Selasa, 08 Mei 2001

KELUWESAN IRAK BUKAN JAMINAN BAGI PENCABUTAN EMBARGO

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 22/7 (ANTARA) - Meskipun Irak sudah meperlihatkan "keluwesan" dengan mengijinkan pemantauan jangka panjang program senjatanya, PBB tetap mempertahankan embargo keras terhadap negeri itu, sebagaimana diputuskan Dewan Keamanan PBB Rabu (21 Juli).

Sebelumnya, dalam pembicaraan dengan pemimpin tim penyelidik PBB Rolf Ekeus, Irak "memperlunak" sikapnya dan mengijinkan pemasangan kamera pemantau di instalasi rudalnya -- tindakan yang dikatakan banyak pengamat telah menghilangkan ancaman serangan baru terhadap Baghdad.

Tetapi sikap tersebut ternyata tidak menggoyahkan pendirian DK PBB, yang dalam peninjauan rutin setiap 60 hari mempertahankan sanksi yang telah berlangsung hampir tiga tahun sejak serdadu Irak menyerbu Kuwait Agustus 1990.

Sehari sebelumnya, Presiden AS Bill Clinton dilaporkan memperpanjang embargo dagang atas Irak dan pembekuan aset Baghdad.

Menurut DK PBB, Baghdad masih belum mematuhi sepenuhnya tuntutan DK PBB dalam resolusi gencatan senjata Perang Teluk tahun 1991, yang mencakup penutupan total semua program senjatanya -- prasyarat yang harus dipenuhi Irak sebelum negeri itu dapat mengekspor kembali minyaknya secara bebas.

Ketua DK PBB Sir David Hanay dari Inggris, sebagaimana dilaporkan kantor-kantor berita Barat, mengatakan "persyaratan yang diperlukan" bagi perubahan semua sanksi belum terpenuhi.

Meskipun begitu, menurut Hanay, keputusan DK PBB itu bukan merupakan hukuman sebelum memeriksa laporan dari Ekeus.

Ekeus dijadwalkan melaporkan kepada DK PBB hari Kamis (22/7) mengenai hasil pembicaraannya pekan ketiga bulan Juli dengan para pejabat Irak tentang pemasangan kamera pemantau di dua tempat percobaan rudal di Baghdad.

Prosedur rumit

Hanay menyatakan Irak menerima baik selama pembicaraan dengan Ekeus tentang pemantauan jangka panjang potensi senjatanya. Namun, tambahnya, dipenuhinya tuntutan itu hanyalah satu tindakan yang termasuk dalam prosedur rumit sebelum rencana pengawasan dilaksanakan.

Pembahasan Ekeus dengan para pejabat Irak, menurut beberapa sumber DK PBB yang dikutip Reuter, meliputi pemasangan kamera tapi bukan pengaktifan kamera tersebut. Sementara itu, PBB akan terus memantau tempat percobaan tersebut, kemungkinan melalui pesawat pengintai.

Irak telah menerima baik resolusi yang akan memungkinkan PBB memantau industri militernya di masa mendatang guna menjamin bahwa Baghdad tidak membuat senjata penghancur massal lagi.

Tim Irak dan PBB September mendatang akan membahas pemantauan itu dan apa yang harus dilakukan Baghdad atas persenjataannya untuk mematuhi sepenuhnya persyaratan gencatan senjata Perang Teluk.

Irak sebenarnya telah lama meminta penyelenggaraan pertemuan seperti itu, dengan harapan embargo perdagangan dapat diringankan atau bahkan dicabut.

Tetapi, baik Amerika Serikat maupun Inggris -- yang bersikap paling keras terhadap Baghdad di DK PBB -- tidak memperlihatkan isyarat akan memperlunak sikap.

Tiga masalah

Sementara itu dilaporkan, para pejabat Irak bersama PBB akan membahas tiga masalah pengiriman minyak, pemantauan pemasokan pangan dan resolusi tahun 1990 mengenai pembekuan aset.

Perundingan tersebut, yang akan mengijinkan Irak menjual minyaknya seharga 1,6 miliar dolar AS untuk membeli obat serta makanan yang sangat dibutuhkan rakyatnya di bawah pengawasan ketat PBB, ditunda bulan ini setelah berlangsung selama satu pekan.

Irak hanya akan memperoleh sebesar 900 juta dolar AS dari penjualan minyak tersebut untuk membeli makanan dan kebutuhan lain buat 18 juta rakyatnya.

Sampai kini belum terlihat titik terang persetujuan yang akan memungkinkan Irak untuk pertama kali menjual minyaknya sejak negeri itu dijatuhi embargo dagang di seluruh dunia tak lama setelah pasukannya menyerbu Kuwait bulan Agustus 1990.

Sanksi tersebut telah membuat Irak harus menanggung beban berat. Meskipun pemasokan makanan serta bantuan kemanusiaan lain tidak termasuk dalam embargo itu, Irak -- yang mengalami kesulitan ekonomi akibat embargo tersebut -- hanya bisa membeli kebutuhan pokok dalam jumlah kecil.

Yang mungkin menjadi topik dalam pembicaraan Irak-PBB kali ini adalah dua resolusi yang disahkan PBB tahun 1990, pertama mengenai penjualan minyak dalam jumlah terbatas dan akan disalurkan bagi pembelian makanan serta obat.

Resolusi kedua ialah biaya para penyelidik senjata PBB dan biaya rehabilitasi korban perang.

Tiga masalah masih mengganjal dalam pembicaraan Irak dengan PBB.

Pertama adalah penjualan hasil minyak. Irak ingin mengirimkan sebagian besar minyaknya melalui pelabuhannya di Teluk, Mina Al-Bakr, sedangkan Amerika Serikat dan Inggris dilaporkan menghendaki sedikit- dikitnya 80 persen minyak Irak dikirimkan melalui saluran ke Turki guna memudahkan pemantauan.

Beberapa pejabat PBB dilaporkan telah menyarankan penetapan bahwa minyak dapat disalurkan melalui dua terminal, tapi Washington menginginkan ketentuan yang lebih spesifik.

Irak ingin melewati saja saluran tersebut bagi pengiriman minyaknya karena jika tidak, Baghdad harus membayar ongkos pengangkutan kepada Turki.

Masalah kedua adalah pemantauan. Di antara banyak ketentuan mengenai pemantauan, pengawasan atas pembagian makanan dan obat menjadi pangkal permasalahan, terutama di daerah kaum Syiah Irak di bagian selatan negeri tersebut.

Amerika Serikat sudah membagikan makanan kepada suku pemberontak Kurdi di Irak Utara, tapi hampir tidak memiliki penjaga atau pemantau di Irak Selatan. Amerika Serikat dan Inggris menghendaki ketetapan ketat mengenai cara pemantauan pembagian makanan.

Masalah ketiga ialah aset Irak. Baghdad menginginkan pencabutan resolusi yang disulut Amerika tahun 1990, yang mengijinkan negara asing membekukan aset Irak di luar negeri.

Resolusi itu ditulis sedemikian rupa sehingga aset Irak di sebagian besar negara asing terpaku, kecuali di Amerika Serikat dan Arab Saudi. (22/07/93 10:57)

Tidak ada komentar: