Jumat, 06 Juni 2008

NTIBANTUNGANYA DIKUDETA, ANCAMAN KIAN BAYANGI BURUNDI

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 27/7/96 (ANTARA) - Kerusuhan politik di Burundi yang makin panas setelah pembunuhan 300 orang Tutsi akhir pekan lalu, mengakibatkan militer mengkudeta Presiden Sylvestre Ntibantunganya dari suku Hutu, sementara ancaman kerusuhan masih menggantung.

Pemimpin militer Burundi Pierre Buyota, dari etnik Tutsi, hari Kamis (25/7) mengambilalih kekuasaan dari Ntibantunganya, tindakan yang digambarkan Departemen Luar Negeri AS sebagai "krisis pemerintahan yang sangat parah".

Sebelumnya, Presiden Kamerun Paul Biya dilaporkan AFP menyeru suku Hutu dan Tutsi di Burundi agar menyelesaikan pertikaian mereka dan berusaha mewujudkan perujukan nasional.

Biya, yang saat ini menjadi ketua Organisasi Persatuan Afrika (OAU), menyeru rakyat di negara yang terpecah pertikaian etnik itu agar berjuang mewujudkan pembangunan bangsa dan memperkokoh kekuatan hukum sejati sebagai jaminan bagi perdamaian dan keamanan semua orang, baik dari suku Hutu maupun Tutsi.

Namun seruan pemimpin OAU tersebut tidak mendapat tanggapan positif dari militer Burundi, yang menggulingkan Ntibantunganya setelah terjadi kerusuhan di ibukota negeri itu, Bujumbura.

Guna menghindari aksi kekerasan massa, Ntibantunganya hari Selasa (23/7) meminta perlindungan di kedutaan besar AS di Bujumbura, dan sampai sekarang masih berada di bawah perlindungan perwakilan Washington tersebut.

Kejadian paling akhir di Burundi itu benar-benar menenggelamkan Persetujuan Arusha, yang dicapai di kota kecil Arusha di Tanzania Utara bulan Juni.

Persetujuan tersebut mensahkan penggelaran pasukan pemelihara perdamaian dari negara-negara regional seperti Uganda, Tanzania dan Ethiopia guna menghindari pertumpahan darah lebih lanjut.

Di Addis Ababa, Ethiopia, sekretaris jenderal OAU Salim Ahmad Salim, memperingatkan bahwa aksi kudeta di Burundi "akan dihadapi dengan kekerasan".

Salim, ketika memberi reaksi paling keras mengenai situasi di Burundi -- sebagaimana dikutip Reuter, mengatakan negara-negara Afrika akan melakukan campurtangan militer jika keadaan makin tak terkendali di Burundi.

Campurtangan militer Afrika itu dapat dilakukan melalui rencana perdamaian dukungan Barat, Persetujuan Arusha, atau dengan pengawasan PBB.

Rencana Arusha tersebut mulanya diajukan sebagai misi pemelihara perdamaian guna mengakhiri kerusuhan di Burundi saat ini, yang rata-rata setiap bulan dilaporkan menewaskan 1.000 orang.

Burundi, seperti juga tetangganya Rwanda, telah menjadi ajang pertumpahan darah antar-suku sejak presiden suku Hutu pertama di negeri itu, Melchior Ndadaye, tewas bulan Oktober 1993, selama pemberontakan gagal yang dilancarkan militer.

Pembunuhan tersebut memicu kerusuhan antara etnik Hutu dan Tutsi, yang sejauh ini telah menewaskan lebih dari 50.000 orang. Meskipun minoritas, suku Tutsi telah menjadi kelompok yang berkuasa di negeri itu.

Kejadian tersebut memprihatinkan tetangga-tetangga Burundi dan melahirkan rencana yang disebut Persetujuan Arusha, yang "dibidani" oleh penengah Burundi dan mantan presiden Tanzania Julius Nyerere. Namun rencana itu menghadapi ancaman setelah kelompok garis keras di Burundi menentangnya dengan keras.

Penentangan tersebut muncul karena militer Burundi, yang didominasi Tutsi, khawatir kehadiran pasukan pemelihara perdamaian akan merusak otoritasnya, sementara kelompok Hutu menentang kehadiran pasukan Uganda -- yang dipandang memiliki hubungan erat dengan militer negerinya.

Sementara keadaan di Burundi makin tak tentu, Salim menuduh bekas presiden negeri tersebut Jean-Baptise Bagaza, dari suku Tutsi dan memiliki hubungan erat dengan militer serta kelompok pengacau, memainkan peran dalam krisis paling akhir di negara berpenduduk sekitar 5,6 juta orang tersebut.

Bertekad membangkang?

Meskipun Nyerere dilaporkan berusaha setiap saat untuk mencegah terulangnya kejadian di Rwanda tahun 1994, semua pihak di Burundi kelihatannya telah bertekad untuk membangkang pada seruan penahanan diri dan mengganjal upaya Nyerere.

Militer dan pemberontak utama Hutu telah menyatakan akan menentang setiap penggelaran pasukan pemelihara perdamaian.

Selain mengupayakan berakhirnya pembunuhan, rencana perdamaian Nyerere yang mendapat dukungan Barat juga berusaha mencegah terjadinya pengungsian besar-besaran rakyat Burundi ke negara-negara tetangganya, kejadian yang dapat merusak stabilitas di wilayah yang secara politik rentan itu.

Seorang pejabat pemerintah Tanzania menyatakan pembunuhan paling akhir di Burundi menjadi pukulan lebih keras terhadap rencana perdamaian "buatan Afrika", yang dijalankan Nyerere tapi sudah goyah akibat ditolak oleh pihak-pihak yang justru paling berkepentingan.

Nyerere sebelumnya telah mengancam rakyat Burundi bahwa OAU akan menerapkan, kalau perlu dengan paksa, rencana perdamaian sekalipun tanpa persetujuan pemerintah negeri tersebut.

Namun Presiden Kenya Daniel Arap Moi sebenarnya sudah ragu bahwa rencana itu akan membuahkan hasil.

Mengenai keraguan Moi tersebut, seorang pejabat Tanzania dilaporkan berkata, "Mungkin Moi benar. Kelihatannya rakyat Burundi bersiap untuk membangkang rencana perdamaian Nyerere karena bagaimana prilaku brutal itu mesti dijelaskan?"

Sementara itu, selain mengecam perebutan kekuasaan oleh militer Burundi, masyarakat internasional sampai saat ini tidak melakukan tindakan apa-apa untuk mencegah negeri tersebut terperosok lebih jauh ke kancah pertumpahan darah.

Menurut Trevor Findlay dari Lembaga Riset Perdamaian Internasional Stockholm, yang menjadi masalah utama ialah "tak satu pun negara Barat di Dewan Keamanan PBB bersedia mengirim tentara ke ajang pembantaian Burundi".

"Ini adalah masalah Afrika, jadi rakyat Afrika sendiri lah yang harus menyelesaikannya!" katanya (27/07/96 10:15)

Tidak ada komentar: