Selasa, 19 Agustus 2008

PENYANDERAAN GUNCANG PERU PADA PENGHUJUNG 1996

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 21/12/96 (ANTARA) - Pemerintah Presiden Alberto Fujimori, yang lebih dikenal lewat taktik keras dibandingkan dengan diplomasi, diguncang drama penyanderaan dan membuatnya menghadapi masalah berat saat ia berjuang menyelesaikan krisis tersebut pada penghujung 1996 ini.

Fujimori, yang biasanya bersikap keras terhadap pemberontak, menghadapi tekanan masyarakat internasional agar berunding dan menghindari pertumpahan darah.

Kelompok pemberontak Gerakan Revolusioner Tupac Amaru (MRTA) menyandera lebih dari 400 orang di kediaman duta besar Jepang di ibukota Peru, Lima, sejak Selasa (17/12).

Empat hari kemudian anggota kelompok Marxis-Leninis tersebut, yang masih menyandera sebanyak 360 orang setelah membebaskan sebagian sandera karena masalah kesehatan, mengeluarkan pernyataan.

Seperti yang telah diterjemahkan Reuter, pernyataan tersebut menyebutkan bahwa "MRTA menyatakan kembali, tekanan keras berupa pendudukan atas kediaman duta besar Jepang dilakukan untuk menyelamatkan teman mereka yang dipenjarankan. Sebanyak 400 anggota kelompok itu, termasuk pemimpinnya Victor Polay Campos, disekap di penjara Peru.

Kedua mereka menyatakan, bahwa perlakuan yang diberikan kepada sandera sejalan dengan ketentuan kedaulatan kemanusiaan 'yang selalu menjadi ciri organisasi kami'."

"Untuk mewujudkan penyelesaian melalui perundingan politik bagi semua masalah ini, kami akan membebaskan tanpa syarat semua wanita dan pria tua yang mengalami gangguan kesehatan, termasuk keluarga (Presiden Alberto) Fujimori," demikian pernyataan ketiga MRTA

"Namun di pihak pemerintah, masih terdapat sikap yang mempengaruhi orang-orang yang ditahan oleh MRTA. Pemerintah juga telah memutuskan saluran telepon, air dan listrik, tindakan yang lebih menekan orang-orang tersebut --yang mestinya mendapat dukungan."

Menurut MRTA satu-satunya penyelesaian yang mungkin dicapai ialah dengan mendengarkan permintaan mereka dan membebaskan semua anggota mereka yang dipenjarakan.

"Kami berpendapat, isyarat ke arah itu akan membantu terciptanya langkah pertama menuju penyelesaian menyeluruh masalah kerusuhan politik melalui jalur dialog dan persetujuan perdamaian yang langgeng."

Mereka juga mengatakan menyampaikan sikap tersebut kepada para sandera, terutama orang terhormat dari jajaran diplomatik di sini dan yang dapat kami ajak berunding guna mencapai penyelesaian menyeluruh.

"Kami berpendapat, dilanjutkannya sikap yang diambil pemerintah, sebagian pemerintah dan wartawan tertentu yang menyebut kami 'pembunuh dan teroris' tidak memperlancar penyelesaian," kata mereka dalam pernyataan tersebut.

Dalam pernyataan itu disebutkan pula bahwa, "Sikap dialog ini yang diusulkan MRTA bukan baru. Sepanjang kehadiran kami, kami selalu memperlihatkan sikap menerima dialog ... ."

"Sebaliknya, kami menyatakan, melalui Komite Palang Merah Internasional bahwa kami telah meminta dihubungkan melalui telepon dengan kawan-kawan kami di penjara sehingga kami tahu keadaan kesehatan mereka saat ini."

Lewat pernyataan tersebut, mereka ingin menjelaskan kepada masyarakat internasional bahwa penyanderaan tokoh diplomatik merupakan cara untuk memperoleh orang yang dapat menjamin terwujudnya cara bagi penyelesaian damai."

"Namun, kami mengisyaratkan bahwa, seperti halnya kami mengusulkan penyelesaian menyeluruh, kami juga bersikap tegas dalam permintaan kami. Setiap tindakan keras yang dapat mempengaruhi fisik orang-orang yang dipenjarakan akan menjadi tanggung jawab utama pemerintah ... ."

Namun Fujimori, kendati menghadapi situasi paling buruk dalam karir politiknya, dilaporkan tak mau tunduk pada tuntutan.

Sebanyak 20 anggota MRTA yang melakukan penyanderaan itu juga telah mengancam akan membunuh para sandera jika tuntutan mereka tak dipenuhi.

Fujimori, yang telah melewati masa-masa sulit sejak ia mengalahkan penulis novel terkenal Mario Vargas Llosa dalam pemilihan umum 1990, juga tidak mengacuhkan ultimatum pemerontak untuk berunding secara pribadi dengan dia.

Presiden Peru itu malah sedang mempertimbangkan tindakan keras dalam waktu dekat terhadap pemberontak tersebut.

Namun sikap keras telah terbukti hanya membuahkan masalah. Jepang Jumat malam mengisyaratkan sikap yang sangat berbeda dengan sikap Fujimori mengenai cara menangani drama penyanderaan itu, dan banyak pemerintah juga menyerukan kedua pihak tersebut agar menahan diri.

Ketika Fujimori memangku jabatan, gerakan gerilya lain yang lebih besar dari MRTA -- Jalan Bersinar, yang beraliran Mao-- hampir berhasil menggulingkan pemerintah dan ekonomi Peru yang sedang terguncang.

Namun Fujimori melancarkan pembaharuan pasar bebas, dan mengantar Peru ke stabilitas ekonomi seperti saat ini.

Ia juga bersikap keras terhadap Jalan Bersinar dan MRTA dengan memberi restu kepada militer untuk menekan pemberontak.

Hasilnya dicapai pada 1992, ketika polisi anti-teroris menangkap pemimpin MRTA Victor Polay dan pemimpin Jalan Bersinar Abimael Guzman.

Namun, meskipun angka kerusuhan merosot tajam dan Fujimori berulangkali menyatakan bahwa ia telah mengalahkan pemberontak, tindakan spektakuler Selasa malam (17/12) oleh sebanyak 20 anggota MRTA membuktikan bahwa ia keliru.

Meskipun berhasil menyentak dunia dengan aksi penyanderaannya, anggota pemberontak itu dianggap berusaha menyelamatkan kelompok yang "sedang sekarat tersebut".

MRTA saat ini dilaporkan hanya memiliki lebih dari 80 anggota aktif, turun dari sebanyak 800 anggota pada penghujung 1980-an, dan sebanyak 450 anggotanya berada di balik terali besi.

Aksi kerusuhan yang disulut MRTA dan Jalan Bersinar mencapai masa puncaknya pada akhir 1980-an dan awal 1990-an, tapi berangsur padam sejak tertangkapnya pemimpin kedua kelompok gerilya tersebut.

MRTA memperoleh dukungan pada pertengahan 1980-an, saat gerakan itu melancarkan aksi ala Robin Hood; merampok orang kaya dan membagikan hasil rampokan tersebut kepada orang-orang miskin, membajak truk dan membagikan barang bawaannya kepada petani.

Namun gerakan itu, yang lahir akibat kemiskinan yang melanda rakyat Peru, akhirnya kehilangan simpati setelah berpaling dan meningkatkan aksi penculikan, pemboman serta penyelundupan dan penyaluran obat bius.

Tidak seperti Jalan Bersinar, MRTA --yang berdiri pada 1983-- diberitakan tak pernah menjadi ancaman serius terhadap keamanan nasional Peru.

Namun aksi spektakulernya saat ini memberinya "nilai" tersendiri, dan jika aksi penyanderaan semacam itu menjadi "trend" baru jelas dapat membuat repot pemerintah. (21/12/96 14:36)

Tidak ada komentar: