Sabtu, 14 Juni 2008

IMPIAN AS DI TIMTENG HADAPI MASA SURAM

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 1/7/96 (ANTARA) - Harapan AS untuk mewujudkan perdamaian di Timur Tengah agaknya menghadapi tantangan dengan terpilihnya tokoh garis keras Likud, Benjamin Netanyahu, sebagai PM baru Israel dan peledakan truk bensin di pangkalan militernya di Al-Khobar dekat Dahran Arab Saudi, Juni lalu.

Padahal baru sekitar lima bulan lalu AS mengira hampir dapat menggolkan jalur perundingan Israel-Suriah -- yang dianggap kunci untuk mengakhiri kemelut Arab-Israel di wilayah yang mudah bergolak tersebut.

Suriah, yang menjadi kekuatan pendukung utama pemerintah Libanon, saat itu memperlihatkan minat baru dalam perundingan, dan bekas perdana menteri Shimon Peres bersedia mengembalikan Dataran Tinggi Golan, yang diduduki Tel Aviv kepada Damaskus sebagai imbalan perdamaian.

Namun gelombang serangan bom bunuh diri oleh gerilyawan garis keras Palestina di Israel membuat Peres tersungkur dalam pemilihan presiden melawan Netanyahu.

Kemenangan Netanyahu juga disebut-sebut sebagai kembalinya Israel ke era fanatisme dan agama karena pemerintah Netanyahu mendapat dukungan partai-partai agama, yang umumnya menganut garis tak kenal kompromi dengan Arab.

Presiden AS Bill Clinton dan Menteri Luar Negeri Warren Christopher pun dibuat "balik-bakul" oleh sikap Netanyahu menyusul kemenangan Partai Likud atas Partai Buruh.

Sebelum pemungutan suara, Clinton dilaporkan Reuter memberi dukungan kepada Peres dan kebijakannya untuk mengambil risiko demi perdamaian. Tetapi mendekati saat pemberian suara, Clinton mulai "mengalihkan haluan" dengan menyatakan AS tetap mendukung Israel tak perduli siapapun yang terpilih sebagai perdana menteri.

Pekan terakhir Juni AS mengirim Christopher ke Israel, dan setelah pertemuan dengan Netanyahu menteri luar negeri Washington tersebut menyatakan bahwa "persetujuan tanah bagi perdamaian hanya garis panduan dan perlu penyesuaian". Dewan Keamanan PBB, dalam Resolusi- resolusi Nomor 242 dan 338, telah mendukung rumus "tanah bagi perdamaian" untuk mengakhiri konflik Arab-Israel.

Menurut UPI, Christopher bahkan mendesak negara-negara Arab agar berunding "dengan sungguh-sungguh dan bukan hanya berdoa".

Di mata Christopher negara-negara Arab selama ini rupanya tidak serius dalam perundingan dengan Israel, sedangkan kunci perdamaian terdapat di tangan pemerintah Yahudi, dan Israel selalu berkilah minta jaminan soal keamanan sebelum menyerahkan seluruh wilayah Arab yang didudukinya.

Sejak perundingan Madrid dilancarkan pada 1991, pemerintah Israel telah beberapa kali menunda penarikan militer dari wilayah-wilayah Palestina di Tepi Barat Sungai Jordan setiap kali terjadi serangan bunuh diri oleh gerilyawan garis keras Palestina.

Christopher sendiri menyeru negara-negara Arab agar tidak membiarkan orang seperti Netanyahu merusak proses perdamaian, setelah ia gagal memperoleh jaminan dari perdana menteri baru Israel itu untuk mencabut sikap kerasnya.

Dalam kampanye pemilihan umumnya, Netanyahu menyatakan tak setuju dengan berdirinya negara Palestina, takkan mengembalikan Dataran Tinggi Golan, takkan menyerahkan Jerusalem Timur dan takkan mewujudkan penarikan militer Yahudi dari Al-Khalil, dan akan meningkatkan pembangunan permukiman di Tepi Barat.

Penarikan dari kota makam para nabi itu sendiri telah tiga bulan tertunda pada saat Netanyahu menjadi perdana menteri.

Setelah tidak berhasil "membujuk" Netanyahu, Christopher malah menganggap negara-negara Arab "kurang serius" dalam berunding.

Tanda ketakpastian?

Belum lagi AS dapat melunakkan pendirian tokoh garis keras Israel, Washington diguncang peledakan truk bensin sehingga menewaskan 19 orang Amerika dan melukai 300 orang lagi, termasuk yang tidak mempunyai sangkut-paut dengan kepentingan AS di Arab Saudi.

Itu adalah pemboman kedua dalam tujuh bulan terhadap kepentingan Amerika di kerajaan strategis di Teluk, negara yang sudah diincar AS sejak jaman mendiang presiden Theodore Roosevelt.

Pada 1945, Roosevelt mendapat jaminan dukungan bagi perjuangan AS melawan Jerman dari cikal-bakal negara Arab Saudi, Raja Abdul Aziz As-Sulud, tapi tidak bagi berdirinya negara Yahudi.

Kini Riyadh masih tetap menjadi penyokong kegiatan Wasington di Teluk tapi mau tak mau menerima kehadiran negara Yahudi di wilayah tersebut.

Meskipun demikian, persetujuan kepala pemerintahan bukan berarti penerimaan otomatis oleh rakyat. Dua kali serangan bom terhadap kepentingan AS di negara penghasil minyak terbesar di dunia itu menjadi bukti.

Setelah serangan paling akhir tersebut, seorang pemimpin oposisi Saudi di Dubai memperingatkan bahwa penghukuman dan tindakan keras keamanan takkan berhasil menghentikan gelombang pemboman anti-AS di Arab Saudi.

Pemimpin Gerakan bagi Pembaharuan Islam di Arab (MIRA), Saad Al-Faqih, mengatakan kepada AFP bahwa serangan itu "bukan yang terakhir, dan serangan seperti itu takkan berakhir", meskipun ia menyatakan tak terlibat dalam peledakan truk bensin tersebut.

Banyak ahli juga dilaporkan menduga ketegangan dan kerusuhan akan berlanjut tanpa dapat diramalkan kapan akan berakhir. Itu merupakan perwujudan penentangan yang meningkat oleh kelompok garis keras terhadap kehadiran militer Amerika di Arab Saudi.

Seorang pengarang Palestina di AS, sebagaimana dilaporkan, berpendapat bahwa Arab Saudi memiliki masalah serius di bidang ekonomi, sosial, politik dan juga suksesi. "Semua masalah tersebut bersatu secara bersamaan sehingga menimbulkan ketegangan luar biasa."

Sejak 1990, ketika Arab Saudi mengizinkan pasukan koalisi yang dipimpin AS untuk melindunginya dari kekuatan Irak, prajurit Barat telah memperlihatkan pengaruhnya di kerajaan yang mulanya tertutup itu.

Cetuskan kecendrungan

Terlepas dari pemboman di Arab Saudi, sikap anti-damai Netanyahu sejauh ini mencetuskan tiga kecenderungan di kalangan negara-negara Arab.

Pertama kelompok garis keras seperti Suriah menyerukan pembekuan hubungan dengan Israel; tindakan yang bisa mengakibatkan pengucilan kembali Israel oleh negara-negara Arab.

Harian resmi pemerintah Suriah, Ath-Thawra, yang dikutip AFP mewartawakan bahwa para pemimpin Arab harus menyelaraskan tindakan politik dan melarang semua tindakan sepihak termasuk normalisasi hubungan dengan Israel.

Presiden Libanon Elias Hrawi tentu saja mendukung sikap Suriah dan meminta para pemimpin Arab agar tidak melakukan tindakan yang menjurus kepada normalisasi hubungan dengan Israel karena "perdamaian harus dicapai lebih dulu sebelum hubungan normal dibina dan bukan sebaliknya".

Kelompok kedua, seperti Jordania, mendukung Netanyahu dan berpendapat bahwa "masih ada komitmen untuk melanjutkan apa yang telah dicapai".

Kelompok ini mengingini negara-negara Arab merasa optimistis bahwa kemajuan akan tercapai.

Kelompok ketiga seperti Mesir ingin memperingatkan Israel tapi tak bermaksud membekukan hubungan dengan Israel.

Negara-negara Arab yang masuk dalam kelompok ini ingin memperingatkan Tel Aviv bahwa Israel tak dapat menyampaikan keluhan jika Netanyahu bersikap negatif dan menolak perundingan mengenai Jerusalem serta tak mau mundur dari Golan.

Menurut kelompok ini, pihak Arab akan kehilangan kepercayaan bahwa Israel berminat mewujudkan perdamaian jika Netanyahu tidak menghormati persetujuan untuk mundur dari Al-Khalil.

Namun Netanyahu juga telah memberi jawaban bahwa ancaman tidak mengesankan buat kami, dan Amerika Serikat serta-merta mendesak negara-negara Arab agar "tidak membanting pintu di depan muka Netanyahu".

Untuk tetap menghidupkan impian AS di Timur Tengah, Clinton menyeru negara-negara Arab agar memberi kesempatan kepada pemimpin Likud dan tidak "menghakimi" bahwa Netanyahu tak dapat melanjutkan proses perdamaian. (2/07/96 10:52)

Tidak ada komentar: