Selasa, 08 Mei 2001

PENDERITAAN RAKYAT BOSNIA TAK KUNJUNG REDA

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 10/7 (ANTARA) - Nasib Bosnia semakin tak menentu karena pertempuran yang tak kunjung reda meskipun upaya perdamaian terus dilancarkan dan usul terbaru pun disampaikan untuk membagi republik Balkan itu, sementara silang pendapat antara Barat dan negara-negara Islam ikut mewarnai konflik tersebut.

Perang di Bosnia-Herzegovina saat ini sudah menjadi pertempuran tiga pihak -- etnik Serbia, Kroasia dan Muslim Bosnia. Sebelumnya, etnik Kroasia dan Muslim Bosnia saling dukung meskipun dalam aliansi yang rapuh.

Pertempuran sengit paling akhir dilaporkan kantor berita Barat berkecamuk di sekitar Maglaj dan Zavidovici, yang dikuasai kaum Muslim Bosnia.

Lebih dari 40 orang tewas dan 100 cedera dalam pertempuran antara pasukan Kroasia dan Muslim Bosnia tersebut. Tak kurang dari 2.000 prajurit Muslim Bosnia ditangkap pasukan etnik Kroasia di wilayah Maglaj.

Pemerintah di Maglaj minta bantuan pasukan pemelihara perdamaian PBB dan menyerukan Dewan Keamanan PBB agar menyatakan kota kecil itu sebagai "daerah aman" seperti enam daerah kantong Muslim Bosnia di Bosnia Timur.

Dampak pertempuran itu sendiri bukan hanya merongrong rakyat tak berdosa di republik bekas Yugoslavia tersebut, tapi juga mulai merembes ke luar.

Kegagalan Barat menghentikan gempuran etnik Serbia Bosnia, dan kini ditambah serangan etnik Kroasia, terhadap kaum Muslim Bosnia, mengundang risiko tak kecil.

Silang pendapat semakin jelas antara Barat dan negara-negara Islam. Banyak pihak berpendapat Barat telah mengabaikan rakyat Bosnia.

Negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OIC) juga mulai sengit terhadap kelambanan Barat dalam ikut mencari penyelesaian konflik di republik bekas Yugoslavia tersebut.

Nada keras disampaikan Menteri Luar Negeri Iran Ali Akbar Velayati pada konferensi di Swiss bulan Juni.

Bukan terbaik ?

Upaya negara-negara Islam untuk menggolkan resolusi pencabutan embargo senjata PBB agar pemerintah Bosnia bisa memiliki pertahanan lebih baik dalam menghadapi gempuran etnik Serbia Bosnia, yang memang unggul dalam persenjataan, gagal diwujudkan.

Dengan absteinnya Eropa dan beberapa negara lain, resolusi itu tak berhasil meraih sembilan suara yang dibutuhkan di Dewan Kemanan PBB, yang memiliki 15 anggota.

Menurut negara-negara Eropa, pencabutan embargo senjata hanya akan memperburuk pertumpahan di Bosnia. Negara-negara Barat menyatakan ketidak-sediaan mereka untuk turut campur secara militer "bukan karena rasa anti-Muslim tapi karena khawatir terjerumus secara berlarut-larut dalam konflik Balkan tersebut".

Pencabutan embargo juga diduga hanya akan memberi dampak kecil atas kaum Muslim Bosnia dalam mematahkan gempuran etnik Serbia.

Alasannya ? Bila senjata dapat sampai ke tangan tentara pemerintah Bosnia, yang mayoritas Muslim, semua itu bisa jadi akan digunakan untuk menggempur etnik Kroasia Bosnia dalam perebutan kekuasaan atas jalan dan kota industri di pusat negeri tersebut, kata beberapa ahli Barat kepada kantor berita Inggris, Reuter.

Sementara itu di front depan, kaum Muslim melancarkan strategis pertahanan yang memungkinkannya memusatkan upaya pada strategi ofensif melawan etnik Kroasia di Bosnia Tengah.

Jadi, kata mereka, kaum Muslim Bosnia akan bersikap bertahan dalam menghadapi etnik Serbia dan, dengang menggunakan senjata tersebut, akan melancarkan serangan terhadap etnik Kroasia Bosnia.

Selain itu, bila embargo yang dijatuhkan atas semua wilayah bekas Yugoslavia dicabut bagi kaum Muslim Bosnia, dapat dipastikan itu berarti akhir operasi bantuan kemanusiaan dan kehadiran militer PBB untuk melindungi kaum Muslim.

Mereka juga tak yakin semua senjata akan sampai ke pihak Muslim Bosnia dan kalaupun berhasil senjata tersebut tak mampu menghadapi persenjataan berat etnik Serbia.

Kiriman senjata yang melalui daerah etnik Kroasia juga sulit diharapkan akan dapat lewat, karena orang Kroasia tak mungkin akan membiarkan kiriman senjata lewat sedangkan mereka tahu semua senjata itu akan digunakan untuk menghantam mereka.

Aksi surut AS

Sementara itu pernyataan yang dikeluarkan Presiden AS Bill Clinton berbunyi ia mungkin akan menerima baik pembagian Bosnia menjadi tiga negara mini dalam konfederasi longgar.

Pernyataan tersebut dipandang sebagai perubahan besar yang merugikan kaum Muslim Bosnia dan menimbulkan tanda tanya mengenai komitmen AS atas perbatasan wilayah yang diakui internasional.

Bekas Presiden AS George Bush menentang pembagian Bosnia, yang memproklamasikan kemerdekaan bulan Februari 1992. Sebenarnya, Clinton juga telah menentang aksi seperti itu.

Tetapi sejak memangku jabatan bulan Januari tahun ini, kebijakan Clinton telah berubah-ubah. Pertama, ia menyokong rencana perdamaian dukungan PBB, yang diajukan oleh utusan Masyarakat Eropa Lord Owen dan bekas utusan PBB Cyrus Vance. Rencana tersebut mengusulkan pembagian Bosnia menjadi 10 provinsi berdasarkan etnik.

Belakangan ia mendesak serangan udara terhadap etnik Serbia Bosnia dan pencabutan embargo senjata.

Kini ia mempertimbangkan rencana yang diusulkan republik Serbia dan Kroasia untuk membagi Bosnia menjadi tiga negara merdeka.

Lucunya, usul paling akhir itu antara lain diajukan oleh republik Serbia, yang justru menentang pemisahan diri Bosnia-Herzegovina setelah didahului republik Kroasia dari Yugoslavia. Serbia malah menggempur kedua negara tersebut setelah keduanya memproklamasikan kemerdekaan.

Etnik Serbia di bekas Yugoslavia sesungguhnya belum melepaskan keinginan untuk mendirikan Republik Serbia Raya, yang meliputi Republik Serbia dan bagian republik Kroasia serta Bosnia yang diduduki orang Serbia.

Rencana tersebut telah disetujui etnik Serbia dan Kroasia Bosnia tapi ditolak Presiden Bosnia Alija Izetbegovic. Akibatnya, Izetbegovic harus menyaksikan keretakan Dewan Kepresidenan Bosnia karena tujuh dari 10 anggota menyokong rencana itu dan ditambah desakan internasional bagi penyelesaian konflik di negerinya.
(08/07/93 19:31)

Tidak ada komentar: