Rabu, 30 April 2008

RENCANA OTONOMI PALESTINA SULUT KEBINGUNGAN

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 1/9 (ANTARA) - Banyak pihak -- AS, Eropa dan Australia -- memuji rencana persetujuan Palestina-Israel mengenai otonomi terbatas di Jalur Gaza dan Jericho di Tepi Barat Sungai Jordan, tapi tindakan yang dirintis lewat pertemuan rahasia Israel-PLO itu juga menimbulkan kebingungan.

Jordania adalah negara yang paling terhenyak dengan laporan mengenai persetujuan tersebut karena Jericho adalah wilayahnya sebelum perang Arab-Israel tahun 1967.

Sebelum rencana itu disetujui dalam babak ke-11, pembicaraan perdamaian Timur Tengah yang diselengarakan di Washington hari Selasa (31/8), pers Barat sudah ramai menggembar-gemborkan rencana tersebut yang dilaporkan juga ditentang rakyat Yahudi.

Kabinet Israel dilaporkan telah mengesahkan persetujuan yang diperantarai Norwegia akhir bulan Agustus 1993 antara Menteri Luar Negeri Israel Shimon Peres dan pejabat PLO untuk memberi bangsa Palestina kekuasaan administratif atas Jalur Gaza dan Jericho.

Rencana itu baru bisa disahkan beberapa pekan setelah disetujui oleh pihak Palestina dan Israel dalam perundingan perdamaian Timur Tengah.

Rencana tersebut menggaris-bawahi prinsip-prinsip yang akan menetapkan pengalihan kekuasaan terbatas kepada sebanyak dua juta orang Palestina di wilayah pendudukan Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Semua rincian penting mengenai cara bangsa Palestina menangani kehidupan sehari-hari mereka masih harus dirundingkan.

Setelah tersiarnya laporan mengenai rencana persetujuan itu pemimpin PLO Yasser Arafat menghadapi ancaman pembunuhan dari kelompok garis keras Palestina karena perundingan rahasia organisasinya dengan Israel.

Jerusalem tenggelam

Gencarnya pemberitaan pers Barat mengenai "prestasi" yang dicapai dalam proses perdamaian Timur Tengah saat ini, telah menenggelamkan masalah yang membuat buntu babak terdahulu proses perdamaian tersebut, yaitu masalah Jerusalem.

Dalam babak ke-10 pembicaraan perdamaian, pihak Palestina mengangkat lagi masalah kota kuno itu, yang direbut Israel dari bangsa Palestina tahun 1967.

Israel juga sudah berulang-kali menyatakan Jerusalem adalah ibukota utuh negara Yahudi dan tak dapat dikutak-katik, sementara Palestina ingin Jerusalem dibahas dalam setiap perundingan.

Dalam suatu wawancara dengan harian Perancis, Liberation, pemimpin tim perunding Palestina, Faisal Al Husseini, mengatakan Israel harus menghilangkan sifat keras kepala dan merundingkan status Jerusalem jika Tel Aviv menghendaki persetujuan perdamaian.

Wawancara tersebut mengungkit lagi silang pendapat mengenai nasib Jerusalem Timur yang tidak disebut-sebut dalam laporan pers mengenai persetujuan Jalur Gaza-Jericho tersebut.

Persetujuan mengenai Jalur Gaza dan Jericho dapat diterima sebagai langkah awal, tetapi rakyat Palestina, katanya, mendesak penarikan Israel dari seluruh wilayah pendudukan.

Ia menyebut Jerusalem dan semua milik rakyat Palestina sebagai inti permasalahan, dan penduduk Jalur Gaza takkan pernah mau menerima persetujuan yang menyisihkan nasib Jerusalem.

Sementara itu terdapat usul untuk menjadikan kota suci tersebut sebagai kota terbuka bagi semua pemeluk agama, karena selama ini Jerusalem telah diperebutkan oleh banyak pihak.

Belum jelas

Di Washington dalam perundingan hari pertama Palestina dan Israel, kedua pihak itu gagal menyepakati kapan dan oleh siapa persetujuan tersebut akan ditandatangani.

Pada saat yang sama, pihak Israel terus menghembus-hembuskan rasa optimistis dan Palestina melontarkan harapan bagi pengakuan PLO oleh Israel.

Persetujuan tersebut dilaporkan dapat ditandatangani pada babak ke-11 perundingan perdamaian Timur Tengah, tetapi laporan pers yang sudah tersiar luas membuat persetujuan otonomi terbatas itu seakan-akan sudah menjadi kenyataan.

Pihak Palestina berpendapat akan terjadi penundaan penandatanganan selama satu bulan, dan menyarankan agar persetujuan tersebut ditandatangani oleh pejabat yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari mereka yang kini berunding di Washington.

Israel mengingini persetujuan itu ditandatangani satu pekan setelah disetujui dalam perundingan perdamaian Timur Tengah di Washington.

Namun, Koordinator PLO Nabil Shaath beranggapan "tak mungkin" persetujuan tersebut ditandatangai dalam waktu terlalu cepat, sedangkan para pejabat PLO membutuhkan waktu minimal satu bulan untuk mensahkannya.

Sementara itu Departemen Luar Negeri AS, kendati menyambut baik kelanjutan pembicaraan perdamaian Timur Tengah, tak bersedia menetapkan tanggal bagi penandatanganan persetujuan PLO-Israel tersebut.

Di Jakarta, Duta Besar Palestina untuk Indonesia Ribhi Y. Awad menyatakan, menghendaki terobosan sesungguhnya ke arah perdamaian Palestina-Israel dengan diberikannya otonomi atas seluruh wilayah Palestina yang diduduki Israel dan rincian langkah nyata bagi perlindungan hak asasi rakyat Palestina.

Ia berpendapat apa yang dipandang dunia sebagai terobosan belum tentu merupakan "terobosan yang sesungguhnya" bagi rakyat Palestina.

Terobosan sesungguhnya, katanya, yang terutama ialah pembebasan kota suci Jerusalem dari pendudukan Israel.

Silang pendapat antara Israel dan PLO itu memantulkan kebingungan yang timbul akibat cepatnya perkembangan pemberitaan pers Barat mengenai persetujuan mereka dalam beberapa hari terakhir ini.

Keinginan Awad itu belum terwujud karena persetujuan otonomi terbatas bagi rakyat Palestina di Jalur Gaza dan Jericho, menurut Israel, hanyalah kekuasaan administratif dan bukan pembentukan sebuah negara merdeka yang baru. ( 1/09/93 16:44)

Tidak ada komentar: