperlihatkan reaksi keras terhadap aksi kekerasan pemerintah Beograd tersebut dengan mengutuk tindakan polisi dan mendesak pemerintah Serbia agar menghindari terulangnya kejadian seperti itu.

Amerika Serikat dan aliansinya di Eropa juga terus mendesak Milosevic agar mengakui kemenangan oposisi dalam pemilihan umum tahun lalu.

Milosevic juga diperingatkan bahwa kemakmuran Serbia pada masa mendatang menjadi taruhan kejadian saat ini, kendati pihak Barat tidak menyebut-nyebut kemunginan penjatuhan sanksi --yang dianggap hanya akan menyengsarakan rakyat.

Sementara itu negara Eropa khawatir kerusuhan di Beograd akan meluas dan tak terkendali atau kerusuhan baru di wilayah Kosovo dapat merembes ke luar perbatasan Serbia.

Namun kendati tersimpan risiko bahwa kerusuhan dapat meluas setelah hampir tiga bulan terjadinya protes, banyak diplomat dilaporkan berpendapat bahwa pihak luar tak dapat berbuat banyak untuk memberi sumbangan guna menyelesaikan krisis di Serbia.

Sebelum kejadian awal Februari tersebut, aksi kekerasan terburuk pernah terjadi pada 24 Desember, ketika para demonstran bentrok dengan para pendukung pemerintah, yang dibawa ke ibukota Serbia oleh rejim Beograd dengan menggunakan bus dan kereta. Satu orang diberitakan tewas dan 91 lagi cedera dalam kejadian itu.

Akibat perkembangan yang mengarah kepada aksi kekerasan tersebut, Zoran Djindjic berpendapat bahwa pengakuan atas kemenangan oposisi dalam pemilihan umum saja sekarang tidak memadai.

Rakyat Serbia menghendaki perubahan yang hakiki, katanya. (3/02/97 23:27)

Tidak ada komentar: