Rabu, 30 April 2008

PEMBICARAAN PERDAMAIAN YUGOSLAVIA BELUM PERLIHATKAN HASIL

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 29/11 (ANTARA) - Di tengah pertempuran yang belum memperlihatkan tanda akan mereda, pembicaraan guna menyelamatkan republik bekas Yugoslavia mengalami kebuntuan.

Kebuntuan semacam itu sebenarnya bukan yang pertama kali, dan kini para menteri Masyarakat Eropa, yang sudah dibuat sibuk dengan kegagalan berbagai upaya terdahulu, mencoba cara baru.

Sebagaimana diberitakan kantor berita transnasional, kebuntuan tersebut muncul akibat tuntutan tambahan wilayah oleh pemimpin Bosnia-Herzegovina sementara pemimpin etnik Serbia Bosnia menolak tuntutan seperti itu.

Federasi Yugoslavia, yang merdeka 29 November 1945, pecah ketika beberapa republiknya memisahkan diri beberapa tahun lalu, dan praktis sudah tak ada lagi. Republik Serbia dan Montenegro berusaha mempertahankan keberadaan Federasi Yugoslavia, tetapi tidak diakui sebagai pengganti sah republik itu di berbagai organisasi internasional.

Republik Serbia sendiri sebenarnya memiliki ambisi untuk mendirikan Republik Serbia Raya, yang akan meliputi Repoublik Serbia sekarang ditambah wilayah di republik-republik lain yang dikuasai oleh etnik Serbia.

Sebagian besar wilayah bekas Yugoslavia, yang antara lain memiliki sumber daya alam berupa antimoni, bauksit, timah, batubara dan besi kini tidak lagi dapat menggali sumber daya alam tersebut akibat perang yang berkepanjangan.

Negara dengan enam republik dan dua provinsi yang merdeka di bawah pimpinan partisan komunis Broz Tito tersebut terus dilanda kemelut dan dua republiknya -- Serbia dan Montenegro -- dikenakan embargo internaional yang juga berlaku bagi republik lain.

Berbagai upaya perdamaian telah dilakukan baik oleh PBB maupun oleh Masyarakat Eropa dan lebih dari selusin gencatan senjata pernah ditandatangani tapi semua itu dilanggar tak lama setelah penandatanganan.

Kini Masyarakat Eropa, dalam pertemuan satu hari di Jenewa, berusaha menembus kebuntuan tersebut dengan menawarkan imbalan kepada etnik Serbia di republik Bosnia- Herzegovina agar etnik pemberontak itu mau melakukan konsesi wilayah.

Tetapi, keberhasilan upaya tersebut diragukan oleh utusan PBB Thorvald Stoltenberg, yang dilaporkan berkata akan sangat kagum bila semua pihak yang bertikai di Bosnia mencapai persetujuan dalam perundingan hari Senin (29/11).

Pertemuan itu direncanakan dihadiri oleh Presiden Bosnia Alija Izetbegovic, pemimpin etnik Serbia Radovan Karadzic dan pemimpin etnik Kroasia Bosnia Mate Boban, selain Presiden Serbia Slobodan Milosevic, Presiden Kroasia Franjo Tudjman serta pemimpin Republik Montenegro Momir Bulatovic.

Landasan perundingan bagi penyelesaian krisis Balkan itu ialah rencana perdamaian yang disusun untuk membagi Bosnia-Herzegovina menjadi tiga negara mini Muslim, etnik Serbia dan etnik Kroasia Bosnia.

Berdasarkan rencana EC -- yang direncanakan disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Belgia Willy Claes -- semua sanksi akan dicabut secara bertahap asal etnik Serbia Bosnia mau menyerahkan beberapa persen wilayah yang kini didudukinya kepada kaum Muslim Bosnia.

Etnik Serbia Bosnia menduduki 70 persen wilayah Bosnia dan menyatakan akan menempati 50 persen sementara kaum Muslim akan diberikan 30 persen wilayah dan sisanya diperuntukkan bagi etnik Kroasia Bosnia.

Izetbegovic menuntut tambahan tiga sampai empat persen wilayah.

Inflasi

Tiga tahun lalu, republik bekas Yugoslavia tersebut berada di ambang perubahan menuju ekonomi pasar yang menjanjikan kekayaan ala-Barat.

Sebelum terpecah dan perang, Federasi Yugoslavia GNP Rp58,6 triliun dan income per kapitanya mencapai Rp2.620.000.

Tetapi kini, akibat perang yang berkepanjangan, ekonomi salah satu negara pendiri Gerakan Non-Blok itu sudah hancur. Sementara nilai dinar diberitakan mengalami inflasi yang dapat mencapai 1,6 miliar persen pada penghujung tahun ini. Bank, perusahaan asuransi dan sebagian besar perdagangan telah ambruk.

Penderitaan rakyat Yugoslavia, menurut kebanyak ahli ekonomi, bukan hanya akibat sanksi PBB yang dijatuhkan atas sisa Yugoslavia tapi akibat perpecahan negeri tersebut, yang dulunya menjadi sumber barang mentah dan pasar, menjadi republik-republik yang interdependen.

Tahun 1990, misalnya, 300.000 mobil FIAT (Itali) diberitakan dibuat setiap tahun dengan lisensi di Serbia, sedangkan sukucadang diperoleh di Slovenia dan Kroasia.

Kini, saat suku cadang diberitakan sudah habis dan hasil produksi pun sirna, produksi mobil itu anjlok menjadi kurang dari 1.000 unit.

Dengan macetnya produksi, segelintir tentara asing dan biaya perang yang terus naik, republik-republik bekas Yugoslavia terpaksa mencetak uang lagi untuk membayar kebutuhan mereka.

Sementara pertempuran semakin sengit, jurang pemisah antara kebutuhan pemerintah dan kemampuannya untuk membayar kian besar. Semakin banyak angka nol harus ditambahkan pada lembaran uang yang melewati mesin cetak.

Agar dapat bertahan hidup pada saat tingkat kekurangan sudah kronis dan inflasi yang mengganas, kegiatan antri, barter, pencurian dan pengemis, kegiatan berleha-leha, penimbunan dan penyelundupan, menurut laporan, telah menjadi cara hidup banyak rakyat jelata.

Hanya sedikit orang Yugoslavia dapat terbiasa dengan dampak membabi-buta tingkat inflasi yang melesat begitu cepat sehingga banyak buruh dilaporkan menerima upah bulanan mereka setiap beberapa hari sekali dengan jumlah terbatas.

Selalu kandas

Kerjasama etnik Serbia Bosnia dapat dikurangi kalau saja etnik pembangkang itu mau bekerjasama, dan Masyarakat Eropa telah menyatakan akan menyerukan pencabutan sanksi secara bertahap, tindakan yang hingga kini tak banyak mendapat dukungan Amerika Serikat. AS dan Rusia dilaporkan mengirim wakil menteri luar negeri mereka ke pembicaraan Jenewa.

Stoltenberg telah memperingatkan ketiga pihak yang bertika di Bosnia bahwa masyarakat internasional sudah lelah untuk meneruskan upaya diplomatik dan finansialnya setelah perang berkecamuk terus selama 20 bulan di republik Balkan tersebut.

Sementara itu, Lord Owen -- utusan Masyarakat Eropa -- malah mengancam bahwa semua sanksi akan diperketat, dihentikannya campurtangan militer Eropa, bahkan penghentian operasi kemanusiaan jika semua pihak yang bertikai di Bosnia tetap tak mau menerima usul bagi perdamaian.

Dua bulan lalu Parlemen Bosnia menampik usul perdamaian paling akhir dengan alasan rencana pembagian Bosnia menjadi tiga negara mini tidak memungkinkan pendirian negara bagi kaum Muslim Bosnia.

Selain tambahan tiga sampai empat persen wilayah, Sarajevo juga minta diberi jalan ke laut.

Sementara itu Karadzic telah menyatakan tak mau memberi konsesi baru, dan mengatakan ia sekarang menuntut 64 persen wilayah yang sekarang dikuasai etnik Serbia Bosnia buat Republik Serbia yang diproklamasikan secara sepihak di Bosnia Herzegovina. (29/11/93 11:39)

Tidak ada komentar: