Selasa, 19 Agustus 2008

HAMBATAN DI BALIK KEGAGALAN PERSETUJUAN SOAL AL-KHALIL

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 5/1/97 (ANTARA) - Kegagalan upaya utusan khusus AS, Dennis Ross untuk mewujudkan penarikan militer Israel dari Al-Khalil tampaknya bukan hanya terletak pada sikap tak kenal kompromi PM Israel Benjamin Netanyahu, yang selalu menggembar-gemborkan masalah keamanan pemukim Yahudi di kota Para Nabi tersebut.

Israel dan Palestina pada Jumat (3/1) dilaporkan gagal mencapai persetujuan mengenai kota kecil di Tepi Barat Sungai Jordan itu. Berdasarkan Persetujuan Otonomi 1995, Israel mestinya telah menarik militernya dari sebagian besar wilayah Al-Khalil awal tahun lalu.

Tetapi penundaan demi penundaan harus dialami pihak Palestina; mula-mula karena gelombang pemboman bunuh diri di Israel, lalu sikap Netanyahu --yang menuntut penyediaan pengamanan bagi 400 pemukim Yahudi di antara lebih 120.000 orang Palestina di kota tersebut.

Setelah pertemuan dengan Presiden Palestina Yasser Arafat, Ross dilaporkan AFP mengatakan, "upaya-upaya serius" masih diperlukan guna menghilangkan berbagai rintangan yang menghalangi persetujuan mengenai penarikan militer Israel.

Ross merujuk kepada perbedaan pendapat mengenai masalah keamanan bagi Makam Para Nabi di Al-Khalil, tempat suci bagi umat Yahudi dan Muslim.

Pertemuan puncak antara Arafat dan pemimpin pemerintah sayap kanan Israel, yang sebelumnya diduga akan segera berlangsung, juga gagal terlaksana.

Namun di balik sikap tak kenal kompromi Netanyahu, tampaknya terhampar sikap yang tak kalah fanatiknya dari kabinet Israel (Knesset).

Netanyahu memang telah berulangkali menyatakan bahwa masalah keamanan orang Yahudi menjadi tonggak utama terciptanya perdamaian dengan pihak Arab.

Tetapi perpecahan dalam tubuh koalisi yang berkuasa di Israel kelihatannya bertambah besar sewaktu upaya bagi terwujudnya persetujuan untuk menyerahkan otonomi atas 80 persen wilayah Al-Khalil kepada Palestina makin memperlihatkan titik terang.

Mosi tak percaya

Menteri Prasarana Israel Ariel Sharon tetap berpendapat bahwa Israel mesti menguasai semua tanah yang dijanjikan Tuhan dalam Kitab Perjanjian Lama.

Selain Sharon, terdapat lima menteri dalam koalisi yang berkuasa di Israel tak mau mendukung Netanyahu ketika oposisi berhaluan kanan jauh Partai Moledet mengajukan mosi tak percaya terhadap Netanyahu akhir bulan Desember.

Meskipun mosi itu gagal, 15 anggota koalisi yang berkuasa di Israel --yang juga menentang persetujuan mengenai Al-Khalil-- tidak memberi suara mereka.

Hanya dua anggota parlemen dari Partai Moledet dilaporkan mendukung persetujuan tersebut.

Kejadian itu ditafsirkan sebagai tindakan bahwa pihak- pihak yang sebenarnya menentang persetujuan itu tak ingin mendepak pemerintah Netanyahu, tindakan yang memerlukan 61 suara dari 120 anggota Knesset.

Masih adanya dukungan bagi pemerintah Netanyahu tampaknya berpangkal pada kekhawatiran kembali berkuasanya Partai Buruh, yang menghidupkan proses perdamaian dengan Palestina.

Itu akan berarti pula munculnya keadaan yang bertolak belakang dengan apa yang diingini para pengeritik pemerintah Netanyahu.

Pemerintah Netanyahu sendiri telah menghadapi kondisi menjadi pihak minoritas sewaktu sebagian anggota koalisinya membelot ke pihak oposisi sehubungan dengan masalah tindakan terhadap aksi keras kelompok fanatik Palestina dan upaya penswastaan yang mengakibatkan kemacetan di Israel.

Para penentang persetujuan Al-Khalil dari sayap kanan menyatakan, pihaknya tak dapat menjamin "keamanan 400 pemukim Yahudi yang hidup di tengah 120.000 orang Palestina di kota kecil di Tepi Barat tersebut".

Mereka juga tak dapat menerima persetujuan yang akan membatasi permukiman Yahudi di Al-Khalil, tempat makam Nabi Ibrahim A.S. dan putra-putranya.

Netanyahu telah bersikap keras dan menentang tuntutan Arafat bagi kehadiran polisi Palestina di makam itu, yang dijaga oleh polisi Israel.

Pada Februari 1994, 60 orang Palestina yang sedang shalat Subuh dibantai oleh ekstremis Yahudi Baruch Goldstein.

Setelah pembantaian tersebut, pemerintah saat itu yang dipimpin Partai Buruh menunda penarikan militer Israel, yang dijadwalkan berlangsung Maret 1996, sampai setelah pemilihan umum bulan Mei.

Pemenang pemilihan umum itu, Netanyahu menambah lama penundaan dengan alasan prihatin mengenai keamanan pemukim Yahudi. Lebih dari 60 orang orang Yahudi juga pernah tewas di kota kecil tersebut pada 1929.

Para penentang persetujuan itu menuduh Netanyahu telah melanggar janjinya selama kampanye dan mengingatkan pemimpin Partai Likud tersebut mengenai slogan, "Al-Khalil Yahudi selalu dan akan terus ada".

Untuk menenangkan para penentangnya Netanyahu, sebagaimana dikutip AFP, mengatakan kepada Knesset, "Saya hanya akan menandatangani persetujuan mengenai Al-Khalil jika itu menjamin pengawasan kita atas Makam Para Nabi dan keamanan pemukim Yahudi."

Dijadikan kilah

Namun pergolakan di dalam tubuh koalisinya tampaknya tidak terlalu menghambat perdana menteri Israel, selama persetujuan dengan Palestina takkan tercapai dalam waktu dekat.

Kejadian tersebut bahkan dijadikan alat oleh Netanyahu untuk mengelak dari tekanan Palestina dan masyarakat internasional dan berkilah bahwa tekanan atas kubunya menghalanginya bertindak terlalu jauh.

Sekarang ia menyatakan, tekanan itu sudah terlalu jauh dan merendahkan pemerintahnya.

Sementara itu Yasser Arafat Sabtu (4/1) menyatakan, penolakan Israel untuk menyampaikan komitmen bagi jadwal penarikan militernya dari Al-Khalil telah menghambat upaya intensif AS guna mewujudkan persetujuan mengenai kota kecil tersebut.

"Salah satu perintang utama ialah penolakan Israel untuk menetapkan tanggal bagi penarikan militernya di zona-zona B dan C," kata Arafat sebagaimana dilaporkan kantor berita Palestina, WAFA.

Penarikan dari kedua zona itu mestinya dimulai 7 September 1996, dan diselesaikan 7 September 1997, berdasarkan Persetujuan Oslo II --yang ditandatangani pada 1995.

Kekecewaan atas sikap ulur waktu Netanyahu telah sering dikeluarkan pejabat-pejabat Palestina. Pihak Palestina juga tampaknya sadar dengan sikap Israel tersebut.

Menteri Perencanaan dan Kerjasama Internasional Palestina Nabil Shaath dilaporkan berkomentar, "Kami akan menghabiskan seluruh umur kami, seperti yang kami alami dalam masalah Al-Khalil, terus-menerus merundingkan setiap tahap penarikan (militer Israel) di Tepi Barat." (5/1/97 11:26)

Tidak ada komentar: