Jumat, 06 Juni 2008

SANKSI, ANCAMAN YANG DAPAT MELUMPUHKAN BURUNDI

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 11/8/96 (ANTARA) - Rwanda hari Jumat (9/7) menambah negara yang menjatuhkan sanksi atas Bujumbura, dengan memutuskan hubungan dengan negara tanpa laut itu sehingga makin besar-lah ancaman yang dapat melumpuhkan ekonomi Burundi.

Rwanda, yang pemerintahnya juga didominasi oleh suku Tutsi, menyatakan akan memutuskan hubungan darat dan udara dengan Burundi, sementara perusahaan penerbangan Air France menambah berat pukulan dengan membatalkan semua penerbangan ke negara Afrika tengah tersebut.

Dua hari sebelumnya, tujuh negara yang bertemu di kota Arusha, Tanzania Utara, -- Tanzania, Zaire, Rwanda, Kenya, Ethiopia, Uganda, dan Kamerun (ketua Organisasi Persatuan Afrikat, OAU, saat ini) -- memutuskan untuk melakukan "tekanan maksimum", termasuk pemberlakuan sanksi ekonomi, atas Burundi.

Afrika Selatan, kendati tidak menghadiri pertemuan tersebut, telah menyatakan akan mendukung tindakan negara-negara tetangga Burundi itu.

Para pemimpin Afrika yang hadir di Arusha bermaksud menekan pemimpin militer Burundi, Mayor Pierre Buyoya, agar mengembalikan pemerintahan kepada sipil meskipun mereka tidak menyebutkan sanksi ekonomi bagaimana yang akan diterapkan.

Setiap negara memiliki kebebasan untuk menentukan sanksi yang akan dijatuhkan, demikian keterangan beberapa sumber konferensi tersebut kepada AFP.

Di Bujumbura, Buyoya beberapakali dilaporkan mengatakan bahwa Burundi akan dapat bertahan menghadapi sanksi ekonomi negara-negara Afrika.

Namun para pemimpin regional itu tak terlihat berusaha menghidupkan kembali rencana untuk mengirim pasukan pemelihara perdamaian Afrika, usul yang disepakati sebelum penggulingan Presiden Syltre Ntibantunganya oleh Buyoya tanggal 25 Juli.

Usul pengiriman pasukan Afrika guna memulihkan keamanan di Burundi sebelumnya telah ditolak oleh militer, yang didominasi suku Tutsi, dan pemberontak Hutu, walaupun mendapat dukungan Ntibantunganya.

Militer Burundi khawatir pasukan tersebut akan merusak citranya, sementara pemberontak Hutu tak ingin pasukan itu bergabung dengan militer Bujumbura.

Kecaman yang disampaikan para pemimpin regional tersebut selama ini tertuju pada aksi kudeta dan bukan pada Buyoya, orang yang pernah menghidupkan kembali demokrasi di Burundi.

Buyoya menyeru penyelenggaraan pemilihan umum tahun 1991 dan mencalonkan diri tapi kalah oleh Melchior Ndadaye, yang dibunuh empat bulan kemudian oleh tentara dari suku Tutsi. Sejak itu Burundi tenggelam dalam pertumpahan darah.

Mudah tercekik

Jika para pemimpin Afrika benar-benar melakukan "blokade ekonomi total" mereka, Burundi -- yang tidak memiliki laut -- akan mudah menjadi korban dan ekonominya, yang bergantung pada hasil teh serta kopi, benar-benar akan berantakan.

Burundi diapit oleh Zaire, Tanzania, dan Rwanda, serta bergantung pada pelabuhan-pelabuhan Tanzania dan Kenya -- Dar Es Salam dan Mombasa -- sebagai jalan ekspor-impornya melalui laut.

Namun banyak pengulas, sebagaimana dilaporkan AFP dan Reuter, memperkirakan tak tertutup kemungkinan terjadinya kebocoran dalam penerapan sanksi tersebut.

Sebagian impor Burundi yang selama ini ditangani oleh pengusaha-pengusaha Zaire dan Rwanda dapat disalurkan melalui jalur perbatasan yang dipenuhi hutan lebat. Akan tetapi, jalur tersebut dilaporkan sulit digunakan untuk menyelundupkan bensin dan bahan bakar diesel ke Burundi.

Zaire terletak di perbatasan barat Burundi dan tak seorang pun, termasuk Presiden Zaire Mobutu Sese Seko, dilaporkan dapat sepenuhnya mengawasi apa yang terjadi di wilayah itu.

Mobutu menentang rejim baru Tutsi di Bujumbura tapi para pengusaha Zaire diduga akan berusaha sedapat mungkin untuk memasok Burundi dan menyalurkan ekspor Burundi selama mereka dapat mengeruk keuntungan.

Jalur pemasokan lain ke Burundi dilaporkan dapat dilaksanakan melalui danau Tanganyika di Zambia, walaupun jalur itu lebih jauh.

Seorang importir asing mengatakan bahwa jika jalur ekspor-impor Tanzania benar-benar ditutup, Burundi akan menghadapi masalah besar karen jalur pemasokan melalui Zambia atau Zaire bukan tak mungkin digunakan tapi biayanya sangat mahal.

Burundi, sebelum mendapat sanksi, telah menghadapi masalah ekonomi besar. Perang saudara telah merenggut puluhan ribu korban dan banyak prasarana rusak serta disabotase.

Pertempuran juga telah menghalangi penduduk desa menanam dan menuai kopi serta teh.

Selain itu pembelian senjata baru dan pemasokan lain buat militer serta gaji buat tak kurang dari 5.000 orang yang baru direkrut sebagai personil militer telah mengikis simpanan negeri tersebut di luar negeri.

Bujumbura juga untuk pertamakali gagal membayar utang luar negerinya karena pemerintah harus mengeluarkan gaji sebesar 10 juta dolar AS perbulan.

Kini, pada saat berada dalam keadaan morat-marit seperti itu, Burundi harus menanggung blokade terhadap kegiatan ekspor-impornya sehingga dapat dipastikan keadaan di negeri tersebut akan bertambah parah.

Meskipun demikian, semua sanksi yang telah disepakati para pemimpin Afrika tersebut masih memerlukan dukungan pengesahan dari PBB, yang tidak memberi isyarat akan memberi dukungan, dan OAU.

Disahkan atau tidak oleh PBB, blokade total terhadap Burundi akan membuat negeri itu terjerat, dan selama ini rakyat lah yang menjadi korban pertama setiap sanksi atau embargo.

Para pemimpin Afrika boleh saja berkilah mereka ingin menekan rejim militer di Bujumbura agar menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah sipil, tapi mereka tetap saja menghukum seluruh rakyat negeri itu, yang menurut Bank Dunia memiliki penghasilan hanya 150 dolar AS pertahun. (10/08/96 18:33)

Tidak ada komentar: