Rabu, 30 April 2008

MAJU-UNDUR PEMBICARAAN PERDAMAIAN BOSNIA

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 10/8 (ANTARA) - Pembicaraan perdamaian Bosnia-Herzegovina yang sebelumnya mengundang harapan Presiden AS Bill Clinton, ternyata menghadapi ancaman baru karena awal Minggu ini (9/8) Presiden Republik Bosnia Alija Izetbegovic meninggalkan ruangan perundingan.

Ia tak bersedia mengadakan perundingan dengan pemimpin etnik Kroasia dan Serbia Bosnia.

Alasan Presiden Izetbegovic dan kelompok Muslim Bosnia itu ialah kendati etnik Serbia Bosnia telah mencabut bendera dari Gunung Bjelasnica tetapi belum memindahkan mesin perangnya dari dataran tinggi di dekat ibukota negerinya, Sarajevo.

Dalam suatu pernyataannya, Izetbegovic diberitakan mengutip berbagai laporan bahwa pasukan Serbia belum meninggalkan satu posisi pun di gunung Bjelasnica dan Igman. Etnik penentang pemisahan diri Bosnia dari Yugoslavia itu telah berulang kali berjanji akan meninggalkan kedua dataran tinggi stragegis tersebut.

Izetbegovic juga telah berkali-kali mengancam bahwa takkan ada pembicaraan jika etnik Serbia Bosnia tidak menarik pasukan dari kedua wilayah tersebut.

Tindakan etnik Serbia Bosnia itu, menurut dia, membuat kelanjutan pembicaraan perdamaian Bosnia di Jenewa berada dalam kabut keraguan.

Ia juga menghendaki masyarakat internasional terus menekan etnik Serbia Bosnia agar segera menarik pasukannya sehingga pembicaraan dapat dilanjutkan, kalau perlu dengan aksi militer sebagaimana ancaman NATO, atau pencabutan embargo senjata sehingga kaum Muslim Bosnia dapat mempertahankan diri.

Seruan bagi pencabutan embargo telah sering disampaikan baik oleh Izetbegovic maupun pihak lain, tapi selalu ditentang sebab dikhawatirkan kiriman senjata juga akan jatuh ke pihak Serbia Bosnia atau etnik Kroasia Bosnia.

Serangan udara guna menghentikan pengepungan terhadap Sarajevo, kata Izetbegovic, akan membantu melicinkan jalan bagi kelanjutan pembicaraan perdamaian yang pekan lalu diboikotnya.

Pekan lalu Izetbegovic menjadikan penarikan pasukan Serbia Bosnia sebagai syarat bagi kelanjutkan pembicaraan perdamaian.

NATO, kendati masih meminta izin PBB untuk melancarkan serangan atas Serbia Bosnia, pada hari yang sama mendesak etnik tersebut agar segera menghentikan pengepungannya atas ibukota republik Balkan itu.

"Tangkisan" Serbia

Pemimpin etnik Serbia Bosnia, Radovan Karadzic, berpendapat lain, yakni nasib perundingan di Jenewa guna mengakhiri 16 bulan pertumpahan darah di Bosnia malah berada dalam genggaman Pemerintah Bosnia yang didominasi kaum Muslim.

Setelah satu pekan mengalami kebuntuan, pembicaraan yang dijadualkan berlangsung hari Senin itu tidak terpengaruh oleh ancaman serangan udara NATO, katanya.

Dalam wawancara dengan televisi Reuter sebelum meninggalkan Beograd menuju Jenewa, Karadzic menyatakan masa depan pembicaraan Jenewa tergantung pada kesungguhan delegasi Bosnia.

Namun menurut Izetbegovic, Dewan Kepresidenan Bosnia menganggap penarikan pasukan Serbia dari Bjelasnica dan Igman adalah ujian bagi etnik Serbia Bosnia, yakni sejauh mana keinginan orang Serbia untuk berunding. Tanpa penarikan itu, pembicaraan takkan ada artinya sama sekali.

Karadzic malah berkilah, ancaman serangan udara NATO hanya mendorong kaum Muslim Bosnia untuk tidak menghadiri pembicaraan dan terus mengobarkan pertempuran.

Ia sebelumnya telah menyampaikan kesediaannya menyerahkan kedua gunung yang dikuasai etniknya kepada pasukan PBB. Tetapi pasukan PBB di Bosnia dilaporkan tidak melihat tanda-tanda pasukan Serbia Bosnia meninggalkan wilayah tersebut.

Jurubicara Pasukan PBB Barry Frewer, dilaporkan membenarkan bahwa pasukan Serbia Bosnia mulai menarik diri dari gunung Bjelasnica dan Igman, tapi menambahkan artileri dan tank Serbia masih berada di tempatnya di dekat gunung Igman.

Masalah pembagian

Kaum Muslim Bosnia juga telah memperlihatkan keberatannya untuk merundingkan rencana pembagian Bosnia-Herzegovina menjadi tiga republik etnik.

Sejauh ini pembicaraan perdamaian Bosnia dipusatkan pada peta pembagian republik tersebut, yang dilaporkan telah disetujui Izetbegovic dan etnik Serbia serta Kroasia Bosnia.

Meskipun demikian, Izetbegovic mengemukakan persyaratannya bagi penyelesaian yang dapat diterima baik, yakni dilestarikannya Bosnia-Herzegovina sebagai satu negara anggota PBB dan pembagian yang adil bagi republik yang sebagian besar penduduknya kaum Muslim Bosnia.

Penetapan peta bagi masa depan Sarajevo sebagaimana dilaporkan para penengah perdamaian, Lord Owen dan Thorvald Stoltenberg kepada Dewan Keamanan PBB, juga menjadi kendala utama proses perdamaian tersebut.

Meskipun mengakui rencana pembagian Bosnia "dirancang secara semrawut", tapi Owen mengatakan, barangkali itu adalah pilihan terbaik yang kini ada untuk menghentikan pertumpahan darah di Bosnia. Pembagian Bosnia menjadi tiga republik etnik tak berbeda dengan tindakan pemenggalan republik tersebut.

Ia sebenarnya tidak menyukai perbuatan tersebut dan menilainya tidak menarik, tapi tak dapat menghindari kenyataan bahwa itu lebih realistis dibandingkan harapan untuk menyaksikan ketiga etnik yang terlibat pertempuran tersebut hidup berdampingan.

Sementara itu di Bosnia-Herzegovina, pertempuran dilaporkan terus berkecamuk dan tidak memperlihatkan tanda bahwa aksi saling bunuh akan segera berakhir, meskipun Sarajevo dikatakan agak tenang.

Prospek perdamaian di republik Balkan tersebut tampaknya masih jauh dari jangkauan walaupun lebih dari selusin persetujuan gencatan senjata pernah ditandatangani.

Sampai kini gagasan pembagian Bosnia menjadi tiga republik etnik dalam konfederasi longgar juga belum membawa angin segar bagi diakhirinya pertumpahan darah.

Sebelumnya, rencana perdamaian yang diprakarsai Owen dan bekas utusan PBB Cyrus Vance untuk membagi Bosnia-Herzegovina menjadi 10 provinsi gagal mengakhiri konflik di bekas republik Yugoslavia itu. Rencana tersebut "mati" karena mendapat tantangan terutama etnik pembangkang Serbia Bosnia. (10/08/93 10:42)

Tidak ada komentar: