Sabtu, 14 Juni 2008

BAGI NETANYAHU, KONSESI ARAB BELUM CUKUP

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 8/7/96 (ANTARA) - Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang dijadwalkan berangkat ke Amerikat Serikat hari Senin, memandang konsesi pihak Arab dalam perundingan dengan Israel belum cukup dan ia "akan membuat mereka menyesuaikan diri dengan sikap kerasnya".

Sejak perundingan perdamaian Timur Tengah dirintis di Oslo tahun 1991, PLO telah menghapus ketetapan bagi penghapusan negara Yahudi sementara tuntutan Suriah dan Libanon -- pengunduran diri dari Dataran Tinggi Golan dan Libanon Selatan -- belum dipenuhi Israel.

Namun sebelum meninggalkan Tel Aviv, Netanyahu diberitakan Reuter mengatakan, "Apa yang terjadi (saat ini) adalah pihak Arab --Palestina, Suriah dan yang lain-- akan menyesuaikan diri dengan kenyataan baru dan akan dipaksa mulai berkompromi di pihak mereka terhadap perubahan".

Awal bulan ini, ketika menanggapi sikap keras Netanyahu, Suriah menyatakan Damaskus sedang berusaha menggalang dukungan guna menghadapi pemerintah paling sayap kanan Israel, yang bermaksud membunuh proses perdamaian Timur Tengah.

Israel di bawah Netanyahu, menurut harian Al-Baath sebagaimana dikutip, tidak menyembunyikan keinginannya untuk meledakkan lagi wilayah Timur Tengah dan dalam skala paling luas guna mewujudkan sasarannya, membunuh proses perdamaian Timur Tengah.

Tindakan Israel tersebut dan para pendukungnya membuat negara- negara di wilayah yang mudah bergolak itu menghadapi satu pilihan, yaitu menggalang semua kekuatan dan kemampuannya untuk menghadapi tantangan berbahaya yang mengancam kehadiran negara-negara tersebut.

Media Suriah itu menuduh Netanyahu sebagai musuh perdamaian yang sesungguhnya dan mengulangi tuntutan Damaskus bahwa pengembalian Golan, yang direbut Israel dari Suriah tahun 1967, adalah tuntutan dasar bagi terwujudnya perdamaian di Timur Tengah.

Namun dalam program kampanyenya yang dikenal dengan nama "tiga tidak", Netanyahu menyatakan akan menentang berdirinya negara Palestina merdeka, tak bersedia membagi Jerusalem, dan takkan mengembalikan Golan.

Picu "terorisme"

Sikap tak kenal kompromi yang dikumandangkan Netanyahu itu menimbulkan keprihatinan banyak pihak, dan sebelum keberangkatan PM Israel itu ke Amerika Serikat, Presiden Perancis Jacques Chirac mendesak Israel agar segera menjelaskan apakah Tel Aviv bermaksud melanjutkan proses perdamaian Timur Tengah.

Chirac juga menyampaikan keprihatinannya bahwa ketidaktentuan akan memicu lahirnya kembali kerusuhan politik di wilayah tersebut.

Presiden Perancis itu, yang sedang mengunjungi Arab Saudi, menyatakan bahwa ketidaktentuan akan melahirkan "terorisme" bukanlah teori akademis tapi risiko nyata.

Sebab, tambahnya, ada pihak --baik perseorangan maupun organisasi-- yang memiliki kepentingan dengan kondisi yang buruk, proses yang ditinggalkan, dan dalam berlanjutkan "terorisme".

Sementara itu bekas menteri luar negeri AS, Henry Kissinger, dilaporkan berpendapat bahwa Israel harus melanjutkan proses perdamaian dan Netanyahu akan segera menyadari masalah tersebut.

Sejak Netanyahu mengalahkan arsitek perdamaian Arab-Israel, Shimon Peres dari Partai Buruh, proses perdamaian memang macet sementara AS meminta negara-negara Arab "agar menunggu dan melihat" apa yang akan dilakukan tokoh Partai Likud tersebut.

Cobaan buat AS

Kini, dalam lawatannya sebagai perdana menteri termuda Israel, Netanyahu (46) -- yang mengalahkan tokoh dukungan AS dalam pemilihan umum tanggal 29 Mei -- akan menguji sikap AS.

Selama kampanye pemilihan umum, Washington tentu saja mendukung perintis proses perdamaian dengan Arab, Shimon Peres. Namun kekalahan Peres membuat Presiden AS Bill CLinton mengalihkan dukungan kepada pemimpin Likud itu, yang menyulut percekcokan dengan kebijakan untuk mendorong pembangunan permukiman Yahudi dan menolak prinsip pertukaran tanah bagi perdamaian, yang menjadi landasan proses perdamaian Timur Tengah.

Netanyahu juga pernah membuat gusar pendukung kuat Israel di dunia internasional tersebut. Ketika menjadi deputi menteri luar negeri tahun 1990, ia menyatakan kebijakan AS di Timur Tengah dilandaskan atas "pemutarbalikan" kenyataan dan kebohongan.

James Baker, menteri luar negeri AS saat itu, melarang dia datang ke Departemen Luar Negeri AS, dan belakangan menyatakan bahwa "bahasanya, dari seorang diplomat senior negara bersahabat, tak dapat diterima baik".

Sekarang Netanyahu membuat Clinton, yang sebentar lagi akan menghadapi proses pemilihan umum di negerinya, dihadapkan pada tantangan untuk meyakinkan negara-negara Arab bahwa ia "ingin menjadi penengah yang jujur" dalam proses perdamaian Timur Tengah.

Clinton boleh jadi takkan menekan Israel dan menghadapi risiko kehilangan suara dari para pemilih keturunan Yahudi, sementara saingannya dari Partai Republik, Bob Dole, dalam kampanyenya mengatakan akan memindahkan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Jerusalem.

Namun, kedua orang tersebut dilaporkan berusaha mengesampingkan perbedaan pendapat di antara mereka meskipun Netanyahu disebut-sebut justru akan menekan AS agar memperlambat proses perdamaian Timur Tengah.

Betapapun, kalau Netanyahu tetap melaksanakan janjinya untuk menciptakan "boom" permukiman Yahudi di wilayah Palestina, ia akan menempatkan dirinya di titik tubrukan dengan Washington, yang memandang daerah-daerah kantung Yahudi di wilayah Palestina sebagai penghambat bagi proses perdamaian Timur Tengah. (8/7/96 22:25)

Tidak ada komentar: