Minggu, 15 Juni 2008

SERANGAN ISRAEL KE LEBANON, PUKULAN BARU BAGI PROSES PERDAMAIAN

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 16/4/96 (ANTARA) - Tindakan Perdana Menteri Israel Shimon mengerahkan pasukan guna menggempur posisi gerilyawan Hizbullah tampaknya hanya akan membuat makin jauhnya perdamaian antara kedua negara itu.

Sampai hari Selasa (16/4) militer Israel telah enam hari melancarkan serangan yang tidak memperlihatkan tanda-tanda kemenangan yang diperlukan Peres atas gerakan pro-Iran tersebut guna memperkuat posisinya dalam pemilihan umum mendatang di Israel. Israel terus menggempurkan kota pelabuhan Tyre, yang dianggap sebagai kubu Hizbullah di Lebanon.

Beberapa utusan negara Eropa --sebagaimana dilaporkan kantor-kantor berita trans-nasional-- berpendapat bahwa serangan Israel selama satu pekan terakhir ini sama sekali tidak "melukai" Hizbullah apalagi sampai menimbulkan pertentangan antara pemerintah Lebanon dan rakyatnya.

Kerusuhan itu bahkan diberitakan meluas akhir pekan lalu, ketika helikopter-helikopter Israel menembakkan roket ke posisi militer Suriah di Beirut setelah beberapa roket Katyusha ditembakkan Hizbullah dari Lebanon mengakibatkan kerusakan lebih besar dan mulai merenggut korban jiwa.

Bentrokan itu dipandang banyak kalangan menambah lebar jurang pemisah antara Israel, Lebanon dan Suriah, dan tanpa sadar Israel makin terperosok ke dalam lingkaran permainan kelompok-kelompok yang anti-perdamaian Arab-Israel.

Sementara perundingan Lebanon-Israel tertunda paling cepat sampai pemilihan umum Israel, senjata makin "keras berbicara" dan memperkuat posisi kelompok "hawk" (garis keras) di kedua belah pihak.

Peres, yang memimpin pemerintah sayap dovish (garis lunak) dan sedang berjuang mempertahankan kedudukan dalam pemilihan umum tanggal 29 Mei, telah mendapat tekanan rakyat agar meningkatkan tindakan balas dendam atas serangan roket Hizbullah terhadap bagian utara negara Yahudi tersebut.

Guna mengatasi tekanan itu, pemerintah Peres bereaksi dengan berusaha menekan pemerintah Beirut dan Suriah --yang masih menempatkan 35.000 prajurit di Lebanon-- untuk menghentikan serangan Hizbullah dengan keyakinan bahwa Suriah dapat menghentikan "aksi milisi Syiah tersebut, kalau mau", tindakan yang sejauh ini tak pernah dilakukan Damaskus.

Sementara itu hari Jumat, Radio Pemerintah Suriah dilaporkan menuduh Peres merusak perdamaian dengan negara- negara Arab untuk memuaskan para pemberi suara di negerinya.

Menurut radio tersebut, serangan udara dan artileri Israel takkan membuat rakyat Yahudi hidup dalam kedamaian, tapi hanya akan memperkuat perlawanan atas pendudukannya. Israel menduduki jalur perbatasan yang dinyatakannya secara sepihak sebagai "Zona Keamanan" di Lebanon Selatan.

Peres, yang telah menyatakan bersedia menyerahkan Dataran Tinggi Golan kepada Suriah sebagai imbalan bagi jaminan keamanan bagi Israel, tampaknya berharap Presiden Suriah Hafez Al-Assad akan lebih suka berdamai dengan pemerintahnya dibandingkan dengan pemimpin Partai Likud, Benjamin Netanyahu --yang menentang penarikan Israel.

Meskipun demikian banyak pengulas mempertanyakan inti prakiraan tersebut.

Keraguan itu berlandaskan bahwa Peres kelihatannya sedang berusaha menghimpun dukungan guna meraih kemenangan dalam pemilihan umum mendatang di Israel.

Musuh bebuyutan

Sementara gempuran Israel terus berlanjut, Dewan Keamanan PBB tak mampu mengambil keputusan guna menghentikan pertikaian antara dua musuh bebuyutan Israel dan Hizbullah.

Duta Besar Lebanon di PBB Samir Moubarak, Senin malam, menyeru Dewan Keamanan agar mengadakan pertemuan guna menghentikan dan mengutuk agresi Israel atas negaranya dan "memaksa negara Yahudi itu menarik pasukannya dari Lebanon".

Namun, utusan Israel Gad Yaacobi diberitakan membela "perjuangan" rakyatnya melawan gerilyawan Hizbullah, yang menembakkan roket-roket Karyusha ke dalam wilayah utara Israel.

Pada gilirannya, Presiden Dewan Keamanan Juan Somavia dari Chile menyimpulkan bahwa "semua orang yang telah berbicara merasa prihatin dan pertempuran, pertumpahan darah, serta aksi kekerasan mesti diakhiri selamanya".

Selain itu, ia juga menyatakan, bantuan kemanusiaan buat penduduk sipil --yang sekali lagi menjadi korban-- mesti disampaikan dan proses perdamaian harus dapat dipertahankan.

Kegagalan Dewan Keamanan untuk mencapai kata sepakat tampaknya muncul dari Amerika Serikat --penaja utama upaya perdamaian Timur Tengah yang menentang disahkannya tindakan oleh Dewan Keamanan.

Sebelumnya, Amerika Serikat --yang selalu mendukung Israel-- telah memperlihatkan keengganannya bagi penyelenggaraan pertemuan Dewan Keamanan guna membahas masalah serangan Israel terhadap Lebanon.

Banyak negara dilaporkan memahami keprihatinan Israel mengenai masalah keamanan rakyatnya, tapi lebih banyak lagi negara mendukung Lebanon dan menyatakan Israel mesti mundur dari apa yang disebut "Zona Keamanan", yang didudukinya sejak tahun 1978 di Lebanon Selatan.

Meskipun menyampaikan "simpatik buat penduduk sipil yang menjadi korban", Duta Besar AS di PBB Madeleine Albright mengatakan, Hizbullah "takkan dan tak dapat dibiarkan berhasil dalam upayanya merusak stabilitas".

Tindakan keras Hizbullah, katanya, bukan hanya merusak Israel dan prospek perdamaian Timur Tengah tapi juga "membahayakan keselamatan rakyat di Lebanon dan kedaulatan negara itu".

Pada saat yang sama Perancis melakukan tindakan yang lebih seimbang dan mengirim Menteri Luar Negeri Herve de Charette ke wilayah yang mudah bergolak tersebut.

De Charette, meski menyatakan lawatan tiga harinya ke Beirut dan Damaskus "semata-mata hanyalah misi pencari fakta", ia juga mengemukakan akan menyelidiki "kemungkinan bagi tercapai penyelesaian krisis Lebanon-Israel.

Meskipun demikian, ia mengatakan, masalah itu sangat rumit dan penyelesaian masih jauh dari jangkauan, serta "terlalu dini untuk memutuskan apa yang dapat mengakhiri krisis tersebut".

Ekonomi lumpuh

Saat serangan Israel memasuki hari kelima, banyak pengusaha dan pejabat Lebanon, menurut laporan, menuduh Israel melancarkan serangan itu guna melumpuhkan ekonomi Lebanon.

Serangan tersebut dikatakan mereka, bukan bertujuan politik atau keamanan, tapi perang ekonomi. Tuduhan itu dilontarkan karena Israel melancarkan serangan besar "hanya karena gempuran roket-roket Katyusha --yang memiliki jangkauan hanya sejauh 19 kilometer".

Israel dituding tak senang melihat Lebanon bangkit dari kehancuran setelah bertahun-tahun dibelit perang saudara, dan berusaha menghancurkan citra baik negeri tersebut.

Menteri Ekonomi Lebanon Yassin Jaber, ketika menyampaikan pendapat bahwa tetangga utara Lebanon itu akan menjadi pengeruk keuntungan utama dalam era pasca-perdamaian di Timur Tengah, mengatakan pula Israel bukan tak mungkin sedang berusaha menghapus Lebanon dari Timur Tengah.

Pemerintah Rafik Al-Hariri di Beirut, dengan program pembangunan kembali 10 tahun, berhasil memulihkan keyakinan penanam modal di negerinya.

Al-Hariri, yang juga adalah seorang jutawan, telah berulangkali menekankan perlunya untuk mempersiapkan Lebanon guna mencapai perdamaian dengan Israel dan menarik penanam modal asing agar ikut dalam pembangunan kembali Lebanon.

Kini akibat serangan Israel, yang telah menginjak- injak kedaulatan Lebanon, merusak keyakinan penanam modal asing dan mengganggu kelancaran proses perdamaian antara kedua negara tersebut. (16/04/96 19:38)

Tidak ada komentar: