Selasa, 08 Mei 2001

GEMPURAN ISRAEL PERKUAT POSISI HIZBULLAH

Jakarta, 2/8 (ANTARA) - Gempuran Israel selama tujuh hari terhadap kelompok perlawanan Syiah, Hizbullah, dan pejuang garis Palestina di Libanon Selatan, yang sebenarnya ditujukan untuk memperlemah kedua kelompok yang dianggap ancaman atas daerah Israel Utara, malah membuat kelompok perlawanan itu mendapat dukungan.

Serangan darat, udara dan laut Israel dinyatakan berakhir oleh penguasa di Jerusalem pada Sabtu (31/7) dalam gencatan senjata yang ditengahi oleh Amerika Serikat.

Sebelumnya, gempuran kaum Yahudi tersebut membuat ratusan orang Libanon meninggalkan kediaman mereka yang diharapkan Israel akan menekan Beirut dan Damaskus, yang sampai kini masih menggelar 35.000 prajurit di Lembah Bekaa, Libanon Selatan.

Arus pengungsi akibat "operasi pertanggung jawaban" Israel itu oleh Perdana Menteri Libanon Rafik Al-Hariri dikatakan, sebagai operasi balas dendam dan menjadi tujuan gempuran Israel.

Menurut laporan kantor berita Barat, arus pengungsi di Libanon mencapai lebih dari 350.000 orang yang semula diharapkan Israel dapat memaksa Libanon dan Suriah menekan semua kelompok perlawanan di Libanon Selatan, sehingga hilanglah ancaman terhadap wilayah Yahudi dari sebelah utara.

Aksi militer Israel itu menewaskan 130 orang yang sebagian besar adalah penduduk sipil, melukai lebih dari 500 orang dan memaksa 250.000 orang meninggalkan kediaman mereka, serta mengakibatkan kerusakan harta benda bernilai ratusan juta dolar AS.

Dampak serangan umum tersebut ternyata malah bertolak-belakang dengan harapan penguasa Zionis itu, karena sebagian besar penduduk sipil tak berdosa di Libanon justru menyalahkan Israel karena kini mereka kehilangan tempat tinggal akibat tujuh hari gempuran yang terjadi di Libanon.

Kini, masyarakat Libanon malah mendukung serangan kelompok Hizbullah dan pejuang Palestina terhadap pasukan Israel di garis perbatasan yang telah diumumkan secara sepihak oleh Israel sebagai zona keamanan serta milisi asuhannya, yaitu Tentara Libanon Selatan (SLA).

Pasukan Hizbullah itu terbentuk dari kelompok miskin dan penganut faham Syiah di Libanon selama berlangsungnya serbuan Israel pada 1982, serta menjadi kelompok yang belum dapat dilucuti senjatanya oleh pemerintah Libanon.

Posisi Hizbullah

Gempuran paling sengit Israel sejak tahun 1982 terhadap posisi pasukan Hizbullah di Libanon, ternyata tidak membuat satuan tempur tersebut takluk pada penguasa di Jerusalem.

Syeikh Hassan Nasrallah, pemimpin Hizbullah yang mendapat dukungan dari Iran dan Suriah, dilaporkan telah berikrar bahwa kelompoknya akan terus menentang pendudukan Israel atas wilayah Libanon.

Tekad Nasrallah tampaknya juga mendapat dukungan dari Presiden Suriah Hafez Al-Assad, yang secara mengejutkan mendapat pujian dari Israel karena berhasil menahan diri.

Menurut Nasrallah, cita-cita kelompoknya tetap tak tergoyahkan, yaitu perlawanan terhadap pendudukan Israel di Libanon Selatan.

Keadaan itu, kata Nasrallah, "Bila Israel berhasil melaksanakan keinginannya membungkam perlawanan, maka akan berarti berakhirnya negara Libanon."

Sementara itu Al-Assad berpendapat, perlawanan atas pendudukan Israel adalah hak sah rakyat Libanon bagi diakhirinya pendudukan Israel.

Israel meskipun menerima gencatan senjata di Libanon, ternyata belum memperlihatkan tanda akan membuat perdamaian di wilayah tersebut.

"Orang yang menghendaki perdamaian takkan melancarkan serangan roket dan bom terhadap penduduk sipil dan takkan mengirim pasukan udaranya untuk menghancurkan rumah penduduk sipil," kata Presiden Suriah.

Di Teheran, Menteri Luar Negeri Iran Ali Akbar Velayati berkomentar, bahwa semua serangan Israel semata-mata menempa persatuan rakyat Libanon dengan kelompok perlawanan.

Israel berusaha membungkam Hizbullah, kata Velayati, tetapi yang terjadi adalah sebaliknya.

"Serangan Israel semata-mata menjadi tempaan solidaritas di kalangan rakyat Libanon," demikian Velayati. (02/08/93 13:16)

Tidak ada komentar: