Minggu, 15 Juni 2008

PEMIMPIN DUNIA GESER SIKAP, PALESTINA MAKIN KHAWATIR

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 3/6/96 (ANTARA) - Dengan kalahnya calon Partai Buruh yang mendapat dukungan banyak pemimpin dunia dalam pemilihan umum Israel melawan pemimpin Likud, maka para pendukung Shimon Peres mengubah sikap, sementara rakyat Palestina bertambah khawatir mengenai nasib otonominya.

Kemenangan Benjamin Netanyahu atas Peres agaknya tak terlepas dari pergeseran cara hidup rakyat Israel saat ini, yakni pergeseran yang bergerak semakin ke kanan dan agamis, malah cenderung fundamentalis.

Peluang semacam itu tak dibiarkan lewat begitu saja oleh Netanyahu si pemimpin partai sayap kanan tersebut, kendati ia tak mendapat dukungan dunia internasional, karena toh yang memberi suara adalah rakyat Yahudi di negerinya bukan para kepala negara dari luar negeri.

Dengan angka tipis --50,3 berbanding 49,6 persen--, maka Netanyahu mengalahkan Peres dalam pemilihan umum Israel baru-baru ini.

Kemenangan tersebut membuat banyak pemimpin dunia segera mengubah sikap, kendati sebelumnya mereka menyeru agar rakyat Israel mendukung proses perdamaian, rujukan nyata mengenai dukungan buat Peres --yang menjadi salah seorang pelaku utama persetujuan otonomi PLO-Israel.

Banyak pengulas, menurut laporan kantor-kantor berita transnasional, khawatir terhadap penentangan nyata Netanyahu terhadap kebijakan tanah bagi perdamaian yang dirintis saingannya dari Partai Buruh takkan memberi harapan baik --kendati ada suara-suara penuh harap dari pendukung utama Israel, Washington, dan sejumlah negara lain.

Tetapi, banyak pengulas lain berpendapat bahwa tak tertutup kemungkinan terjadinya perubahan segera setelah Netanyahu memangku jabatan.

Sampai saat ini Netanyahu telah melontarkan gagasan yang justru membuat cemas para pendukung proses perdamaian Timur Tengah.

Mengenai perdamaian dengan Palestina, Netanyahu menyatakan, mengerti Palestina menghendaki negara bersenjata, Jerusalem sebagai ibukota, hak untuk pulang. Keinginan terakhir Palestina tersebut dianggapnya "hak untuk membanjiri Israel dengan pengungsi, sesuatu yang tak mungkin diperoleh rakyat Palestina karena itu berarti membahayakan kehidupan orang Yahudi".

Lalu bagaimana dengan masalah Jerusalem? Netanyahu menyatakan, Jerusalem telah menjadi ibukota negara Yahudi selama 3.000 tahun terakhir ini, dan akan tetap seperti itu bersatu dan terbuka bagi semua pemeluk agama.

Netanyahu juga merencanakan untuk menambah permukiman Yahudi di Judea dan Samaria (Tepi Barat), sedangkan mengenai penarikan militer dari Al-Khalil sama sekali tidak didukungnya.

Ia juga tak bersedia mengembalikan Dataran Tinggi Golan kepada Suriah.

Sewaktu ia menyampaikan semua rencana tersebut kepada para kepala negara di dunia, mereka menentangnya dan memberi dukungan kepada Peres. Kenyataan justru menunjukkan Netanyahu menang tipis dari Peres si Pemimpin Partai Buruh Israel.

Segera setelah Netanyahu terlihat unggul dalam perolehan suara, banyak pemimpin dunia menyampaikan suara "lunak" ke arah Netanyahu.

AS menyatakan bahwa kebijakan Washington terhadap Israel takkan berubah meskipun Clinton tetap menghendaki pemerintah baru Israel melanjutkan proses perdamaian.

Presiden Mesir Husni Mubarak dilaporkan menyampaikan permintaan agar Netanyahu "diberi kesempatan".

Di Libanon Menteri Luar Negeri Fariss Boueiz menyampaikan harapan bahwa "Perdana Menteri Netanyahu akan lain dengan calon Netanyahu".

Raja Jordania Hussein juga menyampaikan nada serupa dengan Menteri Luar Negeri Libanon, sementara banyak pemimpin negara Barat berharap Netanyahu akan bersedia melanjutkan proses perdamaian dengan negara- negara Arab.

Makin khawatir

Meskipun terjadi perubahan sikap para pemimpin dunia, rakyat Palestina malah bertambah khawatir karena lumpuhnya pembicaraan perdamaian akan membuat Palestina menghadapi pilihan lebih kecil.

Guna menyetujui persetujuan saat ini saja pemimpin Palestina Yasser Arafat sudah harus mengalah, sedangkan otonomi tersebut dapat dikatakan tak berbeda dengan yang ditawarkan tahun 1977 oleh Perdana Menteri Menachem Begin --yang juga dari Likud-- dan "Rencana Sharon", yang diajukan oleh tokoh garis keras Ariel Sharon --yang menyerukan pencaplokan beberapa wilayah Palestina di Tepi Barat.

Menurut laporan, seorang ahli ilmu politik dari Tepi Barat mengatakan bahwa saat perundingan dilanjutkan, jika berlangsung, maka Palestina akan menghadapi keadaan yang tak jauh berbeda dengan yang ditawarkan Begin dan Sharon dahulu.

Rencana-rencana tersebut, yang saat itu dikecam hebat oleh Arafat, hanya akan memberi Palestina wewenang urusan lokal sedangkan Israel menangani semua masalah yang berkaitan dengan keamanan. Keadaannya sekarang agak berbeda.

Walaupun Palestina sekarang memiliki otonomi di sebagian besar Jalur Gaza dan Tepi Barat, tentara Israel dan permukiman Yahudi tetap ada di kedua wilayah tersebut.

Dengan berkuasanya Netanyahu, dan jika ia benar-benar melaksanakan semua rencananya selama kampanye, maka keadaan Pemerintah Otonomi Palestina akan terjepit.

Sewaktu mengomentari rencana-rencana Netanyahu itu, Ribhi Y. Awad selaku Duta Besar Palestina di Jakarta menyatakan, rencana peningkatan jumlah migrasi Yahudi ke wilayah Palestina berarti Netanyahu ingin mengganti orang Palestina dengan orang Yahudi.

Hal itu adalah penafsiran berbahaya atas kebijakan pengalihan politik yang dianut Partai Likud dan para pendukungnya, kata Ribhi Awad.

Rencana tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum internasional dan proses perdamaian, dan dapat menyulut perang berdarah baru di wilayah yang mudah bergolak itu.

Saat ini terdapat tak kurang dari 180 permukiman Yahudi di wilayah Palestina, penambahan permukiman akan menjadi teror bagi rakyat Palestina, katanya.

Ia mengecam pernyataan Netanyahu mengenai Jerusalem, kebijakan yang dianggapnya sebagai pernyataan perang melawan Palestina.

Isi teks pidato Netanyahu, menurut Ribhi Awad, mencerminkan semangat fanatik dan ideologi Zionis sehingga tak mungkin memberi harapan bagi terwujudnya perdamaian.

Kekhawatiran pihak Palestina tersebut cukup beralasan, terutama setelah tersiar berita bahwa masih diragukan apakah Netanyahu akan bersedia bertemu dengan Arafat.

Seorang pejabat Partai Likud menyatakan, tak perlu untuk menaikkan tingkat kontak "selama Palestina tidak memenuhi kewajibannya terhadap Israel".

Dalam pidato menyambut kemenangannya, Netanyahu dilaporkan tidak menyinggung-nyinggung PLO dan Pemerintah Otonomi Palestina.

Ini, menurut Ribhi Awad, merupakan isyarat yang mengkhawatirkan dan menimbulkan kegelisahan.

"Bagaimana kita bisa membayangkan Netanyahu akan melanjutkan proses perdamaian tanpa mengakui Presiden Yasser Arafat sebagai pemimpin sah secara hukum?" kata duta besar Palestina tersebut. "Apakah Netanyahu ingin berurusan dengan monster?" (3/6/96 22:25)

Tidak ada komentar: