Minggu, 15 Juni 2008

DUA WANITA BANGLADESH BERTARUNG DALAM PEMILU YANG DOMINASI PRIA

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 11/6/96 (ANTARA) - Dua wanita siap bertarung dalam pemilihan umum (pemilu) yang didominasi pria saat jutaan rakyat Bangladesh memberi suara mereka hari Rabu (12/6) guna memilih perdana menteri mereka untuk masa lima tahun mendatang.

Hanya 48 dari 2.571 calon yang menjadi unggulan 300 daerah pemilihan untuk duduk di Jatiya Sangsad (parlemen nasional Bangladesh) adalah wanita, demikian laporan kantor berita Reuter.

Akan tetapi, 30 dari jumlah wanita itu akan dipilih guna memenuhi kuota oleh anggota partai mayoritas di negara yang hampir separuh --atau sebanyak 28 juta orang-- dari 56,7 juta orang yang berhak memberi suara adalah wanita. Rakyat Bangladesh dijadwalkan memberi suara hari Rabu (12/6).

Terlepas dari jumlah tersebut, dua wanita telah bertahun-tahun terlibat persaingan sengit untuk dapat memegang posisi kunci di negeri itu, yaitu jabatan perdana menteri. Kedua wanita tersebut adalah Sheikh Hasina Wajed, Pemimpin Liga Awami, dan Begum Khaleda Zia, bekas Perdana Menteri (PM) dan Pemimpin Partai Nasionalis Bangladesh (BNP).

Menurut kantor berita AFP, kedua wanita itu telah melakukan lawatan ke pelosok negeri mereka dalam satu bulan terakhir ini guna menghimpun dukungan dan menjanjikan masa depan lebih baik bagi rakyat Bangladesh.

Khaleda, janda mendiang presiden Ziaur Rahman, meletakkan jabatan PM Bangladesh bulan Maret tahun ini guna memungkinkan pemerintah sementara yang netral menyelenggarakan pemilihan umum.

Kedua wanita tersebut bukan hanya memiliki kesamaan dalam segi kelamin. Keduanya terjun ke kancah politik di tengah kerusuhan dan kepedihan pribadi mereka sebagai ahli waris dinasti politik yang dibebankan di pundak mereka.

Hasina mewarisi tampuk pimpinan dari ayahnya, Sheikh Mujibur Rahman, selaku pendiri dan Pemimpin Liga Awami yang terbunuh bersama sejumlah anggota keluarganya tahun 1975.

Hasina, yang lolos dari kudeta berdarah itu karena ia saat itu tinggal di Jerman, kembali dari pengasingan tahun 1981 guna memulai karirnya di bidang politik.

Kedua anaknya, satu putri dan satu putra, tinggal di Amerika Serikat dan suaminya berprofesi sebagai ilmuwan tidak terjun ke dunia politik.

"Jika kadangkala ia berbicara mengenai politik, maka hal itu dapat menjadi sesuatu yang memalukan," kata Hasina tentang suaminya. "Tetapi, ia tak pernah menyuruh saya berhenti," ujarnya menimpali.

Sementara itu, Khaleda terjun ke kancah politik setelah suaminya, bekas Presiden Ziaur Rahman, dibunuh tahun 1981. Khaleda menjadi ketua partai yang pernah dipimpin suaminya tiga tahun kemudian.

Ia menjadi PM Bangladesh tahun 1991, setelah melewati persaingan sengit melawan Hasina guna memulihkan demokrasi di Bangladesh.

Liga Awami --yang dipimpin Hasina-- memimpin partai-partai oposisi dalam serangkaian pemogokan awal tahun ini, dan akhirnya memaksa Khaleda meletakkan jabatan dan melicinkan jalan bagi pemilu baru.

Hasina merasa yakin akan dapat mengalahkan Khaleda, yang mengalahkannya dalam pemilu tahun 1991 dengan jumlah suara 146 berbanding 86 kursi di parlemen, dan menuduh BNP mungkin saja akan menekan dia dalam pemilihan umum saat ini.

Ia mncontohkan, pemecatan kepala staf militer bulan lalu oleh Presiden Abdur Rahman Biswas, anggota BNP, sebagai bukti "tindakan licik" partai Khaleda.

Bulan Maret 1994, partai-partai oposisi keluar dari parlemen Bangladesh. Oposisi menuduh Menteri Penerangan Nazmul Huda menghina kelompok tersebut dan sejak itu oposisi tak pernah kembali ke parlemen. Hal itu merupakan tindakan yang akhirnya membuat negeri itu dirongrong percekcokan.

Percekcokan kedua orang tersebut membuat Bangladesh terus dilanda bentrokan dan kerusuhan, sehingga tanggal 30 Maret 1996 Presiden Abdur Rahman Biswas membubarkan parlemen dan Khaleda mengundurkan diri guna memberi jalan bagi berdirinya Pemerintah Nasional Sementara.

Pemerintah Sementara yang dipimpin Biswas itu bertugas menyelenggarakan pemilu baru.

Kedua wanita tersebut kini menjadi pemimpin dua partai politik terbesar di negeri mereka. Dengan tak adanya tradisi pemilihan dalam jajaran partai, maka kedua wanita itu memegang kekuasaan mutlak.

"Keduanya menjadi pemimpin tertinggi di partai masing- masing," demikian komentar redaktur harian "Holiday" Enayetullah Khan kepada AFP.

Kedua orang tersebut juga dipenuhi rasa tak suka terhadap satu sama lain, dan saling tuduh pihak lain terlibat korupsi dan bersikap tak layak dalam bidang politik tapi berusaha untuk tidak menyerang pribadi masing-masing.

Mereka disebut-sebut sebagai produk warisan yang berbeda. Ayah Hasina adalah politikus sipil, sedangkan mendiang suami Khaleda adalah perwira militer profesional.

Terlepas dari warisan yang mereka terima, keduanya tampaknya tak mau menerima kekalahan dalam bidang politik dan memiliki keyakinan bahwa rasa percaya diri mereka lah pendorong terwujudnya proses pemilihan umum saat ini.

"Pemilihan umum akan diselenggarakan selama kedua wanita tersebut mengira mereka bisa menang," demikian komentar seorang diplomat Barat.

Sementara kedua wanita itu mengakhiri lawatan dalam negeri mereka, seorang wanita ketiga menanti kesempatan yang sama. Wanita itu adalah Raushan Ershad, istri bekas diktator militer yang kini di penjara Hussain Mohammad Ershad. Rushan memasuki ajang pemilihan untuk pertama kali.

Ia mencalonkan diri sebagai calon dari Partai Jatiya (JP), yang dulu dipimpin suaminya dan kini berusaha menembus persaingan kedua wanita itu jika tak ada pihak yang meraih mayoritas mutlak di parlemen.

Raushan diduga akan dapat menggantikan suaminya jika pembelaan Ershad atas dakwaan korupsi tak bisa menyelamatkannya. (11/06/96 23:16)

Tidak ada komentar: