Jumat, 06 Juni 2008

ISYARAT MODERAT BUYOYA TAK SIRNAKAN KEKHAWATIRAN

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 29/7/96 (ANTARA) - Pada saat Pierre Buyoya selaku pemimpin militer Burundi menyampaikan sikap moderat, Senin, pemimpin oposisi dari etnik Hutu berikrar akan lanjutkan perjuangan, tetapi membuka pintu bagi pembicaraan gencatan senjata walau kerusuhan baru dilaporkan terjadi di negeri tersebut menyusul kudeta hari Kamis (25/7).

Akhir pekan lalu, para pemimpin Afrika Timur dilaporkan mengakhiri pembicaraan mereka mengenai krisis di Burundi tanpa komentar apa-apa, dan pada saat yang sama suku Hutu khawatir akan menghadapi masa paling sulit dalam hidup mereka.

Pada taklimat ketiganya yang disiarkan Reuter, Buyoya (pensiunan mayor berusia 46 tahun) berjanji akan memulihkan disiplin dalam tubuh militer dan mengatakan akan menghentikan pengusiran pengungsi Hutu dari Rwanda.

Menurut Buyoya, pemerintahnya takkan memaksa pengungsi Hutu dari Rwanda kembali ke kampung halaman yang telah mereka tinggalkan karena takut terhadap aksi balas dendam suku Tutsi di negara tetangga Burundi itu sehubungan dengan pembantaian tahun 1994 oleh suku Hutu.

Sementara itu, AFP melaporkan Buyoya minta dukungan dunia luar bagi tindakannya, tapi juga memperingatkan diplomat-diplomat Barat agar tidak mengizinkan anggota pemerintah terguling "menyampaikan pesan yang akan menimbulkan perpecahan".

Burundi telah sekitar tiga tahun dicengkeram kerusuhan etnik antara suku Hutu, yang berjumlah 85 persen dari 5,6 juta penduduk negeri tersebut, dan suku Tutsi, yang mendominasi militer. Tak kurang dari 150.000 orang telah tewas dalam berbagai bentrokan.

Ia juga berusaha meyakinkan masyarakat internasional bahwa ia hanyalah "pemimpin sementara" sebelum pemerintah peralihan dibentuk dan semua rakyat Burundi "yang mencintai perdamaian" dapat duduk dalam pemerintah tersebut.

Menurut laporan radio pemerintah, Buyoya belakangan bertemu dengan tokoh-tokoh suku Hutu dan Tutsi guna mendesak mereka agar tetap tenang tapi siap mematuhi seruan untuk membela negara.

Buyoya dipandang banyak kalangan sebagai orang yang cukup moderat dalam kancah politik Burundi dan pernah menguasai negeri itu dari tahun 1987 sampai 1993, ketika ia menyerahkan kekuasaan kepada Melchior Ndadaye, orang Hutu yang terpilih dalam pemilihan umum bebas pertama di negeri itu.

Ndadaye terbunuh dalam suatu kudeta oleh tentara setelah empat bulan berkuasa. Menurut politisi Hutu, Buyoya terlibat dalam kudeta tersebut, yang secara teknis gagal tapi diikuti oleh pembantaian 50.000 orang.

Buyoya, yang pernah mengikuti pendidikan di Belgia, Perancis dan Jerman, dipandang tidak terlalu ekstrim seperti Kolonel Jean-Baptiste Bagaza, yang digulingkannya sebagai presiden dalam kudeta tahun 1987.

Oposisi melunak

Sementara itu, pemimpin oposisi dari suku Hutu, Leonard Nyangoma yang juga mantan menteri dalam negeri yang memimpin Dewan Nasional bagi Pertahanan dan Demokrasi (NCDD) menyatakan, akan menggerakkan rakyat agar menentang kudeta yang dipimpin Buyoya.

Meskipun demikian pemimpin organisasi yang sayap militernya, Pasukan bagi Pertahanan dan Demokrasi (FDD), terus memerangi militer Burundi tersebut menyatakan bahwa ia bersedia merundingkan gencatan senjata dengan pemimpin militer tapi bukan dengan Buyoya.

"Kami bukan mengobarkan perang demi pertempuran; kami dari dulu selalu membuka kemungkinan bagi perundingan," katanya.

Menurut Nyangoma, setiap perundingan mesti mencakup peran militer, paramiliter dan polisi serta sistem peradilan, dan pengungsi serta orang-orang yang telah kehilangan tempat tinggal.

"Pemulihan keabsahan undang-undang tak dapat diperdebatkan," katanya.

Pada saat yang sama harapan bagi demokrasi di Burundi disebut-sebut "belum pudar". Menurut laporan, banyak pengulas Eropa juga menahan diri dan tidak mengutuk aksi kudeta Buyoya dan menyampaikan nada yang lebih lunak dibandingkan dengan yang disampaikan para pemimpin Afrika.

Kecaman masyarakat internasional terhadap tindakan Buyoya belakangan malah kelihatan pudar, dan berganti dengan sikap "menunggu apa yang akan terjadi". Sementara itu, Buyoya diduga akan mengulangi tindakannya setelah menggulingkan Bagaza tahun 1987.

Pudarnya sikap keras masyarakat internasional tersebut terjadi setelah tersiar laporan dari Washington bahwa diplomat-diplomat AS mengadakan pembicaraan dengan Buyoya dan bukan mengucilkannya sebagaimana dijanjikan beberapa saat sebelumnya.

Banyak pengulas dilaporkan juga terperangah dengan sikap reaksi pertama yang disampaikan secara hati-hati oleh Belgia, bekas penguasa kolonial di Burundi, terhadap kudeta di Bujumbura.

Belgia dilaporkan hanya berkomentar bahwa Brussel menyesal pergolakan etnik di Burundi tak dapat diselesaikan melalui saluran perdamaian.

Kekhawatiran

Pada saat sikap dunia mulai berubah, mantan Presiden Tanzania Julius Nyerere --yang mengemban tugas untuk melaksanakan Persetujuan Arusha-- menghendaki diambilnya sikap keras.

Bahkan, kalau mungkin, penjatuhan sanksi guna melumpuhkan pemimpin militer Burundi sebelum para pemimpin Afrika Timur mengakhiri pertemuan mereka. Sementara itu, meskipun Buyoya menyatakan takkan mengusir mereka, para pengungsi Hutu khawatir Bujumbura akan memulangkan mereka ke Rwanda.

Burundi sejak tahun 1994, telah menjadi tempat mengungsi puluhan ribu orang Hutu Rwanda yang khawatir terhadap pembantaian oleh suku Tutsi di negeri mereka.

Banyak pengungsi tersebut mengkhawatirkan aksi balas dendam suku Tutsi jika mereka pulang, sementara itu Bujumbura sebelumnya menuduh mereka bersekongkol dengan pemberontak Burundi.

Sebanyak 15.000 orang Hutu telah dipaksa pulang ke Rwanda oleh pemerintah Sylvestre Ntibantunganya, yang digulingkan Buyoya dalam kudeta hari Kamis pekan lalu.

Kekhawatiran juga disampaikan oleh Nyerere, yang mendapat tugas dari Organisasi Persatuan Afrika (OAU) untuk menyelesaikan krisis Burundi melalui Persetujuan Arusha, justru mengenai nasib Burundi.

Ia mengatakan, tak tertutup kemungkinan Burundi akan menghadapi keadaan yang sama dengan Rwanda, tempat pembantaian sampai satu juta orang pada tahun 1994.

Alasannya, Burundi memiliki susunan etnik yang sama dengan tetangga Afrika Tengah-nya. Pembantaian terjadi di Rwanda setelah suku Tutsi mengambilalih kekuasaan dan menyerang suku Hutu.

Persetujuan Arusha mengusulkan pengiriman tentara dari Uganda, Tanzania dan Ethiopia ke Burundi guna memulihkan kedamaian. Bahkan, kalau perlu tanpa persetujuan Bujumbura. Namun, baik Buyoya maupun Ntibantunganya telah menentang campur tangan asing. Rencana itu dicapai di Arusha, Tanzania, tanggal 25 Juni.

Penolakan pihak-pihak di Burundi tersebut berpangkal pada dua pemikiran yang berbeda. Etnik minoritas Tutsi, yang menguasai militer, khawatir akan kehilangan posisi yang telah lama dikuasainya. Sementara itu, suku Hutu khawatir kehadiran pasukan luas akan membuat mereka kehilangan kesempatan untuk menang melawan suku Tutsi.

Banyak pengulas berpendapat militer Burundi, yang berkekuatan 20.000 personil, dapat dengan mudah dikalahkan oleh kekuatan gabungan tetangga-tetangganya yang jauh lebih tangguh dan dapat memotong jalur bantuan.

Namun, pengiriman pasukan ke Burundi juga memiliki risiko tak ringan, biaya.

Jika tetangga-tetangga Burundi membentuk pasukan gabungan, maka biaya yang diperlukan diduga akan mencapai jutaan dolar AS per hari, tanggung jawab yang tak mampu diemban negara-negara Afrika sedangkan upaya pengumpulan dana dari negara-negara donor sulit diharapkan.

Selain itu, Burundi masih ada memiliki risiko lain, yaitu kemungkinan jatuhnya korban jiwa jika terjadi "pukulan balik" dari pihak-pihak yang bertikai di negerinya.

Sejauh ini, Eropa dan Amerika Serikat tidak memberi isyarat akan bersedia mendanai operasi militer penuh risiko sedangkan tujuannya tak jelas oleh negara-negara Afrika di Burundi.

Tentara Afrika juga dilaporkan kurang memperoleh pelatihan dalam hal kerjasama dan tidak memiliki persenjataan canggih. Contoh yang ada ialah pasukan Afrika Barat di Liberia sejak tahun 1990 tak mampu mewujudkan perdamaian di negeri tersebut. (29/07/96 21:52)

Tidak ada komentar: