Minggu, 15 Juni 2008

SERANGAN ISRAEL PERSATUKAN RAKYAT LIBANON

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 21/4/96 (ANTARA) - Sebelas hari serangan Israel terhadap posisi Hizbulah di Libanon Selatan belum memperlihatkan tanda akan dapat menundukkan para petempur faksi dukungan Iran itu, tapi malah menghasilkan kejadian yang tak pernah tercapai sebelumnya, persatuan rakyat.

Karena merasa negara mereka menjadi "bulan-bulanan" aksi militer Israel, rakyat Libanon baik dari sayap kanan maupun kiri dilaporkan bersatu -- kejadian yang selama ini justru gagal dicapai pemerintah Perdana Menteri Farik Al- Hariri.

Sejak berakhirnya 15 tahun perang saudara pada tahun 1990, pemerintah Libanon telah berusaha menyatukan berbagai faksi di negerinya.

Pemimpin masyarakat Maronit Kristen di Libanon, Pendeta Nasrallah Sfeir, dilaporkan AFP mengutuk operasi kotor Israel untuk melakukan pemusnahan kolektif warga Libanon.

Ia merujuk kepada pembantaian yang diakibatkan oleh pemboman Israel terhadap komplek tentara PBB di desa Cana, Libanon Selatan.

Pembomban sengit tersebut dalam satu hari menewaskan 98 pengungsi, kebanyakan anak-anak dan wanita.

"Tragedi saat ini menyatukan rakyat Libanon," kata Nasrallah sebagaimana dikutip kantor berita itu.

Sejauh ini operasi balas dendam militer Israel terhadap Libanon Selatan telah menewaskan 159 orang dan melukai 316 orang.

Pemimpin spiritual Hizbullah Syeikh Mohammad Hussein Fadlallah memuji kenyataan bahwa masyarakat sayap kanan dan kiri di Libanon memperlihatkan persatuan untuk pertama kali dalam konflik ini.

Sebagaimana dikutip, ia mengatakan, "Orang Islam dan Kristen di Libanon bersatu dalam menghadapi agresi Israel."

Banyak rakyat Libanon diberitakan percaya serangan Israel di Libanon Selatan bukan ditujukan kepada Hizbullah, tapi untuk merusak upaya guna membangun kembali Libanon dan menarik penanam modal asing.

Seorang profesor dari American University of Beirut memberi bukti pendapat rakyat Libanon tersebut. Israel, katanya, membom dua instalasi pembangkit listrik di luar kota Beirut sehingga Libanon kembali harus menjatah listrik bagi rakyatnya, sementara pemboman tak kenal henti Israel terhadap Libanon Selatan memaksa lebih dari 300.000 orang mengungsi ke bagian utara negeri itu.

Kejadian tersebut memicu timbulnya kesimpulan bahwa Israel bukan sedang menyerang satu kelompok atau faksi tapi seluruh proses pembangunan kembali di Libanon.

Sebelumnya rakyat di Libanon Utara tidak mengacuhkan perjuangan bersenjata Hizbullah guna menentang pendudukan "zona keamanan" oleh Israel di Libanon Selatan.

Tetapi sekarang muncul dukungan luas bagi Hizbullah serta rakyat yang dipaksa mengungsi dari Libanon Selatan akibat pemboman membabi-buta Israel.

Dukungan bagi Hizbullah dan kecaman terhadap Israel bukan hanya merebak di Libanon, kejadian serupa juga muncul di di Tepi Barat Sungai Jordan; ribuan orang Arab Israel, anggota faksi Druze dan orang Palestina dilaporkan memprotes operasi militer Israel di Libanon Selatan.

Penduduk Arab Israel diberitakan bentrok dengan polisi selama empat jam di kota bagian utara Israel, Nazareth. Sebelumnya tak pernah ada berita bentrokan antara orang Arab dan Yahudi di kota itu.

Seorang pemandu wisata dari Jerusalem bahkan pernah menggambarkan bahwa Nazareth adalah bukti betapa orang Arab dan Yahudi sebenarnya dapat hidup berdampingan.

Tak seimbang

Bentrokan antara Hizbullah dan militer Israel bukanlah konflik antara dua kubu yang memiliki kekuatan setimpal, dan kantor berita Reuter bahkan menyatakan gambaran Daud melawan Jaluth (David vs Goliath) sama sekali tak cocok untuk melukiskan kejadian di Libanon saat ini.

Dari semenanjung Tyre, kota terbesar Libanon dekat perbatasan dengan jalur perbatasan yang diduduki Israel di Libanon Selatan selama hampir dua dasawarsa, penduduk yang tetap tinggal dilaporkan dapat menyaksikan aksi militer pemerintah Yahudi.

Di tengah derum pesawat tempur Israel, pejuang Hizbullah dikatakan menembakkan satu roket Katyusha dari daerah perbukitan ke wilayah utara Israel.

Lalu selang beberapa menit serentetan bom artileri menghujani daerah tersebut, dan pesawat-pesawat pembom F-16 ikut berlaga sementara helikopter-helikopter bermeriam Israel beterbangan di daerah pantai guna memandu serangan artileri dan udara.

Dengan menggunakan kemampuan militer canggihnya, Israel menghajar daerah Libanon sedangkan para petempur Hizbullah hanya mengandalkan roket-roket Katyusha. Faksi itu tidak memiliki rudal dan senjata yang digunakan para petempurnya pun hanyalah senapan serang AK-47 yang telah mereka miliki selama beberapa dasawarsa.

Senjata andalan mereka hanyalah roket-roket Katyusha, yang dibuat oleh bekas Uni Sovyet selama Perang Dunia II, dan mortir. Senjata tersebut sebenarnya disiapkan untuk ditembakkan secara berbarengan dalam menghadapi arus tentara Jerman lebih setengah abad lalu.

Meskipun demikian kemampuan para petempur Hizbullah dalam menggunakan roket Katyusha -- meskipun dampak yang ditimbulkan tidak hebat dibandingkan dengan aksi balas dendam penguasa Yahudi -- telah menarik perhatian Israel dan dunia.

Dengan menggunakan peluncur yang diberi waktu, para petempur dapat menembakkan roket Katyusha sementara sang penembak sudah menjauh.

Namun betapa pun tak seimbangnya persenjataan mereka, dan betapa pun hebatnya dampak serangan Israel terhadap rakyat Libanon, masyarakat dunia, PBB dan Dewan Keamanannya sama sekali "impoten" jika berhadapan dengan Israel.

Meskipun masyarakat internasional mengecam dan mengutuk perbuatannya, Israel tak pernah mengekang diri apalagi menghentikan pembantaian sipil. Semua resolusi Dewan Keamanan PBB tak pernah membuat Israel mundur dari wilayah yang didudukinya di Libanon Selatan.

Dengan alasan untuk membungkam serangan Katyusha oleh Hizbullah, Israel tak segan-segan menyerang sasaran sipil dan sekali lagi rakyat tak berdosa menjadi korban.
(21/04/96 18:36)

Tidak ada komentar: