Selasa, 08 Mei 2001

SERANGAN ISRAEL KE LIBANON. MASALAH BARU PROSES PERDAMAIAN

Oleh Chaidar Abdullah


Jakarta, 5/8 (ANTARA) - Serbuan Israel untuk "memadamkan" aksi pejuang Hizbullah dan Palestina di Libanon, belum lama ini, ternyata menimbulkan masalah baru dalam proses perdamaian Timur Tengah yang dirintis oleh pemerintah terdahulu AS sekitar 21 bulan lalu.

Pertempuran antara serdadu Israel dan anggota Hizbullah (Partai Allah) dan pejuang Palestina berhenti melalui gencatan senjata hari Sabtu (31/7) yang membuat Menteri Luar Negeri AS Warren Christopher mempersingkat kunjungannya di Asia dan menunda lawatannya di Timur Tengah.

Menurut jurubicara Departemen Luar Negeri AS Michael McCurry, Departemen Luar Negeri AS berpendapat pertempuran di Libanon dan Israel Utara tersebut memperlihatkan kepentingan semua pihak dalam proses perdamaian Timur Tengah untuk berusaha berunding dan memperkecil silang pendapat.

Libanon Selatan tampaknya masih akan menjadi ajang pembantaian antara serdadu Israel dan pejuang Hizbullah, serta Palestina, sekalipun gencatan senjata telah dicapai di wilayah itu.

"Operasi pertanggung jawaban" Israel, yang oleh Perdana Menteri Libanon Rafiq Al-Hariri ditafsirkan tak lebih dari "operasi balas dendam", begitu juga tentara Libanon belum dapat diharapkan mampu meredam kelompok Syiah pro Iran, Hizbullah.

Ketenangan dan kedamaian bagi wilayah tersebut kelihatannya baru bisa dicapai jika Israel keluar dari Libanon Selatan dan pemerintah Libanon memerintahkan Hizbullah melucuti senjata anggotanya.

Stabilitas di wilayah tersebut juga harus ditunjang dengan keberhasilan pembicaraan perdamaian Timur Tengah, dan Beirut, serta Suriah -- yang masih menggelar 35.000 prajuritnya di Libanon -- untuk berdamai dengan Israel.

Namun, itu bukanlah pekerjaan ringan karena Israel telah berulang kali menyatakan kesediaannya keluar dari Libanon, jika keamanan wilayah utaranya dijamin, sedangkan tentara Libanon sendiri belum cukup tangguh untuk memaksa Hizbullah.

Proses perdamaian Timur Tengah meskipun telah berlangsung selama 21 bulan, ternyata belum memperlihatkan kemajuan yang menggembirkan karena selain penarikan Israel dari Libanon Selatan, masih ada dua masalah lagi yang menghadang proses perdamaian tersebut, yaitu sengketa di Jerusalem Timur dan dataran Tinggi Golan.

Masalah Golan

Pemerintah Israel beberapa waktu lalu memuji upaya Suriah karena berhasil menahan diri dan membantu diakhirinya pertempuran di Libanon akhir Juli 1993, dan berpendapat kebijakan itu merupakan isyarat baik untuk memajukan pembicaraan perdamaian dengan Damaskus mengenai Dataran Tinggi Golan.

Permasalahan di wilayah Golan, hingga kini masih menjadi ganjalan dalam pembicaraan Suriah-Israel karena Pemerintah Suriah menghendaki penarikan total pasukan Israel dari dataran tinggi strategis tersebut sebelum normalisasi hubungan Damakus-Tel Aviv.

Tetapi, Israel menuntut Suriah mencapai perdamaian total dulu dengan Israel baru penarikan total dari Golan dibahas.

Israel merebut Dataran Tinggi Golan dari Suriah dalam Perang Timur Tengah tahun 1967.

Presiden Suriah Hafez Al-Assad disebut-sebut sebagai orang yang berada di belakang pemerintah Al-Hariri dan Hizbullah, menyerukan agar mereka berpadu pada masa krisis dan aksi Israel hanya memperlihatkan kekuatan pengaruh Suriah di Libanon.

Dalam persetujuannya untuk menghentikan serangan tujuh harinya, Israel menyatakan telah mendapat jaminan bahwa Hizbullah akan menghetikan serangan roket Katyusha terhadap Israel Utara.

Pada Ahad (1/8), Al-Assad dilaporkan mengatakan, "Semua orang yang menghendaki perdamaian takkan menembakkan roket atau bom atas penduduk sipil dan menghancurkan rumah mereka melalui serangan pesawat tempur."

Libanon, yang tidak bereaksi jika pasukannya tidak diserang meskipun wilayahnya "diinjak-injak oleh kesombongan Israel", menurut beberapa pejabat Libanon, sadar bahwa 40.000 tentaranya "bisa dibabat habis" oleh serdadu Yahudi.

Jerusalem

Upaya Christopher untuk menyelamatkan proses perdamaian Timur Tengah, yang macet setelah babak kesepuluh pembicaraan tersebut, ternyata tidak menghasilkan kemajuan selama Juli 1993, sehingga posisinya menjadi semakin sulit setelah serbuan Israel ke Libanon.

Kegagalan upaya Christopher mulai muncul dalam pertemuannya dengan delegasi Palestina pada Selasa (2/8) di Jerusalem Timur.

Menurut jurubicara tim perundingan Palestina Dr. Hanan Ashrawi, belum ada persetujuan mengenai pilihan yang diajukan timnya guna menembus kebuntuan proses perdamaian Timur Tengah.

Palestina dan Israel telah merundingkan penyelesaian dua tahap masalah mereka dengan diawali oleh masa kekuasaan Palestina selama lima tahun di wilayah pendudukan, tidak termasuk Jerusalem Timur, walaupun kebuntuan penyelesaian tetap menghadang permasalahan luas lingkup otonomi Palestina.

Palestina telah menampik usul AS yang diajukan selama babak ke-10 perundingan di Washington, Juli 1993, yang isinya antara lain tentang bangsa Palestina menangani urusan pemerintahan di Tepi Barat Sungai Jordan dan Jalur Gaza, tapi membiarkan dulu masalah Jerusalem sampai pembicaraan mengenai status mereka dimulai tiga tahun kemudian.

Palestina menghendaki Jerusalem Timur dibahas dalam setiap perundingan, sementara Israel menganggap Jerusalem sebagai ibukota utuh negara Yahudi dan tak mau merundingkan kota kuno tersebut.

Setibanya di Kairo, pada tahap awal lawatannya di Timur Tengah, Christopher diberitakan mengatakan, "Saya kira takkan ada terobosan, tak ada perkembangan dramatis tapi saya berharap kami dapat mengupayakan kemajuan bagi perdamaian di wilayah ini." (05/08/93 09:15)

Tidak ada komentar: