Rabu, 30 April 2008

50 TAHUN MERDEKA, LIBANON TETAP DIBAYANGI KEKUATAN ASING

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 23/11 (ANTARA) - Bangsa di belahan mana pun di dunia ini tak ingin hidup di bawah penjajahan, tapi bagi rakyat Libanon -- kendati negeri itu sudah 50 tahun merdeka -- bencana itu tetap mengincar mereka.

Hari Senin (22/11) Libanon merayakan 50 tahun kemerdekaannya yang diperolehnya dari Perancis, di tengah perasaan optimistis yang berbaur dengan rasa frustrasi rakyatnya karena berlanjutnya kehadiran kekuatan asing di negeri tersebut.

Di saat perayaan sedang berlangsung, bom Israel menghantam desa-desa yang menjadi basis kelompok perlawanan Syiah. Ledakannya, menurut laporan beberapa kantor berita Barat, menggetarkan seluruh wilayah selatan Libanon, tempat Israel mempertahankan jalur yang dinyatakannya sebagai "zona keamanan".

Zona sepanjang 15 kilometer tersebut, menurut Israel, ditujukan untuk menghadang gerak maju para pejuang Palestina yang ingin memasuki Israel.

Selain pasukan Israel, Libanon juga masih "menampung" ribuan tentara Suriah dan pejuang Palestina.

Sementara itu di ibukota Libanon, Beirut, ribuan anggota polisi dan tentara dengan melibatkan tank dan kendaraan lapis baja pengangkut personil, dilaporkan berparade di jalan raya dengan disaksikan oleh Presiden Libanon Elias Hrawi, Perdana Menteri Rafik Hariri, Ketua Parlemen Nabih Berri serta pejabat lain Libanon dan pejabat asing.

Hrawi sendiri sebenarnya sudah bertekad tak ingin negaranya "dijadikan ajang pertempuran karena konflik pihak lain dan tak mau Libanon menjadi perlintasan bagi keamanan pihak lain".

"Direpotkan" berbagai pihak

Keinginan Hrawi tampaknya sulit terwujud karena negerinya masih mengandalkan kehadiran 35.000 prajurit Suriah, yang membantu mendepak jenderal pembangkang Michel Aoun.

Sementara itu Israel -- yang pada 1982 menyerbu negara yang telah lebih dari 16 tahun terlibat perang saudara itu -- berkeras tak mau mundur.

Koordinator Israel di Libanon Selatan, Uri Lubrani, sebagaimana dikutip hari Ahad berikrar, Israel "takkan pernah memikirkan penarikan diri dari zona keamanan bila pejuang anti-Israel tidak dilucuti".

Pernyataan seperti itu sudah berkali-kali disampaikan oleh pihak Yahudi.

Selama pembicaraan perdamaian Timur Tengah, Israel telah sering mengaitkan penarikan pasukan pendudukannya dengan perlucutan anggota Hizbullah dan kelompok lain Palestina.

Hizbullah, seperti juga kelompok garis keras HAMAS, tak mau menerima persetujuan otonomi terbatas PLO-Israel yang ditandantangani tanggal 13 September di Washington. Namun Libanon, bersama Suriah, Jordania dan Palestina, ikut dalam pembicaraan perdamaian yang dimulai di Madrid Oktober 1991 itu.

Kelompok pejuang Palestina tersebut sering membuat Israel berang karena serangannya ke dalam "zona keamanan".

Akibat serangan kelompok perlawanan itu, Israel juga telah berkali-kali menggempur Libanon tanpa memperdulikan kedaulatan negeri tersebut dan korban jiwa di pihak sipil Libanon.

Selain perlucutan kelompok pejuang Palestina, Israel dalam persyaratannya bagi perdamaian dengan Libanon juga menghendaki milisi asuhannya, Tentara Libanon Selatan (SLA), bergabung dengan militer Libanon.

Sementara itu Libanon, sejak awal proses perdamaian Timur Tengah, menghendaki Israel keluar dari "zona keamanan", tuntutan yang mendapat dukungan Resolusi Nomor 425 Dewan Keamanan PBB -- yang menetapkan penarikan total dan tanpa syarat Israel dari seluruh wilayah Libanon.

Namun Israel tak pernah menggubris resolusi tersebut, dan PBB pun sampai sekarang tak mampu berbuat apa-apa untuk memaksa negara Yahudi itu.

Bertikai sejak dulu

Sejak dulu konflik dan pertikaian selalu mengikuti perjalanan sejarah negara tersebut.

Di Libanon, peradaban pertama kali muncul pada masa kekuasaan bangsa Funicia, pengembang sistem tulisan alfabet.

Pada masa jayanya bangsa itu, sekitar abad 12 sampai sembilan SM, berkembanglah negara kota seperti Tirus, Sidon, Arwad dan Byblos, asal nama Bible.

Setelah jaman keemasan bangsa Funicia, kekuatan luar ikut menoreh sejarah negara tersebut, di antaranya adalah bangsa Asy-Syiria -- Suriah sekarang, Parsia (Iran) serta Yunani di bawah pemerintah Iskandar Zulkarnain, atau yang disebut orang Barat sebagai Alexander Agung.

Tahun 64 SM bangsa Romawi menaklukkan negara tersebut dan pertama kali memasukkan unsur Barat, serta menguasainya selama beberapa abad.

Lalu unsur agama pun ikut meramaikan keadaan, agama Kristen pernah memiliki penganut terbesar, lalu agama Islam mulai datang.

Selama 400 tahun Libanon berada di bawah kekuasaan Bani Usman (Ottoman, Turki), sekitar tahun 1516.

Perang saudara mulai meletus sekitar tahun 1860 di Libanon akibat pergeseran dan benturan antara orang Kristen dan kelompok keagamaan Druze. Dalam konflik ini Eropa ikut campur guna mengkahiri perang saudara di negeri itu, yang masih berada di bawah kekuasaan Bani Usman, tetapi kekuasaan diberikan kepada seorang Gubernur Jenderal beragama Kristen.

Pada akhir Perang Dunia I, kekuasaan Bani Usman di Libanon berakhir, tapi akibat konflik yang berkembang sebelumnya, banyak rakyat negeri tersebut mengungsi sampai ke Brazil dan AS.

Tahun 1925 Libanon menjadi republik, tapi Perancis -- yang mendapat mandat dari Liga Bangsa-bangsa -- memegang kendali kekuasaan terbatas, dan berakhir lewat amandemen undang-undang dasar Libanon 1943.

Libanon pun menjadi negara berdaulat penuh pada 22 November 1943.

Berdasarkan hukum tak tertulis, yang sudah menjadi konsensus sejak tahun itu, presiden Libanon harus beragama Kristen dan ketua parlemennya dari agama Islam. Pada masa awal penerapannya, pengaturan tersebut cukup memuaskan, tapi masalah terus mengikuti negeri itu.

Tatkala gejala pecahnnya revolusi mulai tampak pada 1958, presiden Libanon saat itu Camille Chamoun meminta bantuan AS -- suatu tindakan yang tidak diingini masyarakat berbahasa Arab dan beragama Islam.

Selama perang Arab-Israel 1967-1973, Libanon berusaha bersikap moderat, sikap yang ditentang kelompok garis keras. Selama perang tersebut, pengungsi Palestina mulai membanjiri negeri itu, dan mereka kemudian menjadi gerilyawan.

Gerilyawan Palestina, dengan bantuan kelompok garis keras, mulai menyerang Israel, tapi ketika Israel membalas, tentara Libanon tidak bertindak apa-apa.

Akibatnya, timbulah ketegangan antara pejuang Palestina dan pemerintah Libanon, ditambah dengan ketegangan lain antar-agama.

Ketegangan tersebut mencapai puncaknya dengan meletusnya pertikaian antar-agama lalu diikuti dengan bentrokan antar-suku. Sejak itu kemelut membuat Libanon terjerumus ke dalam perang saudara berkepanjangan.

Sampai kini kemelut belum juga sirna dan bencana perang terus mengincar bukan hanya keselamatan pejuang Palestina tapi juga jiwa penduduk sipil Libanon.
(23/11/93 08:17)

Tidak ada komentar: