Sabtu, 14 Juni 2008

ARAB DAN ISRAEL SALING "PERLUNAK SIKAP"

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 23/6/96 (ANTARA) - Para pemimpin Arab -- yang memulai konferensi tingkat tinggi (KTT) di Kairo Sabtu (22/6) -- dan pemimpin sayap kanan "saling memperlunak" sikap dan berebut posisi sebagai penyokong proses perdamaian Timur Tengah.

Sementara itu seruan-seruan dari kelompok garis keras Palestina, Hamas, dan Suriah sebelum KTT Kairo dimulai, agar dunia Arab membekukan hubungan dengan negara Yahudi setelah kemenangan Partai Likud atas Partai Buruh di Israel tampaknya akan kandas di tengah jalan, demikian dilaporkan kantor berita transnasional.

Dalam kampanye pemilihan umumnya bulan lalu, pemimpin Partai Likud Benjamin Netanyahu menyatakan tidak akan menyerahkan Jerusalem kepada Palestina, akan menghidupkan kembali pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat Sungai Jordan dan tidak akan menyerahkan Dataran Tinggi Golan kepada Suriah.

Sikap anti-perdamaian Netanyahu tersebut -- ditambahkan lagi dengan terbentuknya pemerintahan paling sayap kanan di Israel -- memicu kekhawatiran di kalangan negara Arab, dan juga Amerika Serikat -- salah satu penaja proses perdamaian -- bahwa proses yang telah berjalan sekitar lima tahun itu akan mandeg.

Kekhawatiran terbesar tentu saja muncul dari pihak Pemerintah Otonomi Palestina -- yang telah merintis perdamaian dengan Israel di bawah pimpinan Partai Buruh. Berdasarkan persetujuan Washington September 1993, proses otonomi Palestina saat ini mestinya memasuki tahap pembahasan mengenai status akhir Jerusalem.

Tetapi tahap kedua otonomi, penarikan militer Yahudi dari semua kota kecil di Tepi Barat saja belum tuntas. Shimon Peres, yang menggantikan Yizhak Rabin setelah pemimpin Partai Buruh itu ditembak mati seorang ekstremis Yahudi, menunda penarikan dari Al-Khalil setelah gelombang pemboman bunuh diri yang menewaskan puluhan orang Yahudi oleh kelompok garis keras Palestina.

Netanyahu pekan ketiga Juni, setelah ia disumpah sebagai perdana menteri Israel, masih belum memutuskan apakah penarikan militer Israel dari 80 persen wilayah Al- Khalil akan dilanjutkan atau tidak. Dalam pidato sambutannya, Netanyahu juga tidak menyebut-nyebut nama Arafat sehingga menimbulkan keprihatian di kalangan pejabat Palestina mengenai itikad perdamaian Partai Likud dengan Palestina.

Akibat terkatung-katungnya nasib otonomi Palestina, apalagi harapan bagi berdirinya negara Palestina merdeka, membuat Presiden Yasser Arafat menaruh harapan bahwa KTT dua hari Kairo akan dapat menembus ketidaktentuan tersebut.

Status pemerintah otonomi Palestina sebagian tergantung pada janji yang berulangkali disampaikan Arafat bahwa proses politik perundingan dengan Israel akan meningkat dari otonomi menjadi negara merdeka dengan Jerusalem sebagai ibukota.

Sementara itu pemerintah Israel tak pernah beranjak dari pendapat bahwa Jerusalem adalah ibukota utuh negara Yahudi dan Yudea serta Samaria (Tepi Barat) adalah tanah yang dijanjikan Tuhan buat Bani Israel dalam Taurat.

Pesan KTT

Untuk menghadapi sikap tak kenal kompromi pemerintah sayap kanan Israel, 21 anggota Liga Arab berkumpul akhir pekan ini di Kario untuk menyampaikan pesan tapi bukan ancaman kepada pemerintah Israel.

Sebagaimana dikutip Reuter, Menteri Luar Negeri Mesir Amr Mussa menyatakan bahwa KTT yang dihadiri 14 kepala negara Arab itu akan menghindari ancaman terhadap Israel.

Sebelumnya, seruan bagi penyelenggaraan KTT tersebut mendapat reaksi keras pemerintah baru Yahudi.

Menteri Luar Negeri Israel David Levy Rabu (19/6) menyatakan konferensi Kairo telah meningkatkan ketegangan di Timur Tengah dan menantang para pemimpin Arab untuk "mengulurkan tangan bagi perdamaian".

"Ketegangan yang ingin ditimbulkan para pemimpin Arab" sama sekali tak perlu, katanya.

Levy -- yang dipandang sebagai tokoh moderat dalam pemerintahan Netanyahu -- belakangan menyatakan bahwa perdamaian tidak "dicapai melalui ancaman".

Ia juga berusaha memperlunak kesan mengenai garis pedoman kebijakan pemerintah Netanyahu dan membantah bahwa kebijakan itu bersifat negatif, meskipun perdana menteri baru Israel mempertanyakan konsep pertukaran tanah bagi perdamaian, dan negara-negara Arab akan setuju hidup berdampingan dalam perdamaian sebagai imbalan bagi pengembalian wilayah oleh Israel.

Netanyahu juga mencuatkan amarah dunia Arab setelah ia mengeluarkan tawaran untuk berunding tanpa syarat.

Sementara itu Amerika Serikat -- yang selalu membela Israel di forum-forum internasional -- berulangkali menyeru negara-negara Arab agar melanjutkan proses perdamaian Timur Tengah dan tidak "menghancurkan jembatan menuju perdamaian" walaupun Israel lah yang selalu mengulur waktu untuk mewujudkan perdamaian.

Presiden AS Bill Clinton, menurut laporan, menyatakan Washington akan mempertahankan kehadiran kekuatan militernya di Teluk sebagai bagian dari "komitmennya bagi keamanan negara-negara Teluk".

Washington tetap menganggap Irak dan Iran "sebagai pengacau di Teluk" dan ingin membuat negara-negara Arab menerima baik kehadiran negara Yahudi, yang justru terus- menerus merasa dirinya menghadapi ancaman -- di tengah mereka.

"Amerika Serikat mempunyai banyak kepentingan besar di wilayah Teluk; mempertahankan arus minyak dari Timur Tengah ke belahan lain dunia, mencegah pembuat kacau di wilayah itu seperti Irak dan Iran mengancam tetangga- tetangga mereka dan mempertahankan akses AS ke perairan penting serta pusat perdagangan di Timur Tengah," kata Clinton kepada harian Asharq Al-Awsat dan Arab News sebagaimana dikutip Reuter.

Sementara itu Sabtu di Kairo, para pemimpin negara Arab tampaknya juga tak berminat untuk mengeluarkan pernyataan bernada tajam kepada Israel.

Dalam pidato pembukaannya, Presiden Mesir Husni Mubarak menyatakan perdamaian adalah pilihan strategis dan tak ada alasan untuk kembali ke konflik masa lalu.

Meskipun tak bermaksud mengancam Israel, konferensi Kairo dilaporkan tetap berpegang pada kerangka persetujuan yang dilandaskan atas resolusi-resolusi PBB nomor 242, 338 dan 425 serta prinsip pertukaran tanah bagi perdamaian.

Sikap tersebut akan mengarah kepada penarikan Israel dari Golan dan berdirinya negara Palestina merdeka.

Tetapi diperlukan sedikitnya dua pihak untuk mengobarkan pertikaian dan mewujudkan perdamaian. Pihak Arab, seperti Palestina, telah berusaha memperlunak sikap dalam berunding dengan Israel.

PLO, setelah terwujudnya persetujuan otonomi Palestina di Jalur Gaza dan Tepi Barat, sempat cekcok di antara anggotanya ketika ingin menghapus ketetapan bagi penghancuran negara Yahudi dalam piagamnya.

Namun Israel selalu berkelit apabila sudah menghadapi perundingan mengenai masalah-masalah pelik dan tak pernah bergeming dari sikap mendasar Yahudi sekalipun pada saat Partai Buruh, yang dianggap lebih lunak dibanding Likud.

Kini mampukah para pemimpin Arab, yang untuk pertama kali bertemu sejak 1990, membuat Israel tetap pada jalur perdamaian dan tetap berpegang pada prinsip-prinsip yang membidani lahirnya pembicaraan perdamaian Timur Tengah? (23/06/96 10:51)

Tidak ada komentar: