Sabtu, 14 Juni 2008

100 HARI DRAMA SANDERA, SIKAP FUJIMORI TETAP PENUH TEKA-TEKI

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 28/3/97 (ANTARA) - Hari Kamis genap 100 hari para sandera disekap di kediaman duta besar Jepang di ibukota Peru, sementara sikap Presiden Alberto Fujimori tetap diselimuti rahasia dan sulit diterka.

Kendati harapan sempat membersit bagi pembebasan mereka, ke-72 sandera sudah melewati Natal dan Tahun Baru dengan dibayangi laras senjata jauh dari keluarga mereka selama 14 pekan.

Kendati pembicaraan mengenai persetujuan pemberian suaka bagi sebanyak 20 anggota Gerakan Revolusioner Tupac Amaru (MRTA) di kalangan diplomatik dan media di seluruh dunia, namun penyelesaian akhir krisis tersebut tak kunjung terwujud.

Drama penyanderaan itu berawal tanggal 17 Desember, ketika 20 aggota MRTA menyerbu kediaman Duta Besar Jepang Morihisa Aoki saat ia mengadakan jamuan untuk memperingati hari lahir Kaisar Akihito.

Lebih 400 tamunya, para pejabat dan diplomat Peru serta dari luar negeri, disandera sementara satuan pemberontak tersebut menuntut pembebasan teman-teman mereka yang berada di penjara Peru. Sebagian besar sandera telah dibebaskan, tapi pemberontak itu masih menahan 72 pejabat tingkat tinggi.

Sejak awal aksi penyanderaan, Fujimori seperti menghindari media dan hanya mengeluarkan pernyataan- pernyataan yang menambah besar teka-teki seputar presiden Peru keturunan Jepang tersebut.

Mula-mula Fujimori dengan tegas menampik tuntutan anggota MRTA agar membebaskan teman-teman mereka yang ditahan di penjara-penjara Peru.

Fujimori berusaha mempertahankan upaya anti- terorismenya guna menghapus kelompok-kelompok Jalan Terang dan MRTA.

Namun, saat krisis sandera itu terus bergulir, posisi Fujimori tampaknya mulai terdesak dan bergeser kendati sikap kerasnya dipandang tidak berubah.

Ia juga telah membatasi pilihannya karena keputusan untuk menggunakan kekuatan militer terhadap kompleks tersebut harus mendapat persetujuan Tokyo.

Fujimori, yang disebut-sebut tak biasa berkonsultasi dengan pihak lain mengenai keputusan penting pemerintahan, juga dipaksa memberi kepercayaan kepada satu tim kecil penengah yang berusaha mencarikan jalan keluar krisis yang dihadapinya.

Duta Besar Kanada Anthony Vincent dan pejabat Komite Palang Merah Internasional Michel Minnig, keduanya termasuk sebagai sandera saat krisis tersebut meletus, dan Uskup Agung Katolik Roma Juan Luis Cipriani ditunjuk sebagai penengah resmi guna mengupayakan penyelesaian drama penyanderaan itu.

Sikap lama Fujimori dalam mengatasi kemelut ialah "bertindak dulu, baru berbicara".

Fujimori, menurut AFP, menggunakan taktik itu setelah kudetanya April 1992, ketika ia secara mengejutkan mengumumkan pembubaran Kongres, penataan kembali lembaga kehakiman dan penghentian "pemerintah pembangunan kembali nasional" guna memerangi korupsi dan terorisme.

Pil pahit

Akan tetapi krisis sandera yang dihadapinya saat ini telah menjadi pukulan keras bagi Fujimori, yang sebelumnya telah mengembar-gemborkan kemenangan atas MRTA dan Jalan Terang dalam perang 15 tahun melawan kelompok-kelompok pemebrontak tersebut.

Sikap tak kenal kompromi presiden Peru itu telah terkekang oleh Tokyo, dan Perdana Menteri Jepang Ryutaro Hashimoto mendesak Fujimori pada pertemuan puncak di Tokyo bulan Februari agar ia duduk di meja perundingan guna mencapai penyelesaian.

Itu dipandang sebagai pil pahit yang harus ditelannya karena ia lebih suka membuat keputusan sendiri dan membanggakan diri karena tidak berunding dengan pemberontak.

Utusan khusus Jepang Terusuke Terada dipercaya untuk memantau pembicaraan tersebut sebagai pengamat.

Sementara itu Fujimori juga merintis jalan kompromi dengan melakukan lawatan ke Kuba dan Republik Dominika awal Maret untuk secara pribadi mengupayakan suaka bagi para penyandera dari kedua negara di Laut Karibia tersebut.

Bagi para penyandera dan pemimpinnya Nestor Cerpa Cartolini, krisis penyanderaan itu berarti "mencuatkan nama buruk kelompoknya di dunia internasional".

Sementara hampir semua pemimpin mendekam dalam penjara, kelompok Marksis-Leninis tersebut mulanya dianggap mulai sekarat.

Beberapa pengulas, yang dikutip AFP, berpendapat, drama penyanderaan guna menuntut pembebasan para pentolan MRTA merupakan upaya terakhir kelompok itu guna memberinya semangat baru.

Sementara perundingan berlangsung, kendati MRTA --yang menampik tawaran suaka dari negara asing-- dan Fujimori tak bersedia membuat konsesi, para sandera harus terus hidup di bawah bayang-bayang ketidakpastian.

Di antara para sandera terdapat duta besar Jepang, Duta Besar Bolivia Jorge Gumucia, 14 staf kedutaan besar Jepang dan empat eksekutif perusahaan-perusahaan Jepang.

Sandera lain meliputi adik laki-laki Fujimori, Pedro, menteri-menteri pertanian dan urusan luar negeri Peru, dan beberapa pejabat anti-teroris negeri tersebut.

Kini, sekalipun perundingan guna mengakhiri krisis itu belakangan ini memperlihatkan kemajuan, para sandera tersebut tampaknya harus merayakan Paskah dalam penyanderaan. (27/03/97 14:29)

Tidak ada komentar: