Minggu, 15 Juni 2008

PERES DILAHIRKAN UNTUK KALAH

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 3/6/96 (ANTARA) - Meskipun berhasil sebagai arsitek perdamaian Oslo, "Shimon Peres dilahirkan untuk menderita" setelah gagal untuk kelima kali dalam perebutan kursi perdana menteri di Israel, atau menarik dukungan rakyatnya agar menyokong proses perdamaian.

Selama masa kampanye bagi jabatan yang ia warisi dari pendahulunya Yitzhak Rabin -- yang dibunuh oleh seorang penentang perdamian dengan Arab -- Peres memang mendapat dukungan masyarakat internasional, tapi dalam perolehan suara ia harus mengakui kemenangan saingannya pemimpin Partai Likud, Benjamin Netanyahu.

Menurut penghitungan terakhir Netanyahu meraih 50,3 persen suara dan Peres 49,6 persen. Seandainya menangpun, Peres diduga takkan memperoleh mayoritas mutlak.

Ini untuk kelima kalinya Peres kalah dalam pemilihan umum melawan Partai Likud, keempat kekalahan lain terjadi pada 1977, 1981, 1984 dan 1988.

Kekalahannya saat ini juga mencerminkan anti-klimaks dari keberhasilannya di bidang lain, seperti keberhasilan yang dicapainya dalam menempa perdamaian dengan Palestina.

Karir politik Peres dipandang banyak kalangan memang tak segemilang mendiang Rabin.

Peres sebelumnya telah berusaha dan empat kali gagal untuk menghantar Partai Buruh meraih kemenangan dalam pemilihan umum Israel.

Keberhasilannya terbesarnya hanya dalam pemilihan umum 1984, ketika terjadi kebuntuan dan menghasilkan pembagian kekuasaan ia mendapat giliran menjadi perdana menteri 1984 sampai 1986.

Dalam pemilihan umum 1992, Partai Buruh unggul dari Likud tetapi dengan Rabin sebagai ujung tombak, dan bukan oleh Peres.

Peres, yang dilahirkan di Polandia dan diberi nama Shimon Persky, ikut berimigrasi ke Palestina -- yang saat itu berada di bawah mandat Inggris -- pada usia 11 tahun, dan pada usia 24 tahun ikut membela negara Yahudi dalam perang kemerdekaannya.

Selanjutnya, menurut laporan kantor-kantor berita trans-nasional, ia memimpin pengembangan kemampuan nuklir Israel dan memangku jabatan menteri mulai dari pertahanan, keuangan dan urusan luar negeri sampai perhubungan dan komunikasi.

Meskipun demikian ia dilaporkan tak pernah mengenakan seragam militer, yang menjadi salah satu lambang "dapat dipercaya" di negara yang dari dulu selalu menganggap dirinya terancam pengrusakan.

Peres (72) menaruh harapan pada "Timur Tengah yang baru" -- tempat kebaikan, rakyat dan gagasan bergerak dengan bebas.

Ia juga menjadi otak di balik proses perdamaian yang pada 1994 menghasilkan kekuasaan otonomi Palestina dan perdamaian dengan Jordania.

Kurang dukungan

Meskipun ia berhasil membuat Israel diterima oleh banyak pemerintah internasional, Peres menghadapi kesulitan untuk meraih dukungan di dalam negerinya. Rakyat Israel telah lama tidak membiarkannya menjadi pemimpin mereka.

Keraguan rakyat Israel bahwa Peres akan dapat menjaga keamanan mereka makin mencuat ketika terjadi serangkaian serangan bom bunuh diri oleh kelompok garis keras Februari dan Maret sehingga menewaskan puluhan orang Yahudi.

Untuk menghilangkan keraguan rakyatnya dan memperoleh dukungan dalam pemilihan umum, Peres berusaha melakukan tindakan keras dengan membekukan proses perdamaian dan melakukan penutupan wilayah otonomi Palestina, tindakan yang tak pernah terjadi selama 29 tahun pendudukan Israel.

Ia juga memerintahkan serangan udara, laut dan artileri selama 17 bulan April terhadap posisi Hizbullah di Libanon Selatan sehingga menewaskan tak kurang dari 170 orang, kebanyakan penduduk sipil.

Tetapi semua upaya Peres tampaknya tidak menghasilkan dukungan yang memadai baginya untuk mengalahkan Netanyahu. Dalam kampanyenya, Netanyahu mengambil sikap keras dan menyatakan takkan membicarakan masalah Jerusalem -- yang berdasarkan persetujuan dengan Palestina direncanakan dibahas pada tahun ketiga otonomi.

Netanyahu juga menyatakan tak bersedia mundur dari Dataran Tinggi Golan dan akan melanjutkan pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat Sungai Jordan, tindakan yang dibekukan oleh Peres untuk menjamin keberhasilan perdamaian dengan Palestina.

Banyak rakyat Israel tak tertarik dengan impian Peres untuk mewujudkan perdamaian dengan tetangga-tetangga Israel, lebih memilih Netanyahu dengan konsep pemeliharaan keamanan negara Yahudi.

Kurangnya dukungan bagi Peres disebabkan ia dianggap terlalu mudah menyerah kepada negara-negara Arab. Ia juga dianggap terlalu ingin mempertahankan kelanjutan proses perdamaian sehingga rela menyerahkan apa saja termasuk Jerusalem.

Palestina menuntut Israel mengembalikan Jerusalem Timur untuk dijadikan ibukota negara Palestina, tapi kelompok garis keras di Israel menghendaki kota bersejarah itu sebagai ibukota utuh negara Yahudi.

Peres, kendati pernah 15 tahun bertugas di kementerian pertahanan, dianggap kurang tegas tidak seperti Rabin, bekas kepala staf militer Israel, dalam menghadapi musuh- musuh Israel dan menjaga keamanan rakyat Israel sementara upaya perdamaian berlangsung.
(2/06/96 11:28)

Tidak ada komentar: