Minggu, 15 Juni 2008

YELTSIN DAN ZYUGANOV SALING LIRIK MITRA KOALISI

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 17/6/96 (ANTARA) - Hasil sementara pemilihan umum Rusia pada hari Senin tampaknya tidak meleset dari perkiraan banyak pengulas sebelumnya, pertarungan Presiden Boris Yeltsin dan pemimpin komunis Gennady Zyuganov, yang masing-masing mulai melirik mitra koalisi sebelum pemungutan suara babak kedua yang diduga berlangsung tanggal 7 Juli.

Setelah hampir 90 persen suara dihitung hari Ahad, sebagaimana dilaporkan kantor-kantor berita transnasional, Yeltsin unggul atas saingan beratnya, Zyuganov, dengan 34,80 berbanding 32,31 persen, sementara pemimpin ultranasionalis Vladimir Zhirinovsky tersungkur dengan hanya 5,97 persen.

Pemimpin kelompok nasionalis Jenderal (purn.) Alexander Lebed menempati urutan ketiga dengan meraih 14,38 persen, diikuti oleh ahli ekonomi liberal, Grigory Yavlinsky, dengan 7,42 persen.

Karena kedua pesaing utama dalam pemilihan presiden Rusia itu diperkirakan takkan meraih mayoritas mutlak, dwi-tarung Yeltsin-Zyuganov, yang diduga akan berlangsung tanggal 7 Juli, kelihatannya tak terelakkan.

Yang menjadi persoalan sekarang, apakah orang-orang yang memberi suara buat calon mereka akan melakukan hal yang sama pada pemungutan suara babak kedua nanti, yang tak pernah dialami rakyat Rusia sebelumnya. Karena itu, para pembantu Yeltsin harus menggerakkan pendukung tokoh pembaruan Rusia tersebut agar memberi dukungan mereka tanggal 7 Juli.

Yeltsin dan Zyuganov diperkirakan mesti mengubah taktik agar dapat menambah kuat posisi masing-masing.

Sementara itu tim kampanye Yeltsin diberitakan takkan membuang waktu untuk mendekati pihak ketiga dalam pemungutan suara hari Ahad (16/6).

Pilihan saat ini jatuh pada Lebed, yang menempati urutan ketiga dan dalam kampanyenya berikrar akan memulihkan kebanggaan nasional Rusia serta menggilas korupsi.

Namun Lebed sendiri, menurut AFP, mungkin akan menetapkan persyaratan tegas sebagai imbalan kesediaannya beraliansi; setidaknya ia diduga mengincar jabatan menteri pertahanan kalau bukan perdana menteri.

Dalam perkembangan paling akhir hari Senin, Lebed diberitakan "membuka kartu" bahwa ia ingin mengadakan pembicaraan dini mengenai susunan pemerintah koalisi dengan Yeltsin, sementara Zyuganov juga mengincar tokoh nasionalis tersebut.

Lebed dilaporkan sebelumnya telah menyatakan ia mempunyai pandangan negatif mengenai tatanama bekas penguasa komunis dan mendukung pembangunan demokratik di negeri itu, bukan melangkah mundur.

Jurubicara Lebed, Vladimir Klimov, sebagaimana dikutip menyampaikan keyakinannya bahwa Lebed tak mungkin berkiprah ke sayap kiri.

Yeltsin juga diberitakan lebih suka mendekati Lebed ketimbang pemimpin ultranasionalis Zhirivosky, kendati Lebed tidak mempunyai partai dan akan sulit menjamin bahwa pendukungnya akan menyokong Yeltsin.

Pukulan buat Clinton

Sementara persaingan masih berlangsung di Rusia, banyak pengulas berpendapat jika Yeltsin kalah, itu akan menjadi pukulan keras terhadap Presiden AS Bill Clinton.

Clinton bulan lalu telah mengalami pukulan keras ketika pemimpin Buruh Israel Shimon Peres kalah tipis dari pemimpin Partai Likud Benjamin Netanyahu, karena sebelumnya presiden AS itu memperlihatkan dukungan buat arsitek proses perdamaian Timur Tengah, Shimon Peres.

Kini kemenangan Zyuganov akan memiliki dampak serius pada Amerika Serikat dan bahkan diperkirakan akan lebih buruk lagi terhadap Clinton.

Kebijakan luar negeri Clinton, meskipun kadang memberi hasil, "membentur karang" di Somalia, Haiti, dan Bosnia- Herzegovina, walaupun persetujuan perdamaian Dayton mengenai Bosnia membuahkan ketenangan di republik Baltik tersebut.

Kalau Yeltsin kalah, Clinton akan terpukul karena ia telah "me-Yeltsin-kan" hubungan AS-Rusia dan selama ini Clinton menutup komunikasi dengan pihak lain di bekas negara komunis itu.

Meskipun proses pembaruan ekonomi Rusia macet dan Moskow juga telah mengakibatkan pertumpahan darah di Chechnya, Clinton tetap mendukung Yeltsin.

Pertarungan "hitam-putih"

Terlepas dari dampaknya terhadap Clinton, pemilihan presiden Rusia saat ini juga disebut-sebut sebagai pertarungan "hitam-putihnya" masa depan dan masa lalu negeri tersebut.

Kemenangan Yeltsin dapat dipastikan bahwa pembaruan demokrasi akan berlanjut dan kemenangan Zyuganov akan membuat pembaruan tersebut mandeg atau malah berbalik.

Tetapi sebanyak 106 pemilih di Rusia juga tampaknya menghadapi pilihan sulit dan itu menjadi rahasia jiwa mereka, bukan persaingan politik yang akhirnya memutuskan hasil dalam perebutan jabatan yang dianggap lebih berkuasa dari tsar zaman lalu.

Siapapun yang muncul sebagai pemenang akan menikmati kekuasaan lebih besar dibandingkan dengan pemimpin terpilih manapun di Barat.

Kekuasaan tersebut termaktub dalam undang-undang dasar negeri itu, yang disahkan tahun 1993. Yeltsin telah menyerukan penyelenggaraan referendum untuk memperkokoh kekuasaannya.

Parlemen terdahulu Rusia tahun 1992 memberi presiden kekuasaan sementara untuk menerapkan pembaruan ekonomi, tapi kekuasaan lebih besar presiden baru disetujui setelah referendum tahun 1993.

Seorang pengamat yang dikutip AFP menyatakan undang- undang dasar yang diwujudkan Yeltsin menciptakan "bukan hanya republik presidentil, tapi republik super-presiden".

Sebagai presiden terpilih pertama, Yeltsin telah membentuk jabatan tersebut sejak hari pertamanya saat jabatan itu adalah posisi tertinggi pemerintah.

Presiden Federasi Rusia juga adalah panglima tertinggi angkatan bersenjata dan orang pertama yang menetapkan orang yang memimpin pemerintahan, yang mengetuai bank sentral, dan menjadi hakim agung.

Kekuasaan kian lama makin terpusat pada aparat presiden dan dewan keamanan, yang tidak melalui pemilihan, kabinet intern yang diangkat dan diketuai oleh Yeltsin.

Presiden Rusia dapat memveto badan legislatif pada tingkat negara bagian, majelis rendah parlemen. Presiden juga berhak membubarkan parlemen jika anggotanya berani memberi suara untuk menggulingkan pemerintahnya atau jika menolak perdana menteri yang dipilih presiden lebih dari dua kali.

Selain itu, jika dewan legislatif ingin mencopot presiden, badan tersebut juga akan menghadapi masalah lebih berat lagi. Undang-undang dasar yang dirancang Yeltsin menetapkan diperlukan sepertiga dari 450 anggota duma (parlemen) untuk minta pertanggungjawaban presiden dan dibutuhkan dua pertiga anggota dewan untuk mensahkan pemecatan presiden. (17/06/96 20:48)

Tidak ada komentar: