Rabu, 30 April 2008

RUDAL AS BICARA LAGI DI IRAK

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 29/6 (ANTARA) - Presiden Irak Saddam Hussein, yang berpesta tatkala Bill Clinton mengalahkan George Bush dalam pemilihan umum AS, harus menghadapi lagi tindakan tak kenal lunak Pemerintah AS.

Presiden AS Bill Clinton berdalih tindakan paling akhir negara adidaya itu terhadap Irak adalah pembalasan atas upaya pembunuhan terhadap pendahulunya, yang memimpin pasukan Sekutu dalam Perang Teluk melawan Irak, George Bush di Kuwait.

Clinton, menurut laporan kantor-kantor berita Barat, bermaksud menjadikan serangan sebanyak 23 rudal Cruise Tomahawk terhadap Baghdad hari Ahad sebagai "pesan bahwa ia bersedia menggunakan kekuatan militer AS kalau perlu".

Clinton tampaknya mempertahankan jalur keras Bush terhadap Irak agar Baghdad memenuhi sepenuhnya semua Resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengakhiri Perang Teluk.

Meskipun Clinton menyatakan bahwa serangan tersebut ditujukan untuk mengirim pesan kepada Saddam Hussein, tindakan itu sendiri lebih cenderung bertujuan menghimpun dukungan di dalam negerinya.

Menurut angket yang disiarkan USA Today dan dikutip Reuter, 66 persen orang Amerika menyetujui keputusan untuk menyerang Baghdad tapi 54 persen berpendapat serangan tersebut mengandung risiko meningkatnya aksi terorisme di Amerika Serikat.

Survei lain yang diadakan oleh organisasi Gallup memperlihatkan 53 persen dari 602 orang Amerika yang diwawancarai melalui telefon, kata Reuter, menyokong pembunuhan atas Saddam Hussein tapi 37 persen menentangnya.

Tetapi pemerintah AS tampaknya tidak lagi menjadikan penggulingan Saddam Hussein sebagai syarat tegas pencabutan embargo ekonomi yang diberlakukan sejak tahun 1990 terhadap Irak.

Berdasarkan perundangan AS, tidak dibenarkan seorang presiden Amerika memerintahkan pembunuhan seorang kepala negara asing.

Bela diri ?

Menteri Pertahanan AS Les Aspin, sebagaimana dilaporkan pers, mengatakan pemerintahnya akan membuat penilaian dulu sebelum melakukan tindakan lebih lanjut setelah serangan terhadap Irak, yang dilaporkan menewaskan tak kurang sembilan orang.

Aspin dilaporkan mengutip Pasal 51 Piagam PBB, yang menyebutkan hak beladiri dengan tujuan membenarkan tindakan AS tersebut, yang mendapat dukungan militer.

Meskipun begitu, Aspin juga mengakui bahwa komplotan pembunuhan terhadap Bush bukanlah satu-satunya masalah antara Washington dan Baghdad, yang katanya terus menolak pemeriksaan menyeluruh tempat-tempat senjatanya oleh para pejabat PBB sebagaimana dituntut dalam resolusi mengenai gencatan senjata Perang Teluk.

Namun, Liga Arab, sebagaimana dilaporkan UPI berpendapat, pemeriksaan pengadilan terbuka secara terus-menerus di Kuwait terhadap 12 orang Irak dan dua warganegara Kuwait dengan dakwaan merencanakan pembunuhan terhadap Bush adalah cara terbaik untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.

Sayangnya tindakan Amerika itu mengundang keraguan dalam hal keabsahan, moral, sembrono dalam masalah dampak militer, meskipun AS menyatakan berusaha meminimalkan korban di pihak sipil, dan menimbulkan kerusakan di bidang diplomatik, begitu pendapat jurubicara urusan luar negeri Partai Buruh, yang beroposisi di Inggris, George Robertson, sebagaimana dikutip Reuter.

Alasan rencana pembunuhan terhadap Bush tak dapat dijadikan pegangan, katanya. Kejadian tersebut berlangsung tiga bulan lalu dan proses pengadilan para tersangka belum lagi usai, dan sekarang tak kurang dari tiga rudal meleset dari sasaran serta menewaskan penduduk sipil yang tak berdosa.

Serangan terhadap apa yang dikatakan Clinton sebagai Pusat Intelijen Irak berlangsung hanya beberapa jam setelah proses pengadilan dilanjutkan hari Sabtu. Dalam pemeriksaan itu, 11 orang Irak menghadapi ancaman hukuman mati bila terbukti bersalah.

Standar ganda

Selain banyak pihak, terutama sekutu AS, mendukung aksi paling akhir AS terhadap Irak, tak sedikit pula pihak yang menyesalkan, prihatin sampai mengecam tindakan tersebut.

Tindakan keras Clinton itu bahkan sekali lagi mencuatkan pendapat mengenai standar ganda AS dalam menangani berbagai masalah internasional.

AS selalu menekan Irak dengan alasan Baghdad acapkali melanggar resolusi PBB tapi Washington tampak "mati kutu" dalam menghadapi ulah penguasa Yahudi terhadap bangsa Palestina.

Amerika Serikat telah beberapa kali melancarkan serangan terhadap Baghdad, tapi Washington selalu menjegal jika Dewan Keamanan dihadapkan pada pilihan keras terhadap Israel.

Tentara Amerika bertindak tegas terhadap Jenderal Mohamed Farah Aidid karena anak buah gembong pemberontak di Somalia tersebut diduga menewaskan sebanyak 23 prajurit Pakistan yang tergabung dalam Pasukan Pemelihara Perdamaian PBB.

Aidid dicap sebagai penjahat dan diburu, bahkan hadiah pun ditawarkan bagi orang yang dapat menangkapnya.

Namun, Amerika Serikat tidak melepaskan satu peluru pun di Bosnia-Herzegovina meskipun prajurit-prajurit yang tergabung dalam pasukan PBB sudah menjadi korban serangan etnik Serbia di republik Balkan itu.

Kendati demikian utusan Washington di PBB Madeleine Albright berpendapat situasi di Bosnia tidak sama dengan keadaan di Irak.

Menurut Albright, AS telah membantu kaum Muslim Bosnia dengan menerjunkan bantuan, penerapan zona larangan terbang dan pemberlakuan sanksi ekonomi.

Tetapi sebagian bantuan yang dijatuhkan dari udara jatuh ke pihak Serbia Bosnia -- yang menentang pemisahan diri republik Balkan itu dan kini mendukung pemecahan negeri tersebut menjadi tiga negara merdekan dalam konfederasi longgar.

Akibat tindakan paling akhir AS terhadap Irak, Liga Arab bahkan Mesir -- yang biasanya cenderung mendukung AS -- menuduh AS menerapkan standar ganda sejauh menyangkut kepentingan umat Islam.

Menteri Luar Negeri Mesir Amr Moussa berharap sikap kebijakan AS akan sama tegasnya dalam menghadapi kejahatan etnik Serbia Bosnia, yang telah melanggar keabsahan dan semua piagam internasional.

Beralasan

William Quandt, seorang ahli kebijakan luar negeri AS yang telah menulis buku mengenai proses perdamaian Timur Tengah, mengatakan kepada Reuter bahwa terdapat persepsi luas mengenai standar ganda AS mengenai masalah yang berkaitan dengan umat Islam yang dimulai selama Perang Teluk tahun 1990.

Meskipun mengatakan aksi militer Washington terhadap Irak bukan lah cerminan kebijakannya terhadap Saddam Hussein, Quandt berpendapat Amerika Serikat "harus menebus kebijakan lemahnya mengenai Bosnia".

Sementara itu mantan Menteri Luar Negeri AS Lawrence Eagleburger berpendapat, terdapat satu perbedaan dalam kasus Bosnia dan Irak; yaitu risiko yang dihadapi tentara AS.

Eagleburger dilaporkan mengatakan ia berpendapat dunia Islam memiliki alasan untuk merasa prihatin dengan apa yang terjadi di Bosnia-Herzegovina.

Walaupun begitu, katanya, AS pun mempunyai alasan sendiri untuk berhati-hati dalam menghadapi kasus Bosnia.

Apapun alasan yang dikemukakan AS maupun pendukungnya, serangan terhadap pusat intelijen Irak bisa menimbulkan dampak tak baik dalam hubungan AS dengan negara-negara Islam.

"Pesan" yang dikirim Clinton kepada Saddam Hussein dapat juga menimbulkan pengaruh pada Iran dan Libya, yang juga memiliki hubungan keruh dengan Washington.

Pesan semacam itu bisa saja mengundang rakyat suatu negara berpadu mendukung pemimpinnya bila mereka merasa diancam oleh negara kuat seperti Amerika Serikat.

Akhirnya, jika jalan diplomatik menghadapi kebuntuan, orang cenderung mengambil jalan pintas -- seperti yang dilakukan Suku Kurdi Turki saat ini -- yaitu tindakan terorisme.

Tekanan terus-menerus AS terhadap pemerintah Irak juga tidak menutup kemungkinan akan aksi seperti itu, karena segala alasan dan bantahan Baghdad di PBB tak pernah digubris AS dan sekutunya. (29/06/93 10:17)

Tidak ada komentar: