Jumat, 06 Juni 2008

PERTEMUAN ARAFAT-LEVY DIHARAPKAN JADI TEROBOSAN BARU

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 24/7/96 (ANTARA) - Pertemuan Presiden Palestina Yasser Arafat dengan Menteri Luar Negeri Israel David Levy hari Selasa (22/7) di tempat penyeberangan Erez di wilayah otonomi Palestina diharapkan akan menjadi terobosan baru dalam proses perdamaian Timur Tengah yang macet menyusul terpilihnya pemimpin Partai Likud bulan Mei.

Setelah pertemuan 90 menit dengan Levy, Arafat -- sebagaimana dikutip Reuter -- menyatakan bahwa kontak-kontak lebih lanjut akan dilakukan guna memajukan proses perdamaian.

Sebelumnya, pihak Palestina menyatakan akan mengajukan empat usul guna menghidupkan kembali proses perdamaian Timur Tengah, yang terancam mati setelah Netanyahu menyampaikan sikap tak kenal komprominya dalam kampanye pemilihan perdana menteri Israel.

Ketua Dewan Legislatif Palestina, Ahmed Qurea, mengatakan Israel -- di pihaknya -- harus menerapkan persetujuan sementara dengan pihak Palestina dan memulai pembicaraan mengenai status akhir sesuai jadwal.

"Untuk membuat pertemuan ini berhasil, Israel harus memerintahkan penghentian (kegiatan) pembangunan permukiman sesegera mungkin," katanya sebagaimana dikutip AFP.

Ia menambahkan bahwa syarat terakhir ialah penghentian tindakan pengubahan dan pelanggaran atas hak asasi Palestina di Jerusalem Timur, yang diklaim Palestina dan Israel sebagai ibukota negara mereka.

Pertemuan hari Selasa antara Arafat dan Levy adalah kontak tingkat tinggi pertama sejak pemimpin sayap kanan Israel menang dalam pemilihan umum tanggal 29 Mei.

Kedua pihak saling menuduh masing-masing pihak gagal berpegang pada apa yang telah disepakati sebelumnya, dan Israel telah mengancam akan melanjutkan pembangunan permukiman Yahudi serta menutup kantor-kantor Palestina di Jerusalem.

Palestina dan Israel sejak September 1993 telah menandatangani serangkaian persetujuan perdamaian sementara yang menghasilkan Pemerintah Otonomi Palestina di Tepi Barat Sungai Jordan dan Jalur Gaza. Tetapi sampai sekarang Israel belum berhasil menarik tentaranya dari Al- Khalil di Tepi Barat yang mestinya telah dilakukan beberapa bulan lalu.

Persetujuan tersebut menetapkan bahwa kedua pihak akan memulai perundingan guna menentukan status permanen Pemerintah Otonomi Palestina, termasuk pembahasan permukiman Yahudi, negara Palestina, hak atas Jerusalem dan pemulangan pengungsi Palestina yang tinggal di luar wilayah-wilayah Palestina.

Guna memberi kredibilitas pada proses perdamaian, Israel mesti menyampaikan komitmennya untuk melaksanakan semua persyaratan itu, kata Qurea.

Netanyahu telah menyatakan bahwa ia hanya bersedia bertemu dengan Arafat, yang dicapnya sebagai teroris, kalau keamanan nasional Israel dijamin dan Arafat menghentikan serangan kelompok garis keras terhadap Israel.

Kenyataan bagi Netanyahu

Sementara itu Duta Besar Israel untuk AS, Eliahu ben Elissar, menyatakan dalam suatu wawancara bahwa Netanyahu sebenarnya "membenci" Arafat, tapi pemimpin beraliran keras Israel tersebut tak bisa menghindari "kenyataan".

"Kami menghadapi orang yang membenci Arafat dan tidak menganggapnya cukup berharga untuk duduk di meja perundingan," katanya kepada harian berbahasa Arab yang dikutip AFP di Kairo, Al-Hayat.

"Saya dulu tidak membawa dia (Arafat) ke sini dari Tunis, tapi pemerintah terdahulu lah yang melakukannya. Namun sekarang ia berada di sini dan saya tahu bukan wewenang kami untuk mengembalikan dia ke Tunis. Cuma sayangnya, saya harus menelan itu," kata Elissar mengenai sikap Netanyahu terhadap Arafat.

Arafat sendiri kembali untuk pertamakali ke Tepi Barat dan Jalur Gaza dari markas PLO di Tunis tahun 1994, berdasarkan Persetujuan Oslo -- yang ditandatangani pendahulu Netanyahu, Shimon Peres dari Partai Buruh -- tahun 1991.

Partai Likud, yang dipimpin Netanyahu, tambahnya, tidak mengakui Persetujuan Oslo dan juga tak ingin mengakuinya karena kami tak ingin memberi mereka (Palestina) kekuasaan sah".

Namun semua itu adalah kenyataan yang tak dapat dielakkan pemerintah sayap kanan Israel, dan sebagiannya adalah Arafat serta Pemerintah Otonomi.

"Saya menggunakan istilah Pemerintah Otonomi sebagai ungkapan yang melunakkan arti, kendati saya tahu siapa yang memimpinnya," kata Elissar.

Sampai sekarang Netanyahu tak pernah menyampaikan komitmen untuk mengadakan pembicaraan langsung dengan Arafat, dan hanya mengatakan ia akan bertemu dengan Arafat kalau "untuk kepentingan Israel". Levy adalah pejabat tinggi pertama pemerintahnya yang dikirim untuk bertemu dengan Arafat.

Meskipun pihak Palestina berpendapat pertemuan Arafat- Levy merupakan terobosan guna menembus kebekuan dalam proses perdamaian, harapan Palestina untuk mendirikan negara Palestina tampaknya makin sulit diwujudkan di bawah pemerintah Netanyahu.

Menurut Elissar, Palestina nantinya harus menerima kenyataan bahwa Israel takkan pernah mengizinkannya mendirikan negara merdeka dan harus menerima cara penyelesaian hidup bersama Israel.

"Harus ada semacam pembagian yang menetapkan masing- masing pihak menangani dan bertanggung jawab atas urusannya sendiri. Keamanan (di wilayah-wilayah pendudukan) akan berada dalam tangan Israel ...," katanya.

Sebagai anggota Likud, katanya, ia tahu pengaturan itu takkan memuaskan Palestina, tapi pihak Palestina tidak mempunyai pilihan.

Arafat terjerat

Pemimpin PLO Yasser Arafat sejak memulai perundingan perdamaian dengan bekas pemerintah Partai Buruh di Israel memang telah terperangkap dalam "permainan" Israel.

Ketika Persetujuan Prinsip-prinsip ditandatangani di Washington tahun 1993, Arafat dan pejabat-pejabat Palestina serta-merta menyatakan bahwa itu adalah awal bagi berdirinya negara Palestina.

Namun pemerintah Israel saat itu telah menyatakan Palestina "hanya akan menangani urusan administratif" dan Persetujuan Otonomi bukan perintis bagi negara Palestina merdeka.

Pemerintah Partai Buruh di Israel, baik semasa Yitzhak Rabin -- yang ditembak mati oleh ekstremis Yahudi di Tel Aviv -- maupun penggantinya, Shimon Peres yang disebut-sebut sebagai arsitek Persetujuan Oslo, memang menyampaikan kesediaan menarik militer dari wilayah permukiman Palestina.

Namun penarikan tersebut sering tertunda akibat serangan-serangan bom bunuh diri oleh kelompok garis keras Palestina yang menentang persetujuan dengan Israel.

Menurut seorang anggota Parlemen Jordania dari pihak oposisi, kesalahan Arafat adalah ia berunding dengan Israel pada saat posisinya lemah.

Akibat keadaan tersebut, Arafat tak punya pilihan apabila timbul gangguan dalam proses perdamaian, seperti serangan bom bunuh diri, dan Tel Aviv menekannya untuk meredam aksi semacam itu.

Arafat bahkan tak bisa melepaskan diri dan menjadi "boneka" Israel untuk menghadapi bangsanya sendiri yang tidak mau menerima kehadiran Israel di tanah Palestina. (24/07/96 20:56)

Tidak ada komentar: