Rabu, 30 April 2008

KRISIS MEMBAYANG DI PANTAI GADING SETELAH HOUPHOUET-BOIGNY MANGKAT

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 8/12 (ANTARA) - Belum 24 jam Presiden Pantai Gading, Felix Houphouet-Boigny meninggal dunia, negeri tersebut sudah dibayangi krisis mengenai siapa yang berhak menggantikan pemimpin ternama Afrika itu.

Houphouet-Boigny (88) meninggal Selasa (7/12), setelah lama menderita kanker prostat dan tak terlihat di depan umum sejak ia kembali dari Eropa 19 November lalu.

Berdasarkan undang-undang di negeri berpenduduk 12,6 juta orang itu, Ketua Parlemen, Henri Konan Bedie (59), seharusnya melanjutkan pemerintahan sebagai presiden sementara sampai masa jabatan Houphouet-Boigny berakhir September 1995.

Namun keabsahan suksesi tersebut, yang tertera dalam pembaharuan Undang-undang Dasar Pantai Gading 1990, dilaporkan beberapa kantor berita Barat mendapat tantangan dari kelompok oposisi yang dipimpin Laurent Gbagbo, pemimpin Front Rakyat Pantai Gading (FPI), dan oleh sebagian pemimpin Partai Demokrasi (PDCI), yang berkuasa.

Sementara semasa hidupnya Houphouet-Boigny tak pernah mau menunjuk calon penggantinya, dan sering berkata: "Seorang pemimpin Afrika tak pernah menunjuk penggantinya."

Krisis sebenarnya berkisar pada penafsiran Pasal 11 Undang-undang Dasar negeri itu, yang menetapkan ketua parlemen mengambilalih jabatan apabila presiden meninggal atau tak mampu melanjutkan tugas, dan memangku jabatan sampai pemilihan umum berikutnya.

Namun banyak pejabat di Pantai Gading menyatakan bahwa Pasal 11 tersebut tidak dapat diberlakukan karena anggota Mahkamah Agung negeri itu tidak memenuhi kuorum.

Mereka berusaha menggolkan gagasan untuk mengadakan pembicaraan guna menyetujui pemerintah sementara sampai pemilihan umum mendatang di negeri seluas 322.463 kilometer persegi tersebut.

Gbagbo berpendapat kepala negara yang baru harus "dipilih melalui pemungutan suara".

Sebagian anggota PDCI, yang dipimpin oleh Ketua Dewan Sosial dan Ekonomi, Philippe Yace, juga menentang pengangkatan Konan Bedie. Yace hingga 1985 dianggap sebagai calon kuat pengganti Houphouet-Boigny, yang memperjuangkan dan mengumumkan secara sepihak kemerdekaan Pantai Gading dari Perancis di 1960, dan meninggal pada hari ulang tahun kemerdekaan.

Sementara itu Perdana Menteri Alassane Ouattara, yang mengumumkan meninggalnya Houphouet-Boigny, tidak mengeluarkan pernyataan resmi, tapi mengisyaratkan proses Undang-undang Dasar tersebut tidak sesuai lagi setelah Pandai Gading meninggalkan politik satu partai tahun 1990.

Para pendukung Ouattara menyatakan Undang-undang Dasar mengharuskan Mahkamah Agung mengeluarkan surat resmi mengenai kematian presiden, tapi itu tak mungkin terjadi pada saat sekarang sehingga Konan Bedie tak dapat otomatis menjadi presiden.

Meskipun menghadapi penentangan, Konan Bedie, yang mendapat dukungan bekas kolonial Pantai Gading, Perancis, belakangan mengumumkan dirinya sebagai presiden sementara negeri tersebut.



"Negarawan Besar"

Kematian Houphouet-Boigny segera mengundang reaksi luar negeri, Presiden Perancis Francois Mitterrand, dalam ucapan belasungkawanya, mengenang dan menyebutnya sebagai "negarawan besar".

"Setelah memperjuangkan kemerdekaan negerinya, ia mengambil contoh, menarik pelajaran dan membangun negara Pantai Gading. Kebijaksanaan dan perhatiannya pada perdamaian memberinya pengakuan mutlak," kata Mitterrand.

Sementara Presiden Benin, Nicephore Soglo mengatakan, kematiannya merupakan "berita yang sangat menyedihkan bagi seluruh Afrika".

Seluruh rakyat Afrika, kata Soglo, tanpa memperdulikan agama, kebangsaan dan pandangan mereka "telah kehilangan seorang pemimpin besar".

Presiden Gabon, Omar Bongo, menyatakan: "Seluruh pemimpin Afrika telah kehilangan seorang ayah."

Kendati pujian untuk mendiang presiden pertama Pantai Gading sejak kemerdekaannya dari Perancis 33 tahun lalu, mengalir dari luar negeri, stabilitas, terutama ekonomi yang telah dirintis dan dibina Houphouet-Boigny, memprihatinkan.

Semasa hidupnya ia sempat mengangkat ekonomi negerinya dan membuat iri tetangga-tetangganya, terutama Ghana dan Guinea, yang menghadapi keruntuhan ekonomi di masa kepemimpinan beraliran sosialis pasca-kolonial, tapi ia meninggal justru di tengah krisis ekonomi yang melanda negerinya.

Selama tiga tahun Pantai Gading menghadapi krisis ekonomi akibat anjloknya harga coklat dan kopi, yang menjadi komoditas andalan negeri itu, di pasar dunia.

Sebelumnya Houphouet-Boigny membawa Pantai Gading menjadi penghasil coklat terbesar di dunia dan penghasil kopi terbesar di Afrika. Namun Pantai Gading juga termasuk negara yang memiliki hutang luar negeri paling besar di Afrika yakni sebesar 18 miliar dolar AS.

Hasil coklat negeri yang memiliki 7.100 personil militer dengan cadangan 12.000 personil itu, mencapai 697.000 ton, dan hasil pada 1993-1994 diramalkan mencapai 640.000 ton.

Tindak kejahatan, korupsi dan pengangguran dilaporkan ikut memperburuk kondisi ekonomi negeri tersebut, sehingga sebagian rakyat negeri itu dilaporkan tak keberatan jika militer mengambil-alih keadaan guna menjamin kedamaian Pantai Gading. ( 8/12/93 11:30)

Tidak ada komentar: